Aziz tersenyum melihat Ridwan tampak senang melihat wahana permainan. Tadi dia sudah meminta izin pada Khumaira untuk mengajak bermain di pusat kota.
"Paman, ini bagus Dedek mau!"
Ridwan begitu antusias melihat robot dan mobil-mobilan. Tentu saja keinginan terkabul.
Banyak pasang mata menatap Aziz dan Ridwan kagum. Mereka pikir Aziz Ayah dari Ridwan dan sudah duda. Pasalnya pria dewasa menggendong anak kecil tanpa pasangan.
"Paman, nanti kita mampir di toko buku ya."
"Memang Tole mau beli apa?"
"Al-Qur'an dan buku. Dedek mau jadi penghafal Al-Qur'an, supaya Abi dan Umi masuk Surga. Dedek ingin belajar dari sekarang supaya dapat membanggakan."
Deg
Jantung Aziz berdegup kencang mendengar perkataan mulia Ridwan. Entah kenapa air mata luruh mendengar perkataan polos keponakan. Anak sekecil ini berpikir begitu mulia dengan kedewasaan belum saatnya.
Aziz tidak kuasa merengkuh erat Ridwan sembari menciumi puncak kepala keponakannya. Hatinya tidak mampu berhenti menangis karena Ridwan. Anak kecil ini begitu luar biasa.
"Mari kita beli Al-Qur'an dan alat tulis. Paman akan mengajari Tole menulis dan membaca. Jadilah lelaki hebat seperti Abimu, Nak. Paman sangat mencintaimu."
"Yeee ... terima kasih, Paman. Dedek akan belajar dengan giat bersama Paman dan guru lain. Yeee, Dedek ngga sabar memberitahu Umi kalau Dedek akan jadi Hafidz."
Aziz tambah menangis haru mendengar perkataan Ridwan. Tidak peduli orang lain menilai dia cengeng. Pasalnya Aziz hanya ingin menangis haru.
"Mas Azzam, lihat Putramu begitu mulia. Apa Mas bangga melihat Tole Ridwan punya semangat juang begini? Mas, izinkan Aziz mendidik Putramu agar menjadi pria hebat dan berbudi luhur seperti, Mas. Izinkan Aziz juga menjadi Ayah untuk Tole Ridwan. Mas, sungguh aku sangat menyayangimu dan menyayangi Tole Ridwan," batin Aziz.
"Paman jelek kalau menangis. Paman kenapa malah bengong tidak bersuara. Paman ada masalah?"
"Paman itu tampan walau menangis. Paman hanya berpikir sebentar. Ayo kita pergi ke toko buku, Tole Ridwan!"
"Tampan? Ayo Kita pergi ...! Ye, Dedek bakal jadi Hafidz!"
Aziz tersenyum tipis mendengar keceriaan Ridwan. Dia gendong tubuh mungil keponakan agar lebih cepat keluar dari wahana permainan. Dia tidak menanggapi kata tampan bisa ribet urusannya.
Setelah membeli Al-Qur'an, Iqro dan berbagai alat tulis, Aziz dan Ridwan memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan tidak henti-hentinya Ridwan mengajak bicara Aziz. Kecerian anak ini mampu membuat Aziz tersenyum begitu manis.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!" salam Aziz dan Ridwan bersamaan.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh," sahut Khumaira dari arah dapur.
Ridwan berlari membawa Paper Bag yang hendak di tunjukan ke Ibunya. Sampai dapur Ridwan berteriak kegirangan.
"Umi ...! Lihat Dedek bawa apa?"
Khumaira melepas celemek dan membenarkan jilbabnya. Tersenyum pada Aziz sebentar lalu berjalan ke arah Ridwan. Dia Berlutut guna menyamakan tinggi badan. Khumaira langsung menerima Paper Bag dari Ridwan.
"Wah, Al-Qur'an, Iqro dan alat tulis. Dedek mau belajar semua ini?"
Ridwan mengalungkan tangan di leher jenjang Ibunya. Lalu ia mengecup pipi Khumaira penuh kasih sayang.
"Hu'um, Dedek mau belajar dengan giat, Umi ... agar menjadi Hafidz. Dedek ingin Abi dan Umi masuk Surga. Makanya Dedek belajar keras untuk meraih cita-cita."
Deg
Khumaira tercengang mendengar penuturan Ridwan yang sangat mulia. Tanpa terasa air mata haru luruh deras membasahi pipinya. Rasa bangga dan haru melingkupi hatinya.
"MasyaAllah, Tole kenapa kamu bisa berpikir dewasa begini. Mulia sekali niatmu, Nak. Umi sangat terharu mendengar perkataan, Tole."
Khumaira menangis sembari menciumi wajah rupawan Ridwan. Setelah itu merengkuh erat tubuh mungil Putranya penuh kasih sayang.
"Alhamdulillah jika Umi senang. Dedek sangat menyayangi, Umi."
"Umi juga sangat menyayangi Dedek."
"Umi, izinkan Dedek belajar jadi Hafidz. Insya Allah, Abi senang melihat Dedek belajar tekun."
Khumaira tambah menangis mendengar izin Ridwan. Dia tatap mata Hazel anaknya penuh makna. Dengan lembut Khumaira Menangkup pipi gembil Ridwan lalu mengecup kening Putranya.
"Umi mengizinkan Tole belajar jadi Hafidz. Doa Umi selalu menyertai Dedek."
"Alhamdulillah, terima kasih, Umi."
"Alhamdulillah, sama-sama, Nak."
Khumaira merengkuh Ridwan erat sembari menciumi puncak kepala Putranya. Tangis haru terus keluar mengingat perkataan mulia Putranya.
Mungkin karena lelah bermain, Ridwan tertidur pulas dalam dekapan Khumaira. Mendengar napas teratur Ridwan, Khumaira tersenyum tulus. Dia menggendong Putranya untuk di rebahkan di ranjang.
Aziz tersenyum haru mendengar percakapan Ibu dan Anak yang sangat manis. Sedari awal ia tatap permintaan Ridwan agar menjadi Hafidz. Lalu Kakak iparnya menangis penuh kebahagiaan atas Ridwan. Rasanya Aziz bangga mendengar izin mulia keponakannya. Lihat Khumaira tanpak terharu akan semua itu. Semua yang tersaji sangatlah manis untuk Aziz.
***❤❤❤
"Mas sudah makan?" tanya Khumaira saat Aziz meminum kopi buatannya.
"Belum Mbak, tadi mau beli Tole rewel katanya mau cepat pulang dan memberi tahu keinginannya."
Khumaira tersenyum tipis mendengar jawaban Aziz. Adik iparnya ini sangat manis jika merajuk. Jika boleh jujur ia sangat gemas pada pria di depannya.
"Tadi Mbak sudah masak, gih makan keburu dingin."
"Nanti repot in Mbak. Aziz makan di luar saja."
"Ngga baik tolak Rezeki."
"Mbak Khumaira sendiri sudah makan?"
"Belum, nanti saja."
"Tuan rumah belum makan masak iya tamu makan duluan. Aziz pulang Insya Allah, besok ke sini lagi."
"Mas ini kayak sama siapa saja. Ngga bisa pulang sebelum makan."
"Pemaksa."
"Siapa peduli? Cepat makan, ambil sendiri di tempat biasa."
"Baik, Nyonya."
"Hahaha, maaf."
Aziz mengukir senyum tipis melihat Khumaira tertawa. Walau di mata itu masih menyorot sama yaitu duka, kehilangan, pilu dan kehilangan namun itu cukup membahagiakan untuknya. Mata Mbaknya masih saja kosong tanpa kehidupan, tetapi cukup bersyukur melihat iparnya tertawa.
Aziz melihat semua makanan kesukaan almarhum dan Ridwan. Dia mengukir senyum saat dirinya ingat semua selera makanan kesukaannya sama dengan almarhum. Makanan kesukaan Ridwan begitu sama dengan Azzam. Bahkan selera juga sama dan tidak suka manis. Suka makanan gurih, sedikit asin dan tidak suka pedas. Kalau dirinya suka pedas, sedikit asin dan gurih.
Entah kenapa Aziz menangis mengingat Azzam. Dia berharap Azzam masih hidup, pasalnya jasad itu sudah tidak di kenali. Tetapi, cincin, dompet dan pakaiannya menunjuk ke Azzam. Semua telah berubah menyelimuti duka untuk mereka.
Khumaira sedang melihat TV, namun apa yang dia lihat hanya kehampaan. Hingga sebuah tepukan mengembalikan dia pada layar TV.
"Mas Aziz sudah selesai makan."
"Alhamdulillah sudah. Mbak, ada hal penting yang ingin kusampaikan."
"Apa itu?"
Aziz menatap Khumaira intens dan yang di tatap menunduk tidak mau menatap. Menghembus napas berat lalu mencetus keinginan.
"Aziz boleh membawa Tole Ridwan saat di kantor, Mbak?"
Khumaira kaget spontan mendongak menatap Aziz. Apa-apaan ini? Kenapa Putranya mau di bawa ke kantor? Lalu dengan siapa khumaira di rumah? Ridwan harus tetap di sampingnya apa pun yang terjadi.
"Tidak, Tole Ridwan biar di rumah."
Aziz tersenyum mengejek mendengar jawaban Khumaira. Ia tahu keresahan yang di rasakan kakak iparnya. Tetapi, Aziz tidak ingin Ridwan tetap terkurung di rumah tanpa teman.
"Dan membiarkan Tole Ridwan terkurung? Ingat selama 45 hari Tole Ridwan terkurung tanpa kebebasan. Tadi dia begitu bahagia bisa keluar rumah. Ingat Mbak, Tole bahkan begitu tertekan akibat kepergian Mas. Bisakah Mbak lihat Tole sekarang begitu sedih?"
Khumaira membisu mendengar jawaban Aziz. Hatinya sakit saat jawaban itu benar adanya. Dia menunduk sedih tanpa memberi jawaban.
"Mbak, maaf bukan maksud Aziz bicara begitu. Di kantor ada penitipan anak dan banyak anak di sana. Selagi ada meeting Aziz akan titipkan Tole, jika tidak ada meeting insya Allah Tole akan selalu bersama saya. Lagian banyak karyawan membawa anak jadi tenang saja."
"Apa tidak merepotkan? Mas, Tole Ridwan begitu susah makan dan rewel. Selama 45 hari, aku tidak memberikan apa pun. Mas benar Tole terkurung, dan bisakah Mas menjaganya? Aku sangat menyesal tidak mampu lama menatap, Tole Ridwan."
Aziz jadi menyesal mengatakan hal menyakitkan pada Khumaira. Dia berusaha menghibur dengan lelucon garing dan akhirnya Khumaira tenang. Senyum penuh arti Aziz tunjukkan saat Khumaira tersenyum tipis.
"Inaya Allah, tidak akan merepotkan. Bahkan saya sangat senang Tole Ridwan ada di jangkauan aaya. Aziz akan menjaga Tole sebaik mungkin. Mbak tenang saja pasalnya Aziz juga akan mengaji Tole mengaji, membaca dan menulis."
Khumaira menatap Aziz kilas sembari tersenyum tulus. Adik iparnya benar-benar supel mampu membuat Ridwan ceria. Semoga saja Aziz bisa menjadi Guru yang baik untuk Putranya.
"Terima kasih, Mas. Semoga saja Tole bisa menjadi Hafidz seperti keinginannya."
"Sama-sama, Mbak. Amin ya Allah."
Aziz mengukir senyum tipis pada Khumaira. Akhirnya dia bisa melihat senyum tulus dari Kakak iparnya.
"Mas Azzam, semoga engkau tenang di alam sana. Mas ... Aziz akan berusaha untuk menjaga Istri dan Putramu. Tinggal menunggu 60 hari masa iddah Mbak selesai. Apa sanggup aku mengatakan keinginan itu? Pasti sangat sulit untuk mendapat Jawaban iya. Mbak, Aziz berharap setelah mengatakan niat itu Mbak tetap tersenyum ramah padaku," monolog Aziz dalam hati sembari menatap Khumaira penuh arti. Dia tidak pernah menyangka nasib begitu rumit.
Khumaira jadi bingung kenapa Aziz menatap begitu dalam. Mungkin hanya perasaannya kalau Aziz memendam sesuatu yang besar.