Chereads / DINDA / Chapter 4 - PENGUNTIT GANTENG

Chapter 4 - PENGUNTIT GANTENG

DINDA

BAB 4. Penguntit Ganteng

"ERZA!!" teriakan Vania mengagetkan Erza.

"Halo, Say." Erza hanya melambai ringan dan tetap berjalan menyusuri koridor masuk ke kelas.

Vania mengikuti langkah Ersza masuk ke kelas XII IPS 3. Vania langsung menarik tangan Erza sebelum sempat duduk. Wajah Vania terlihat seperti kertas yang kusut karena emosi.

"Kemarin elo ke mana lagi sih? Elo bolos sekolah lagi, padahal elo kan janji mau pergi sama gue?"

"Habis gimana lagi, gue ada latihan sama anak-anak." jawab Erza.

"Jangan bohong, Za. Uno sama Andy ada di sekolah kemarin, mereka nggak sampai bolos." emosi Vania mulai memuncak dengan jawaban Erza yang nggak rasional.

"Kan masih ada Baim, gue bolos sama Baim. Lagian loe ngapain sih ngurusin masalah gue?" jawab Erza enteng.

"Guekan pacar loe, Za! Masa gue nggak boleh tahu kemana pacar gue pergi, dan sama siapa dia pergi?" geram Vania. Erza sama sekali nggak pernah menganggap serius hubungan mereka.

"Sory, Van, gue nggak suka di kekang, dan kalau emang loe nggak suka dengan apa yang gue lakuin, ya kita putus aja. Gue juga udah bosen sama tingkah loe yang berlebihan." Erza membanting tasnya ke meja lalu mengacuhkan Vania.

Air mata menetes dari matanya, Vania berlari ke kamar mandi dan menangis di sana. Ia nggak nyangka kalau Erza bakalan ninggalin dia secepat itu. Vania baru saja merasakan bahagia bersama Erza, ia bangga saat Erza mengejar dan menyatakan cinta padanya sebulan lalu. Kenapa semuanya berakhir begitu saja? Bahkan Erza langsung memutuskannya tanpa rasa sedih sama sekali.

•••DINDA•••

Jam menunjukan pukul 2 siang, bel pulang sekolahpun berdering. Erza cepat-cepat memacu kendaraannya menuju SMA N 2. Dalam benaknya dipenuh i bayangan Dinda, Erza ingin secepatnya bisa menemui Dinda lagi.

"Im, loe pulang sendiri lagi, ya." Erza melempar kunci motornya ke Baim.

"Jangan lama-lama, ntar kita mesti latihan buat manggung di Maroon!!" teriak Baim.

"Iye tau!! Bye!!" Erza berlari meninggalkan Baim dan berbelok menuju arah jalanan yang biasa dilalui Dinda.

Dinda sedang berjalan santai seorang diri saat Erza kembali datang mencoleknya.

"Hai.." sapa Erza.

"Loe lagi!" geram Dinda.

Erza hanya tersenyum manis dan mengikuti ke mana saja Dinda pergi. Dinda naik angkot Erza ikutan naik angkot, Dinda berhenti membeli obat di apotik, Erza juga ikutan masuk. Walaupun Dinda mencoba cuek dengan kelakuan Erza, tapi lama-lama dia risi juga.

"Nggak bosen apa ngikuti gue tiap hari?"

"Cantik gitu mana mungkin bisa bosan." jawab Erza ngegombal.

"Gombalan loe basi tau. Lagian loe tu udah kaya penguntit aja ngikutin gue terus. Mau gue teriakin maling?" Dinda mempercepat langkah kakinya.

"Loe kok jahat amat sih? Masa tampang ganteng kaya gue dibilang penguntit? Lagian gue murid SMA.. pake seragam, jadi bukan penjahatlah."

"Pergi sana..!" usir Dinda.

Belum sempat Erza menjawab Dinda, tiba-tiba sebuah teriakan yang memanggil namanya mengagetkan Dinda.

"DINDA!!" seorang pria lusuh berteriak memanggil Dinda.

Pria itu menggunakan kemeja kotak-kotak merah yang sudah tampak lusuh dan kotor. Kumis dan janggutnya tampak tidak pernah dicukur berhari-hari. Pria itu langsung berlari ke arah Dinda. Dinda yang melihatnya langsung berlari menghindari kejaran pria itu. Erza yang kebingungan dengan situasinya malah ikutan Dinda berlari.

Dinda berbelok melewati beberapa tikungan diikutin oleh Erza, Erza menyusul Dinda dan menggandeng tangan Dinda untuk bersembunyi di balik dinding pagar di sekitar perumahan. Mereka berdua menunduk sampai pria tadi berlalu.

"SIAL!!" umpatnya, dia menendang drum sampah di dekatnya, lalu berlari pergi mencari Dinda ke arah lainnya.

Dinding pagar setinggi bahu kelihatnya berhasil menyembunyikan Dinda dari kejaran laki-laki tadi. Nafas Dinda masih tersenggal-senggal, ia berusaha menenangkan dirinya. Perlahan-lahan Dinda mengintip dari balik pagar, mencoba memastikan bahwa pria itu telah benar-benar pergi.

"Ngapain loe ikutan lari?" Dinda memandang heran wajah Erza yang penuh keringat.

"Hah..hah..hah.." Erza masih ngos ngosan berusaha mengatur nafasnya.

"Siapa sih? Kok dia ngejar-ngejar loe?" tanya Erza, wajahnya masih terlihat kecapean.

"Ayahku."

"Kok loe malah menghindar?" Erza jadi tambah bingung.

"Nggak ada urusannyakan sama loe."

Erza diam sejenak memandang wajah Dinda yang juga berkeringat dan kecapekan. Sekilas ada yang nggak seimbang dengan penampilannya.

"Elo emang biasa pakai anting cuma satu gitu, ya?"

Dinda kaget mendengar ucapan Erza, ia meraba kedua telinganya berusaha membuktikan kalau ucapan Erza salah. Namun memang benar, antingnya hilang satu. Dinda langsung terperanjat, wajahnya pucat. Dinda langsung meninggalkan Erza, ia menyelusuri setiap jalan yang ia lalui tadi berusaha menemukan antingnya yang hilang.

"Antingnya hilang, ya?" Erza mengikuti Dinda menyelusuri jalanan.

"Pasti jatuh saat kita lari tadi. Gue harus nemuin anting itu." Dinda menyibakkan rumput dan batu di pinggir jalan.

Sudah hampir dua jam Dinda menyelusuri jalanan, mencari-cari keberadaan benda kecil yang berkilauan itu. Erza menemani Dinda mencarinya, tangannya ikut sibuk menyibakan rumput dan bebatuan di terotoar, berharap hal yang sama dengan Dinda.

"Kita pulang yuk." Erza menepuk pundak Dinda.

"Kalau loe mau pulang, pulang aja sendiri. Gue jugakan nggak minta bantuan loe buat mencarinya." tangan Dinda masih sibuk, matanya mulai berkaca-kaca.

"Sepenting itukah antingnya?" Erza duduk berjongkok di sebelah Dinda.

"Itu hadiah terakhir dari Ayah gue sebelum dia meninggal. Loe nggak akan pernah tahu betapa berharganya anting itu buat gue."

"Menginggal!?! Hla tadikan bokap loe???" Erza kaget.

"Dia Ayah tiri gue, Ibu menikah lagi setelah Ayah gue meninggal. Pria itu brengsek, Ibu memilih laki-laki yang salah."

"Dia cuma mau uang Ibu, kerjanya cuma mabuk dan main judi. Gue juga sering diajarnya saat membela ibu." air mata Dinda mulai menetes.

"Lo diem aja?" tanya Erza.

"Gue dan ibu terus mencoba lari dari bajingan itu, kami pindah. Dia tadi pasti mencoba untuk menemukan rumah kami, dengan ngikutin gue sepulang sekolah." lanjut Dinda.

Erza terdiam mendengar ucapan Dinda, dirinya nggak menyangka dengan apa yang dialami oleh Dinda. Rasanya ingin meminjamkan bahunya agar Dinda bisa menangis sepuasnya di situ. Erza mencoba mengulurkan tangannya hendak mengelus punggung Dinda.

"Stop!! Jangan sentuh gue!!" Dinda menghindari tangan Erza.

Erza mengurungkan niatnya, dia menarik kembali tangannya yang sudah separuh jalan. Saat Erza menundukan wajahanya, ia melihat sebuah anting emas. Anting itu hanya berbentuk bulatan sederhana. Erza memungutnya dan membandingkannya dengan milik Dinda, dan sama persis, ternyata memang itu adalah anting yang Dinda cari.

"Gini aja, kalau gue bisa nemuin anting loe, sebagai imbalannya loe kudu mau jalan ama gue." Erza mencoba menghibur Dinda.

"Kalau loe bisa nemuin, apapun akan gue lakuin." Dinda masih menunduk dan mencari.

"Beneran?"

"Iya bener."

"Nggak boleh bohong!!"

"Iiih.. iya iya."

Erza membuka genggaman tangannya, anting sederhana itu ada di atas telapak tangan Erza. Wajah Dinda langsung berseri- seri senang. Ia menghapus air matanya dan langsung mengambil anting itu. Senyuman Dinda mengembang, Erza baru kali ini melihat Dinda tersenyum begitu manis kepadanya.

"Sini gue bantuin pakenya." Erza memasangkan anting itu kembali ke telinga Dinda.

"Thanks, Za." Dinda kembali tersenyum senang.

"Eits jangan lupain janji Loe, loe udah janji mo jalan ama gue."

Dinda hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman, Erza memandang wajah Dinda yang tersenyum begitu manis kepadanya. Banyak hal yang belum ia ketahui tentang Dinda, Erza ingin mengetahui semua hal tentang Dinda dan melihat ekspresi wajah Dinda yang belum pernah ia lihat, senang, bahagian, cemberut, menangis, sedih, marah, semuanya.

Erza mengantar Dinda menyelusuri jalanan sepi menuju ke rumah Dinda. Matahari sore berwarna oranye ke merah-merahan semakin tenggelam mengikuti langkah kaki mereka, menimbulkan rasa hangat dan nyaman.

"Sudah sampai gue masuk dulu." pamit Dinda.

"Boleh gue minta nomor hp loe, Din?"

Dinda menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor HP-nya

"Itu nomor hp gue, loe chat aja kapan loe mau ngajak jalan. Gue akan berusaha ngeluangin waktu buat loe."

"Oke."

"Gue masuk dulu, ya, Za." Dinda berlari masuk ke dalam rumahnya.

"YES!!" Teriak Erza senang.

Dinda hanya tersenyum dan tersipu melihat Erza berlalu pergi dari balik jendela rumahnya.

•••DINDA•••

Hallo

Terus dukung kisah Cinta Erza dan Dinda ya..

Kasih like, comment dan klik tombol + fav

Terima kasih dukungannya

❤️❤️❤️