DINDA
BAB 8. Dengarkanlah Hatiku Bicara
Erza, Baim, Uno, dan Andy sudah berkumpul di studio musik. Akhir-akhir ini mereka semakin gencar latihan, soalnya band mereka lolos babak penyisihan audisi kemaren. Putaran final festival music pelajar bakalan diadain seminggu lagi.
"Za, elo kenapa sih nggak konsen gitu?!" Uno berhenti memainkan gitarnya.
"Iya nih." ucapan Uno dibenerin sama Baim dan Andy.
"Sory gaes..kelihatannya gue butuh istirahat sebentar." pinta Erza.
"Oke kita break dulu deh."
Erza merebahkan diri di atas lantai berkarpet biru, beberapa kali dia menghela nafas panjang. Baim, Uno, dan Andy keheranan melihat tingkah temennya yang kelewat galau.
"Nggak biasanya dia kaya gitu." bisik Andy.
"Elo kenapa, Za? Diputusin pacar? Hahahaha..." tanya Uno asal-asalan.
"Iya.. belum sempet jadian malahan udah di tolak mentah-mentah." hela Erza.
"APA? Serius? Nah hlo.. gue bilang juga apa, nggak akan bisakan." kata Baim pada temen-temennya.
"Stt..." Andy menyenggol lengan Baim dengan sikunya.
"Kenapa emang?" tanya Erza penasaran.
"Yah.. cuman gosip sih. Elo boleh percaya boleh enggak, Za."
Erza semakin penasaran dengan ucapan Baim, "Emang kenapa, Im?"
"Banyak gosip di sekolahku yang bilang kalau Dinda itu sering jalan sama om-om. Dia itu 'bisa dipake' Za." jawab Baim
"Jadi elo mending nggak usah berhubungan lagi sama dia, Za." lanjut Baim.
"Gue nggak percaya, sebelum gue buktiin sendiri." seru Erza marah.
"Terserah, kan gue tadi udah bilang, mo percaya apa nggak terserah elo."
Erza kini berbaring membelakangi sahabat-sahabatnya. Masih teringat jelas bayangan sedih di wajah Dinda kemaren. Erza menutup matanya dengan telapak tangan, berusaha menyingkirkan bayangan negatif tentang Dinda.
"Gue mesti minta maaf lagi besok." pikir Erza.
•••DINDA•••
Dinda menemani ibunya cek up ke rumah sakit. Sudah hampir sebulan ini Dinda mengumpulkan uang untuk biaya CT scan yang cukup mahal. Bau steril dan obat-obatan tercium jelas di hidung mancung Dinda. Hati Dinda semakin terasa sakit saat melihat tubuh kurus ibunya dimasukan ke dalam mesin scaner.
"Bisa kita bicara Dinda?" Dokter spesialis mendekati Dinda, Dinda mengangguk pelan dan mengikuti langkahnya.
"Jadi begini Dinda.. Apakah kamu sudah memutuskan untuk segera menjalankan oprasi dan kemoterapi?" Dokter mulai membuka pembicaraan.
"Apakah tubuh ibu saya kuat menjalaninya, dok?" hati Dinda begitu kacau, dirinya sudah nggak sanggup lagi mendengar perkembangan penyakit ibunya ini.
"Kamu harus menyemangatinya Dinda. Supaya ibu punya harapan untuk sembuh. Kangkernya sudah menjalar sampai abdomen perut atas. Sudah tidak ada waktu lagi Dinda."
"Berapa biayanya, Dok?"
"Seperti yang saya bilang kemarin, karena tidak memiliki asuransi mungkin biayanya akan sangat mahal. Lebih lagi proses pemulihannya akan memakan banyak biaya saat rawat inap."
Ucapan dokter itu membuat hati Dinda seakan-akan tersayat oleh pisau. Sakit dan sangat perih, perutnya terasa sangat mual dan teraduk-aduk. Air mata menetes membasahi pipinya yang halus. Oprasi dan kemotrapi yang di sarankan dokter apakah benar menjadi pilihan yang paling tepat saat ini? Dinda takut salah-salah tubuh ibunya nggak kuat dan malah akan membahayakan nyawanya.
"Jangan sedih Dinda. Kau pikirkan dulu baik-baik dengan ibumu. Jangan lupa berdoa, Din. Kita manusia wajib berusaha, Tuhan yang berkehendak." Dokter itu menepuk pundak Dinda beberapa kali.
Dinda menghapus air matanya, takut kalau ibunya melihat dia menangis. Dinda mengambil nafas panjang sebelum kembali ke ruang periksa untuk menjemput ibunya.
•••DINDA•••
Dinda menunggu mobil jemputan dari Satrio di depan gang rumahnya. Wajahnya yang cantik terasa kaku karena terpaan angin malam yang dingin. Dinda tampak begitu cantik dengan kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans tiga per empat. Sesekali tangannya merogoh saku untuk melihat ponselnya. Entah kenapa dia berharap Erza akan menghubunginya, atau mengirimkan text singkat padanya.
Kedatangan mobil sedan hitam membuyarkan lamunan Dinda. Setelah memasukkan ponselnya Dinda bergegas membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Satrio tampak lebih muda dan tampan dengan baju rumahan yang di pakainya.
"Kelamaan, ya, nunggunya?"
"Nggak kok."
"Kita pergi makan dulu, ya, Din. Ada steak enak di dekat sini, Om pengen cobain." ajak Satrio.
"Terserah Om saja." Dinda tak banyak bicara, pikirannya hanya di penuhi oleh bayangan Erza saat ini.
Satrio memakir mobilnya di depan cafe, digandengnya Dinda menuju sebuah meja yang agak jauh dengan panggung. Satrio memesan makanan dari seorang pelayan Maroon cafe. Dinda hanya diam saja dan meneguk air mineral dingin pesanannya.
"Bertemu lagi dengan kami di malam yang indah ini. Beberapa lagu kami nyanyikan untuk menghibur setiap pengunjung. Enjoy it.." Erza menyapa setiap pengunjung cafe.
rasa cinta yang terpendam di hatiku
yang tak bisa kukatakan padamu
tak pernah mampu untuk ungkapkan cintaku
sejuta rasa tersimpan di hatiku
hooo kuyakinkan rasa hatiku
houwoo hanyalah untukmu
mawarku
dengarkanlah hatiku bicara
kepadamu tentang cinta
(Funky Kopral, Mawarku)
Suara itu membuat Dinda terperanjat kaget, suara yang sangat di kenalnya. Suara yang akhir-akhir ini terus terngiang-ngiang di benaknya. Dengan reflek Dinda menengok ke arah sumber suara tadi. Dilihatnya Erza duduk di panggung, membawa gitar dan sedang menyanyikan sebuah lagu. Ada teman-temannya juga di belakang. Dinda langsung mengalihkan pandangannya.
"Kenapa Dinda? Wajahmu pucat?" tanya Satrio.
"Bisa kita pergi sekarang, Om? Dinda merasa nggak enak badan." Dinda bangkit dan mengajak Satrio untuk meninggalkan cafe itu secepatnya.
Dinda nggak ingin Erza mendapatinya dalam keadaan memalukan seperti ini. Menggandeng seorang pria tua yang kaya.
"Kenapa terburu-buru, Om baru saja pesan makanan?"
"Dinda pusing, Om." Dinda mencari-cari alasan agar bisa segera meninggalkan tempat itu.
"Baik kita pulang sekarang." Satrio bangkit dan merangkul pundak Dinda.
Erza tak sengaja melihat sosok Dinda. Di samping Dinda ada seorang pria yang memeluknya dengan mesra membuat Erza tercengang.
Erza kaget, dia diam saja, menghentikan lagu yang sedang dinyanyikannya. Penonton dan teman-temannya heran dengan kelakuan Erza.
Dinda memalingkan wajahnya, berusaha menghindar agar Erza tak melihatnya. Cepat-cepat ia menghilang keluar. Erza semakin yakin akan sosok Dinda, dengan tergesa dia meloncat turun dari atas panggung. Erza mengejar Dinda keluar, meninggalkan teman-temannya yang melongo kaget melihat kenekatan Erza.
Erza berlari mengejar Dinda, terlambat.. Dinda sudah masuk ke dalam mobil Satrio. Erza menggedor-gedor kaca mobil Satrio berharap Dinda mau keluar dan menemuinya. Satrio heran dan marah melihat kelakuan Erza, dia ingin keluar namun tangan Dinda menahannya.
"Kita pergi saja dari sini, Om." Dinda menelan ludahnya beberapa kali. Wajahnya sama sekali tak berpaling.
"Din..Dinda..buka..Din!!" Erza masih nekat menggedor kaca jendela mobil.
Namun usaha Erza sia-sia, Satrio sudah tancap gas dan meninggalkannya. Erza hampir terjatuh saat mobil itu melaju.
"BRENGSEK!!!" umpat Erza, entah kenapa hatinya terasa sangat hancur.
Rasa sedih menyeruak masuk ke dalam hati Erza. Tak biasanya dia terbawa perasaan seperti ini dengan seorang cewek. Namun kali ini berbeda, Erza seperti telah tersihir dan memberikan semua hatinya untuk Dinda.
"Siapa, Din?"
"Bukan siapa-siapa." Dinda menahan air matanya yang akan jatuh.
Selama perjalanan Dinda diam seribu bahasa dan hanya menerawang jauh ke luar Jendela.
•••DINDA•••
Terima kasih.
Like dan comment, jangan lupa pencet tombol +fav
Dukung kisah cinta Erza dan Dinda ya^^
❤️❤️❤️