DINDA - S2
BAB 31. Resah II
(Ada beberapa kata-kata kasar dan adegan kekerasan. Tolong bijak dalam membaca dan menyikapi❤️❤️❤️)
Sudah seminggu ABU tour di Palembang dan sekitarnya. Hari ini mereka kembali ke Jakarta. Erza sudah nggak sabar buat ketemu Dinda. Dari kemarin cuma bisa chat, VC dan telfon-telfonan, membuat Erza sangat merindukan Dinda.
Erza:
Butuh pelukan, kangen. (T_T)
Dinda:
Kapan balik, Za. Gue juga kangen.^^
Erza:
Ntar siang usa naek pesawat kok, tunggu gue ya! Siapin diri secantik mungkin. Malem ini kita ketemu. Ntar gue kasih ciumnya banyakan..>.<
Dinda:
Hahaha..oke.. see you tonight.
Erza senyum-senyum sendiri selama perjalanan ke bandara. Bikin temen-temennya ilfil.
"Ciyee yang pacaran..ciyeee.."
"Apaan sih??!"
"Senyum-senyum mulu.. ntar ga bisa balik tau rasa." ledek Uno
"Ntar loe kalo jalan gini, pipis gini, makan gini, elo manggung nyanyi juga gini!!" Andy meringis, meragain seandainya saja wajah Erza ga kembali.
"Wkwkwkwk..lucu banget Ndi." komen Baim.
"Halah.. kaya kalian ga pernah pacaran aja."
"Loe juga uda mau jadi bapakkan!! Kasihan banget elo dianggurin Venny..! Pasti berat ya nahan hasrat?!!" bales Erza.
"Anying..Kok jadi gue yang kena?" umpat Baim.
"Lagian mendingan Baim cuman ngempet, hla elo? Belom bisa!!" bela Uno.
"Wkwkwkwkwk..kasihan.." lanjut Andi.
"Kalain lagi ngomongin apa gaes?" tiba-tiba cicil nimbrung.
"Bukan urusan loe." jawab Erza.
"Ya ampun, Za. Gue bilang lembut dikit napa sih sama cewe?!" Andy nyahut.
"Ga papa Kak Andy, salah gue juga kepo." senyum Cicil.
"Syukurlah kalau tahu diri." balas Erza lagi.
"Ih sebel gue!" keplak Andy.
Mereka melanjutkan perjalanan munuju ke Jakarta.
Erza:
Gue sampe bandara, mau terbang munuju hatimu, see you soon Babe.
Dinda tertawa membaca chat dari Erza.
•••DINDA•••
"Gue mesti bersih-bersih rumah." Dinda bangkit dari sofa dan menguncir naik rambutnya.
Membersihkan setiap bagian mulai dari dapur sampai kamar mandi. Dinda membersihkan seluruh bagian rumah. Padahal Dinda membersihkannya setiap hari sangking tidak ada kerjaan yang bisa dia lakukan. Dinda juga memasak beberapa makanan kesukaan Erza.
"Gue dandan ga, ya?" Dinda tampak malu-malu, tapi akhirnya memutuskan untuk berdandan juga.
Dinda mencoba tampil secantik dan seanggun mungkin. Dia memoles wajahnya dengan sedikit bb cream, bedak, eye shadow warna peach, dan lip cream pink.
"Oke, begini saja." Dinda merasa puas dengan dandanannya. Lalu memilih dress tercantik yang dia punya. Dress warna kuning dan hijau, sepanjang lutut dengan model sabrina. Ada gambar bunga-bunga kecil dan renda di bagian bawahnya.
Dinda melirik jam di dinding kamarnya, sudah hampir pukul 7 malam, harusnya Erza sudah sampai di Jakarta. Dinda mengecek ponselnya untuk memastikan kabar terbaru dari Erza.
Erza:
Gue udah turun dari pesawat, nunggu bagasi trus langsung pulang. Tunggu ya Babe!
Dinda:
Ok.
Dinda menunggu dengan tenang, tapi hatinya deg degan..
"Padahal cuma di tinggal seminggu, tapi kok rasanya kaya setahun nggak ketemu." Dinda tersenyum geli dengan perasaannya.
Teeet...
Bel pintu berbunyi.
"Ah itu pasti Erza." Dinda beranjak dengan riang dan langsung membuka pintu.
"Kok cepet banget...." Dinda tertegun.
"Haloo Dinda."
Dinda langsung berusaha menutup pintunya, namun tangan Satrio menahannya. Kekuatan pria tua ini lebih besar dari pada Dinda. Sekuat apapun Dinda berusaha pintunya tetap tidak mau menutup.
"Keluar!!!" teriak Dinda.
"Wah..wah.. kamu semakin cantik kalau marah Dinda." Satrio menerobos masuk.
"Keluar atau saya panggil polisi!!" Dinda berteriak dan mundur beberapa langkah saat Satrio berhasil masuk.
"Kenapa?? Dulu kamu selalu cari saya kalau butuh uang..? Sekarangpun saya bisa kok kasih kamu uang..kamu mau berapa?" Satrio memeluk Dinda.
"Lepasin!!! Kalau nggak saya lapor polisi!!!" Dinda berteriak..
"Lapor saja kalau bisa!!" Satrio semakin mencengkram erat pelukannya.
"Lepasin!! Brengsek!! Bajingan tua!!" Dinda meronta-ronta sekuat mungkin.
Satrio mendorong Dinda sampai jatuh ke lantai, ia menutup dan mengunci pintu apartemen Dinda. Ia mengendorkan dasinya dan membuka beberapa kancing kemejanya.
"Mau apa kamu?" Dinda merangkak ke belakang.
"Mau apa???! Tentu saja hal yang sering kita lakukan dulu. Om sangat kangen padamu." Satrio menarik kaki Dinda.
"Bajingan!! Lepasin!!" Dinda menendang-nendang dengan kakinya.
"Ayolah jangan jual mahal, kita sudah sama-sama tahu. Sudah sering melakukannyakan Dinda." Satrio memeluk tubuh Dinda, ia menjambak rambut Dinda yang mulai panjang.
"Aaahh sakit!!! Lepasin Dinda Om. Tolong lepasin saya!!" Dinda memohon, air matanya turun dengan deras.
"Bahkan kau sudah berdandan cantik seperti ini, mana mungkin aku melepaskan kesempatan ini Dinda." bisik Satrio.
Dinda memegang rambutnya yang masih dalam cengkraman Satrio. Ia meringis menahan rasa sakitnya. Kakinya terus meronta di bawah tubuh Satrio. Dinda menangis, kembali terlintas di benaknya kejadian-kejadian kelam di masa lalu. Jantung Dinda berdegup kencang.
"Lepasin saya Om!!" Dinda menangis dan memohon.
"Kamu semakin cantik saja Dinda." Satrio membisikkan kalimat itu dan mencium leher dan pundak Dinda, tangannya meraba masuk ke dalam rok dress kuning Dinda.
"Tidak!!! LEPASIN!!!" Dinda memukul dan mencakar tubuh Satrio.
"DASAR PELACUR!!" Satrio menampar Dinda. Dinda terbanting dan kepalanya menatap lantai marmer.
Dinda pingsan, benturannya cukup keras. Satrio mengatur nafasnya dan menggendong Dinda naik ke atas sofa.
"Wanita sialan!! Pingsan juga boleh!! Malah mudah untuk menikmatinya." Satrio menyeringai lebar dan mulai menurunkan resleting baju Dinda.
•••DINDA•••
Erza merasa hatinya tidak tenang, Dinda tak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya Dinda begini.
"Gue nggak join, ya. Gue pulang aja." Erza menolak ajakan teman-temannya untuk makan malam.
"Kenapa? Loe kan bisa telfon Dinda dulu."
"Dia nggak angkat telfonnya."
"Paling juga ketiduran atau lagi ke WC."
"Gue coba sekali lagi." Erza memanggil lagi ponsel Dinda. Tetap tidak ada jawaban.
"Sory, Bro. Gue cabut, perasaan gue nggak enak." Erza langsung menyahut jaket dan tasnya.
"Kaya punya indra ke enam aja sih loe." Baim cengengesan.
"Iya, tiap kali Dinda kesusahan, entah kenapa gue kerasa." jawab Erza.
"Oke Sob. Hati-hati ya." lambai Uno.
"Cil, kirim koper gue ke rumah atau elo titipin ke Baim aja." Erza langsung cabut setelah ninggalin tugas ke Cicil.
"Oke, Kak."
Erza menaiki taxi menuju ke apartemen Dinda. Entah kenapa dia merasa sangat khawatir. Hatinya tidak tenang, apalagi mengingat Dinda menangis sebelum ia pergi ke Palembang.
"Elo ga kenapa-kenapa kan Din?" Erza memejamkan matanya dan berdoa.
•••DINDA•••
Satrio mulai melorotkan pakaian Dinda, tangannya masih meraba dengan lembut permukaan kulit Dinda yang halus.
"Bener-bener wanita yang cantik." gumam Satrio.
"Ach...kepalaku.." Dinda mulai sadar kembali.
"Oh sudah bangun?!" Satrio tersenyum.
"Tidak!!!!" Dinda menarik kembali bajunya.
"Astaga jangan malu-malu sayang." Satrio mengunci kaki dan pergelanganan tangan Dinda.
"Bajingan.. cih.." Dinda meludahi wajah Satrio.
"ANJING!!" Satrio menampar lagi wajah Dinda. Kali ini lebih bertenaga, membuat Dinda mengeluarkan darah dari hidungnya.
JEGLEK..GLEK!!!
BRAK..!!!
Erza mendobrak paksa pintu apartemen dan terperanjat kaget. Erza terlihat sangat marah saat mengetahui orang yang paling di sayanginya terkulai lemas tak berdaya. Setengah tubuhnya hampir telanjang, dan wajahnya terluka karena pukulan telak. Ujung bibir dan hidungnya berdarah. Di atas tubuhnya ada lelaki bajingan yang paling Erza benci. Laki-laki itu memasang wajah yang sama kagetnya dengan Erza.
"Dinda!!!" panggil Erza.
"Tolongin gue, Za." kata Dinda lirih.
"Bajingan!!"
Erza menghampiri Satrio dan memukul wajahnya. Satrio tersungkur ke bawah, Erza mencengkram kerah kemejanya dan memberikan kembali pukulan-pukulan tanpa ampun pada Satrio.
"Brengsek!! Bajingan tua!!" Erza melampiaskan semua amarahnya. Tubuh Satrio mengeluarkan banyak darah dan mengganti warna kemejanya dari biru menjadi merah.
"Jangan Za!! Jangan!!" Dinda memeluk erat Erza dari belakang.
Erza melihat wajah Dinda yang terlihat sangat bengkak dan kacau.
"Gue bunuh loe sekarang!!" Erza kembali memberikan pukulan pada Satrio.
"Erza, gue mohon hentikan!! Jangan kotori tangan loe." isak Dinda.
"Jangan kotori tangan loe, Za. Dia nggak pantas buat loe bunuh." Dinda menangis di punggung Erza.
Erza melepaskan cengkramannya dan berpaling memeluk Dinda. Kepalan tangannya masih bersimba darah Satrio. Satrio tergletak tak berdaya dan meringkuk kesakitan.
"Kita lapor polisi aja, Za." usul Dinda.
Erza langsung mengeluarkan ponselnya dan melaporkan Satrio pada pihak berwajib.
•••DINDA•••
Hallo readers..
Tetep dukung cinta Erza dan Dinda ya.
Baca karya saya yang lain ya,
Ada Side to Side
Ada Muse
Ada In u're eyes
Ada Twin's Pet
❤️❤️❤️
Thxque so much gaes..
Love, love, love