Chereads / Pepromeno / Chapter 6 - Melupakan

Chapter 6 - Melupakan

PEPROMENO

CHAP 5

Juna memijat pangkal hidungnya yang terasa berat. Pikirannya sedang berkecamuk saat ini. Ia merasa melayang-layang seperti tidak berpijak pada tempatnya. Teman-teman Juna memang brengsek, bercanda dengan obat perangsang itu bukan hal yang lucu. Seharusnya ia juga sadar kalau pesta seperti itu bukan tempat yang baik untuk Tita dan Nadia.

Omong-omong tentang Nadia, kepala Juna jadi semakin terasa sakit.

Tadi ia sempat membaca chat dari Bima yang mengatakan jika Nadia sedang bersamanya. Juna sampai melupakan adiknya itu. Untung saja ia memiliki teman maha baik dari segala teman di penjuru bumi ini. Bima memang yang paling bisa ia andalkan.

Kalau terjadi hal buruk pada adiknya, Juna yakin sang ayah akan langsung menembak kepalanya dengan senapan. Saat meminta izin keluar tadi, Juna mengatakan pada Ayah kalau mereka akan pergi ke pesta kembang api biasa, melihat petasan tahun baru, lalu memakan sosis bakar. Tentu saja Juna berbohong, mungkin ia bisa mati berdiri kalau berkata jujur.

"Susunya, Kak." Juna segera tersadar saat tangan Tita menyodorkan satu kotak susu ke depannya. "Biar kepala Kak Juna gak pusing."

Ia menerima itu dalam diam. Juna masih mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan Tita. Ia tidak tahu harus memulai darimana semua pembicaraan ini. Tita gadis lembut yang memiliki kebaikan hati seluas samudera. Sekali ia berkata kasar, Juna yakin Tita akan langsung menangis.

Juna mengenal Tita cukup baik. Gadis itu adalah teman akrab adiknya, bahkan terlalu akrabnya mereka sudah seperti saudara kandung. Mungkin kalau dirinya dan Tita tenggelam, dan Nadia disuruh memilih untuk menyelamatkan salah satu di antara mereka, adiknya itu pasti akan langsung memilih Tita. Sebegitu dekatnya mereka.

Tita pun sudah sering menginap di rumah mereka. Bunda dan ayah menerima Tita dengan baik. Bahkan Juna juga sering mengatarkan Tita dan Nadia ke sekolah. Walau tidak terlalu dekat dan jarang berbicara, tapi Juna tahu kalau Tita adalah gadis lembut dan polos.

"Ta," Tita menoleh. Mengamati wajah Juna yang ingin mengatakan sesuatu. "Yang tadi ... hmm ... itu."

Juna kehilangan kalimatnya. Padahal ia tidak pernah segugup ini saat berdekatan dengan perempuan. Jelas saja berbeda, ia baru saja membobol keperawanan seorang gadis. Dan lebih parahnya, gadis itu adalah teman adiknya.

"Hmm ... itu ... masih sakit gak?" Dari banyaknya kosa kata yang bisa ia lontarkan, kenapa harus kalimat itu yang ia tanyakan. Juna sedikit merutuki dirinya. "Eh ... maksud gue—"

"Udah enggak," jawab Tita pelan.

Bego! Juna jadi gugup sendiri.

"Mau makan lagi?"

"Enggak." Singkat, tapi membuat Juna takut.

"Atau mau minum susu ini?" ujarnya menyodorkan kotak susu yang tadi Tita beli.

"Gak usah."

Juna menggerakan matanya ke segala arah. Dimana kalimat yang sudah ia rangkai sejak tadi. Mengapa tiba-tiba kepalanya tidak bisa berpikir seperti ini. "Hmm ... Ta, gue—"

"Tita takut, Kak." Rahang Juna seketika mengatup. Ia terdiam dengan kerjapan mata bingung sambil menatap ke arah Tita yang menunduk. "Takut papi tahu," lanjutnya.

Masih bergeming, Juna berusaha mencari kalimat yang pas untuk ia ucapkan pada Tita. Kalau bisa kata-kata mutiara yang dapat menenangkan hati agar tidak menyakiti gadis itu. Tapi Juna sadar, ia tidak memiliki kalimat yang baik untuk diucapkan.

"Papi lo gak akan tahu kalo lo gak cerita." Tita lantas langsung mengangkat wajahnya, membuat mata mereka saling bertemu. "Mungkin ini terdengar nyakitin buat lo dan juga sedikit kurang ajar. Tapi ... bisa gak gue minta elo buat lupain semuanya ... gue tahu salah, dan gue juga gak bisa balikin mahkota lo lagi. Tapi, Ta ... kita gak bisa terus-terusan inget kejadian tadi."

"Kakak tahukan yang tadi itu ... itu yang pertama buat Tita." Juna mengangguk. "Gimana Tita bisa lupain itu?" Air matanya tiba-tiba menetes lagi. Malu dan hancur bercampur menjadi satu di dadanya.

Ada yang hilang dari dirinya.

Juna mengerti itu. Dari semua kejadian ini, memang Tita lah yang paling dirugikan. Bagi Juna sendiri, kejadian itu tidak akan bebekas padanya, tapi untuk Tita? Gadis itu harus kehilangan mahkotanya.

Tangan Juna terangkat untuk menghapus air mata Tita. Ia tahu akan sangat brengsek sekali kalau ia mengatakan ini, tapi tidak ada cara lain. Juna hanya laki-laki berusia 21 tahun yang pikiran dan kelakuannya masih sangat labil. Ia masih suka bersenang-senang.

"Jangan dateng ke rumah gue lagi."

Tita terdiam.

"Kita jangan ketemu dulu, Ta. Mungkin elo bisa ngelupain kejadian itu kalo kita gak ketemu," kata Juna seraya menatap mata Tita.

"Maksud Kak Juna?"

"Gue gak mau terus terbayang-bayang sama masalah ini, dengan elo gak dateng ke rumah, itu akan jadi salah satu cara buat kita untuk gak ketemu dan ngelupain malam ini. Jadi ... gue minta elo jangan dateng ke rumah gue."

Brengsek! Mulutnya memang sangat jahat! Juna bahkan sudah siap jika setelah ini Tita akan menampar wajahnya atau mungkin memaki-maki dirinya, Juna siap untuk itu.

"Kak ..." Tita melirih, membuat Juna bergerak takut-takut, sedikit menjauh darinya. "Berarti Tita gak boleh ketemu Nadia dong?"

Hah? Ia mengerjap bingung. Di luar dugaan sekali. Juna kira gadis itu akan marah-marah setelah mendengar kalimatnya. Karena jujur, ucapan Juna tadi itu terdengar sangat jahat.

Juna tahu, Tita itu terlalu polos untuk ukuran anak seusianya. Tapi, apa ia gadis itu sama sekali tidak terainggung dengan ucapan Juna?

"Bukan ...," duh, ia jadi salah tingkah. "Maksud gue, kita yang jangan ketemu ... untuk beberapa waktu jangan ke rumah gue, apa lagi nginep."

Tita merengut, lalu menunduk lagi. Ini keterlaluan bukan? Mengapa seolah-olah Tita lah yang bersalah di sini.

"Sorry, Ta. Gue pikir ini jalan yang terbaik. Kita gak saling cinta, dan kejadian tadi itu murni kecelakaan. Emang sih gue yang maksa, tapi saat itu gue juga lagi di bawah pengaruh obat." Juna menghela, gadis itu tidak menunjukan ekspresi apapun. Entah kecewa, marah, atau setuju dengan usulnya tadi.

"E—lo gak masalah, kan?"

Tita mengangguk samar. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Tita takut, tapi Tita juga bingung rasa takut seperti apa yang melingkupi dirinya saat ini. Tita hanya merasa tidak nyaman mendengar kalimat Juna barusan.

Seolah mengerti apa yang sedang gadis itu pikirkan, Juna lalu menarik dagu Tita dan mengangkat wajahnya. "Lo gak usah takut, gue pastiin gak akan terjadi apa-apa sama lo."

Tita mengangguk dengan mata bening yang mengenang. "Dan satu lagi ... jangan ceritain masalah ini sama siapapun, termasuk sama Nadia. Pokoknya elo gak boleh cerita-cerita."

****