DINDA
BAB 5. Pembohong.
BRAKK..!!
Klontang..!!
Terdengar suara benda di banting saat Dinda membuka matanya. Jarum masih menunjukan pukul 4 subuh saat ia melirik jam waker di samping tempat tidurnya.
"Mana uangnya??!" kembali terdengar teriakan dari luar kamarnya.
"Uang apa hah??!" jawab Ibu Dinda dengan marah kepada seorang laki-laki. Dia adalah Donny, Ayah tiri Dinda.
Sudah bertahun-tahun Dinda dan ibunya lepas dari cengkraman laki-laki ini. Lelaki yang sama sekali tidak pernah menghidupi istri dan anak tirinya. Kerjaannya hanya mabuk dan bermain judi.
"Kerjamu cuman judi dan mabuk saja??!!! Pergi dari sini!! Tidak ada uang di sini..!" lanjutnya lagi.
"Jangan bohong!! Cepet berikan!! Atau aku bunuh kamu..!" pria lusuh itu mengambil botol bekas minuman dan mengancam istrinya.
"Ayo pukul saja aku!! Walaupun aku mati kau juga tidak akan mendapatkan uang sepeserpun dari rumah ini." jawab Dita, ibu Dinda dengan lantang, ucapannya semakin memicu kemarahan Ayah tirinya itu.
Plok!!
Sebuah gulungan uang mengenai wajah pria tua itu dan terjatuh tepat di bawah kakinya. Ia memungut gulungan uang seratus ribuan yang di lemparkan Dinda barusan.
"Ambil uang itu dan pergi dari sini!! Jangan buat keributan!!" kata Dinda, suaranya bergetar, ia memandang jijik pada wajah ayahnya yang memerah karena pengaruh alkohol.
"Huahahahah.. ini baru anakku, Ibumu pelit, punya uang banyak tapi tidak membaginya dengan Ayah." Ia mendekati Dinda dan akan membelai rambut panjang anaknya. Usahanya itu ditepis oleh Dinda.
"Ya sudah kalau nggak mau, aku pergi..!" pria itu berjalan sempoyongan keluar dari rumah meninggalkan istri dan anak tirinya.
Wajah Ibu Dinda berubah, dia keheranan dengan tindakan yang dilakukan putrinya.
"Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Ndug?" tanya ibunya.
Dinda tak menjawab, dia kembali masuk ke dalam selimutnya. Motif bunga krisan di atas selimut miliknya sudah mulai pudar.
"Minjem dari temen, Bu. Rencananya mau buat beliin ibu obat." jawab Dinda singkat, tangannya menarik lebih tinggi selimut sampai menutupi telinganya.
"Uang sebanyak itu??" tanya ibunya lagi.
"Ah..Ibu sudah donk, ga usah banyak nanya ah.." Dinda duduk dan membentak ibunya.
Dinda diam sesaat memandang wajah Ibunya yang terlihat syok, mungkin kaget karena anak gadisnya mulai membangkang akhir-akhir ini.
"Itu ada uang di meja, Bu. Pakai untuk belanja nanti." Dinda menunjuk ke arah meja, ada beberapa lembar uang di atasnya.
"Dan satu lagi, Ibu nggak usah percaya apa kata tetangga. Itu bos Dinda di toko, Bu." Dinda mengambil nafas.
"Dinda sering pulang kemalaman dari toko, sudah nggak ada angkot lagi, jadi kadang dia kasihan dan nganterin Dinda pulang." Dinda kembali merebahkan diri dan memunggungi ibunya.
"Ya sudah-sudah Ibu percaya, maafin Ibu, ya, Ndug. Kamu jadi kerja keras gini karena Ibu." Ibu Dinda mengelus pelan rambut putrinya sebelum bergegas keluar kamar.
Sesaat setelah ibunya keluar, air mata mulai mengalir dari kedua kelopak mata Dinda. Dinda menangis terisak-isak, hatinya sangat sakit mengingat ucapan Ibunya itu.
"Maafin Dinda ngebohongin Ibu.. Dinda ngelakuin ini semua buat Ibu."
•••DINDA•••
Seperti biasa setelah menyapu rumah dan halaman belakang Dinda langsung mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah.
"Ibu, Dinda berangkat dulu, ya." Dinda mencium tangan ibunya.
"Hati-hati, ya, Ndug." jawab Ibu Dinda.
"Oh iya, Bu. Kemungkinan nanti Dinda pulang malam lagi, Ibu nggak usah nungguin Dinda. Ibu istirahat saja dan minum obatnya.
Ibu Dinda hanya mengangguk dan memandang putrinya dengan iba. Semenjak Ayah Dinda meninggal, Dindalah yang bekerja memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Dinda mengaku bekerja di sebuah minimarket di dekat sekolahannya. Ibu Dinda sendiri hanyalah seorang penjahit, ia hanya bekerja jika ada orang yang mau memakai jasanya. Bukan tidak mau bekerja tapi penyakitnyalah yang membuat ibu Dinda tidak bisa bekerja berat.
Dinda berjalan menuju ke sekolahannya dengan langkah kecil, sesekali dia menguap karena rasa ngantuk yang melandanya. Setelah kejadian kemarin Dinda sama sekali tidak bisa tidur kembali. Rasa ngantuk Dinda menghilang saat sebuah suara melengking memanggil namanya.
"Dindaaa..."
"Haaahh pagi-pagi semangat banget?!" Dinda menoleh, suara teriakan itu berasal dari sahabatnya Venny.
"Hidup itu mesti semangat, walaupun nggak punya duit, rumah besar, cowok ganteng, wajah cantik, hm.. apalagi, ya?" Venny memeluk sahabatnya.
"Kebanyakan mikir loe, mending kita mikir sekolah dulu deh, kelihatannya kita uda telah nih." Dinda menunjukan jam tangannya.
"Gila jam 8.. ayuk lari, Din..! Ntar bisa di hukum kalau telat." Venny menarik tangan Dinda dan berlari kecil menuju gerbang sekolahan mereka yang sudah hampir tertutup.
Dinda dan Venny sudah sahabatan sejak SMP, mereka punya kesamaan nasib yang akhirnya menjadikan mereka sebagai sahabat yang saling berbagi dan nguatin.
Sahabat Dinda ini punya wajah yang manis, walupun agak gelap tapi kulitnya bersih, rambutnya hitam panjang dan bergelombang. Venny pakai kacamata karena terlalu seneng baca komik dan novel, membuat kecantikannya sedikit berkurang.
"Yah dihukumkan buat bersihin WC!!" gerutu Venny.
"Udah nggak usah ngeluh. Lagian juga kita yang salah, telat masuk sekolah." Dinda mengambil ember pel dan mengisinya dengan air.
"Entar sore loe mau pergi lagi, Din?" tanya Venny sambil mulai mencuci pelnya.
"Maybe." jawab Dinda singkat.
"Mending loe berhenti deh, Din. Buat kebaikan loe sendiri, lagian buat apa juga loe terus terusin? Yang ada loe malah tambah tersiksa andngerasa bersalah sama ibu loe sendiri." Venny nyeloteh disebelah Dinda.
"Kalo gue berhenti terus dari mana gue bisa dptin duit buat pengobatan ibu?" jawab Dinda dengan nada agak tinggi.
"Terserah elo, Din, gue cuma bisa ingetin elo doang." Venny melepaskan kaca matanya yang mengembun.
"Gue mesti gimana, Ven? Elo tahu sendiri Ibu sakit parah udah lama, cuma dia keluarga yang gue punya. Gue ngelakuin hal kaya gini juga demi dia." Dinda menunduk dan mulai menangis.
"Udahlah Dinda, jangan menangis. Siapa tahu ada jalan keluar lain yang lebih baik. Sebelum semuanya terlambat mending loe segera berhenti." Venny memeluk sahabatnya.
Dinda dan Venny meninggalkan toilet, dan beristirahat di kantin. Dinda memesan es teh dan semangkok mie sedangkan Venny jus mangga dan mencomot sebungkus roti bakar.
"Beberapa hari ini ada cowok yang sering buntutin gue pulang, Ven." cerita Dinda.
"Buntutin?"
"Iya kemarin juga, malah dia nolongin gue nyariin anting yang jatuh."
"Terus?"
"Ya gue berterima kasihlah sama dia, dan rencananya dia mau ngajakin gue kencan." curhat Dinda.
"Hah? Terus loe mau kencan sama dia, Din?"
"Entahlah kelihatannya dia suka sama gue, Ven." wajah Dinda sedikit tersipu.
"Ganteng nggak?" tanya Venny penasaran.
"Ganteng, sih. Tapi gue masih bingung, trus loe kan tahu kaya apa kehidupan gue. Nggak mungkinkan gue ngasih kesempatan cowok buat dekatin gue." curhat Dinda lagi.
"Sekali kencan bukan berarti ngasih kesempatan kali, Din. Loe jalan aja sama dia,nggak ada salahnya jugakan? Apalagi kalau ganteng." Venny tertawa.
"Hari ini loe mau keluar lagi, Din?" tanya Venny.
"Iya gue nitip Ibu, ya, Ven."
"Kali ini sama siapa lagi sih, Din? Uang loe sudah cukup untuk biaya berobatkan? Sudahi aja Din!"
" Baru 50 juta masih kurang banyak Ven. Hari ini Om Satrio bilang mau ngejemput gue sepulang sekolah."
"Hah? Kontraktor itu?"
"Iya,tempo hari dia janji akan ngasih gue 20 juta kalau gue hanya melayani dia saja."
"Elo mau?"
"Kapan lagi gue bisa dapat duit segampang dan secepat ini, Ven?" Dinda menghela nafas panjang dan Venny hanya diam sembari meneguk habis jus mangga di depannya.
Sudah berkali-kali Veni menegur sahabatnya, walaupun mudah mendapatkan uang itu tapi hasil jerih payah Dinda hanyalah uang haram.
"Andai gue bisa bantu elo, Din."
"Elo jagain Ibu pas gue pergi aja, gue dah sangat berterima kasih, Ven."
"Orang kecil kaya kita emang harus menghalalkan segala macam cara buat bertahan hidup." Venny kembali menghela nafasnya
"Ayo masuk ke kelas aja." ajakan Dinda mengakhiri pembicaraan mereka.
•••DINDA•••
Hallo
Keep reading ya readers,
Jangan lupa like dan commentnya..
Klik Fav juga.
❤️❤️❤️
Terima kasih sudah membaca kisah Erza dan Dinda.