DINDA
BAB 6. When You Were Young
Dinda menunggu mobil sedan hitam milik Satrio di halte bus yang agak jauh dari sekolahannya. Entah kenapa dalam hati Dinda berharap Erza tidak mencarinya hari ini.
Lamunan Dinda nggak bertahan lama saat sebuah mobil mengklakson pelan. Dinda beranjak dan membuka pintunya dan segera masuk ke dalam.
"Lama nunggunya?" tanya pria yang duduk di samping Dinda.
"Nggak kok, Om." Dinda tersenyum simpul pada Satrio.
Satrio berpakaian cukup rapi, kemeja hitam lengan panjang dan celana kain model slim fit. Membuatnya terlihat lebih muda dari pria seumurannya. Satrio memang terlihat awet muda dan penuh wibawa, pembawaannya hangat, postur tubuhnya yang tegap dan ramping berbeda dengan kebanyakan esekutif kaya lainnya.
Dinda lebih banyak diam dan memandang keluar jendela, dia tidak begitu peduli dengan obrolan Satrio. Dinda juga tidak berusaha menanyakan ke mana mereka akan pergi, toh semuanya paling hanya akan berakhir di ranjang sebuah hotel.
Triiing..
Bunyi nada dering dari ponselnya membuat Dinda terkejut, ia was-was kalau Erza menghubunginya sekarang. Dinda mengambil Ponsel di dalam tasnya lalu membaca isi chatnya.
Erza:
Hari ini gue nggak lihat loe
Sepulang sekolah
Bisa kita jalan besok?
Tempat dan waktunya
Gue ngikut aja.
"Hlo ponsel yang Om beliin kemarin ke mana?" tanya Satrio pada Dinda.
"Oh.. Rusak, Om. Nggak sengaja Dinda jatuhin."
"Kamu mau Om beliin ponsel baru?"
"Nggak perlu Om. Ponsel Dinda yang lama masih bisa Dinda pakai." jawab Dinda.
"Ya sudah, kita sudah sampai. Kamu temani Om seharian, ya." Satrio menggandeng jari jemari Dinda yang ramping.
Dinda hanya mengangguk dan tersenyum, seraya mengikuti langkah kaki Satrio masuk ke dalam hotel. Dalam hati ia bersyukur Erza tak mengajaknya keluar hari ini.
•••DINDA•••
Erza yang sudah hampir mati penasaran langsung menyahut ponselnya dan melihat balasan Dinda.
Dinda:
Boleh.
Di dekat sekolahku ada cake enak
Apa loe mau ke sana?
"Ayo, Za, jatah kita!!" teriak Uno.
"Iya!!" Erza cepat-cepat melemparkan ponselnya pada Riska dan merapikan rambutnya.
Hari ini ada audisi festival musik pelajar se-provinsi. Erza berlari menaiki panggung, di kanan sudah ada Baim yang sibuk menyetel bassnya, kiri ada Uno dengan gitar, dan Andy dengan drumnya.
"Kami dari ABU band, saya Erza, yang sebelah kanan Baim, di kiri Uno, dan di drum ada Andy." Erza mengenalkan semua anggota bandnya sebelum tampil.
Teman-temannya mengangkat tangan dan menunjukan sedikit kebolehan mereka sebelum mulai bermain.
Riska melihat dari balik panggung, memang tugas manager untuk merapikan dan menjaga barang-barang keperluan bandnya.
Vania juga terlihat hadir menonton ABU perform bersama dengan teman-teman satu sekolahan lainnya. Para juripun telah stand by dengan bolpoin dan kertas di depan mereka.
Sorakan penonton mulai menggema dengan riuh saat Uno memainkan gitarnya, tangannya menari-nari di atas senar gitar listrik membentuk sebuah irama lagu yang terdengar merdu. Erza melompat dan mengajak penonton mengikuti gerakannya.
You sit there in your heartache
Waiting on some beautiful boy to
To save your from your old ways
You play forgiveness
Watch it now, here he comes
He doesn't look a thing like Jesus
But he talks like a gentlemen
Like you imagined when you were young
Can we climb this mountain
I don't know
Higher now than ever before
I know we can make it if we take it slow
Let's take it easy
Easy now, watch it go
We're burning down the highway skyline
On the back of a hurricane that started turning
When you were young
When you were young
(The Killer, When You Were Young)
Vania berjalan di antara kerumunan penonton menuju ke belakang panggung. Ia memanggil Riska yang sontak bikin Riska terkejut.
"Elo, Van, gue kira siapa? Bikin kaget saja." senyum Riska.
"Kok elo nggak keluar liat Uno main?" tanya Vania.
"Pengennya, tapikan gue mesti jagain barangnya anak-anak." jawab Riska.
"Mau gue gantiin jaga?" Vania menawarkan diri.
"Serius??! Gue titip bentar ya. Eh.. hla tapi elo nggak ngelihat Erza main?"
"Gue uda putus kok sama Erza, udah sana cepetan keburu kelar hlo!!"
"Thanks, ya, Van..! Gue nitip bentar." Riska keluar berbaur dengan penonton untuk melihat kekasih dan teman-temannya main.
Vania mencari ponsel Erza, dalam benaknya dipenuhi rasa ingin tahu kenapa Erza begitu cepat ninggalin dirinya. Vania merasa nggak pernah ada yang salah dengan dirinya, alasan Erza mutusin dia pasti karena ada cewek lain.
Vania membaca seluruh chat di wall chat milik Erza, dilihatnya nama Dinda. Vania membaca janjian kencan Erza dengan Dinda. Vania kaget melihat Erza mengajak kencan seorang cewek, saat berpacaran selalu Vania dulu yang mengajaknya janjian.
"Ngapain elo di situ?" Erza menghampiri Vania. Nafasnya masih memburu setelah menyanyi penuh tenaga.
Vania cepat-cepat memasukan ponsel Erza kembali ke tempatnya. Ia menoleh memandang wajah Erza yang tampak nggak senang dengan kehadirannya.
"Gue cuma bantuin jagain barang kok." jawab Vania.
"Iya, Za. Gue tadi yang minta tolong sama Vania buat ngantiin gue sebentar." Riska membenarkan ucapan Vania.
Erza hanya mengangguk dan mengambil semua barang-barangnya, dompet, ponsel, dan jaket. Lalu berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Vania.
"Siapa kamu Dinda?? Aku nggak akan nyerahin Erza begitu saja.. Dia milikku." pikiran Vania di penuhi rasa benci pada sosok Dinda saat ini.
•••DINDA•••
Adzan mulai terdengar berkumandang di seluruh kota, menandakan kalau Mahgrib telah tiba. Jam telah menunjukan hampir pukul 6 sore, cahaya matahari yang mulai meredup masuk menyinari kamar hotel tempat Dinda berada.
Dinda menarik selumut yang menutupi tubuhnya, jari-jemarinya memungut setiap lembaran uang yang tersebar di atas ranjang. Uang seratus ribuan hampir setebal genggaman tangannya. Tangan putih Dinda memasukan lembaran uang itu ke dalam tas, lalu dengan segera Dinda menyambar baju seragamnya dan berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Air hangat turun membasahi tubuh Dinda, tangannya terus membasuh seluruh bagian tubuhnya yang ramping. Hangatnya air membuat perasaannya sedikit lebih baik. Dalam hati Dinda berharap air ini mampu membersihkan dirinya dari rasa kotor yang melekat erat di tubuhnya, walupun dia sadar kalau itu tidak akan ada artinya.
"Sudah terkumpul 50 juta, ini ada 20 juta, kurang 20-30 juta lagi cukup untuk operasi ibu." pikir Dinda.
Dinda bergegas merapikan baju dan membereskan semua barang-barangnya, tak lupa dia menengok sekilas pada buku tabungannya. Lembarannya sudah hampir habis, terisi dengan banyaknya digit angka yang telah ditabung oleh Dinda selama ini.
"Bertahan sebentar lagi, Bu." air mata keluar dari pelupuk matanya, tapi Dinda cepat-cepat menyekanya.
"Nggak, nggak boleh nangis!! Gue mestin kuat buat Ibu. Apapun akan gue lakuin agar Ibu bisa sembuh." Dinda menyambar tasnya dan berlari keluar kamar, menyelusuri koridor hotel menuju resepsionis untuk segera cek out.
•••DINDA•••
Like comment dan klik Fav ya readers.
Love u❤️
Thx for reading Dinda dan Erza