Suara ingar bingar terdengar memenuhi telinga Alarick saat pria itu menginjakkan kakinya di salah satu hiburan malam yang berada di Las Vegas. Matanya melirik ke sekeliling, mencari teman-teman sehatinya yang berkata jika mereka sudah datang lebih dulu.
"Oi! Alarick!"
Panggilan itu membuat Alarick menolehkan kepalanya ke sumber suara. Di meja bar terdapat 3 pria yang melambai-lambai ke arah Alarick, membuat Alarick mendengus dan berjalan malas saat mengetahui jika teman-temannya berada di tempat low-buget.
"I've told you guys," kata Alarick saat duduk di kursi tinggi yang terdapat di bar, bergabung dengan teman-temannya. "Kita ini adalah bos besar. Sudah seharusnya kita masuk ke ruangan VVIP daripada duduk di bar murahan ini. Aku sangat tidak sudi duduk di kursi yang harganya bahkan lebih murah daripada harga kaos kakiku. Membuat kharismaku berkurang saja."
"Tapi kau sudah duduk di kursi murahan ini, Anak Iblis," balas salah satu temannya. Pria itu adalah Makiel Zander McKennedy. Sahabat kecil Alarick yang sialnya ditakdirkan menjadi sahabatnya hingga sekarang. Makiel memang memiliki kebiasaan suka mengganti nama panggilan orang dengan ejekan atau umpatan.
"Ya, Pria Brengsek, seharusnya kau melakukan apa yang kuinginkan sehingga aku tidak duduk di kursi murahan ini," desis Alarick dengan mata tajamnya yang menatap kesal pada Makiel, dan di balas Makiel dengan tatapan jahilnya.
"Oh come on, Man. Kita disini untuk bersenang-senang, bukan membuat keributan." ucap temannya yang lain. Pria itu Darren Valentino Reinhard. Sama-sama brengsek, seharusnya. Entah mengapa hari ini pria itu tampak tidak ingin diganggu.
"Right. Kita ambil keuntungannya saja jika perempuan-perempuan murahan yang cantik akan melemparkan diri mereka dengan senang hati." kata sahabatnya yang lain lagi. Pria itu adalah Felix Barachandra Philips. Mata Felix menggeriling, menggoda para wanita yang sedari tadi menatap mereka seolah keempat pria itu adalah tontonan seru.
Tidak heran, sih. Selain tampan, aura mereka juga membuat orang-orang di sana berhasil tepukau. Selain meniliki badan dengan porsi yang sangat diinginkan para wanita, pakaian mereka yang mencolok dengan barang-barang bermerek yang menjadi aksesoris, membuat mereka sukses menjadi santapan para wanita di sana. Namun, karena aura mereka juga mengeluarkan aura intimidasi, membuat para wanita di sana hanya dapat berharap disapa oleh salah satu pria di sana, dan setelahnya perempuan itu pasti akan rela mengangkang di bawahnya.
Lagian, siapa yang tidak tahu dengan grup The Devils ini? Selain mereka sering muncul di televisi, majalah, koran, dan radio, mereka juga pewaris tunggal dari perusahaan-perusahaan terkenal. Dan Alarick sendiri, sudah menjadi pemilik Damian Corporation, di mana perusahannya sudah menempati seluruh kota di negara Amerika. Perusahaan yang memiliki lebih dari 10 jenis bidang yang digeluti.
"What's wrong, dude?" tanya Felix kemudian, sambil merangkul bahu Alarick. "Kau kelihatan sama jeleknya dengan Darren."
Alarick mendelik jengah. "C'mon."
"Aku tidak berbohong. Wajah kalian sama-sama terlihat sedang menahan kentut. Benar bukan, El?" tanya Felix, sambil menoleh pada Makiel yang ternyata sudah sibuk berciuman panas dengan salah satu perempuan di sana. Felix memutar bola matanya dengan jengah. "Si Playboy Brengsek itu." geramnya, lalu kembali menoleh pada Alarick. "What's wrong?"
"Aku tidak sedang menahan kentut."
"Lalu apa? Sedang menahan buang air besar? Kau tidak perlu melakukannya. Banyak toilet yang tersedia disini."
"Right, kiddo. Kau membuatku makin kesal."
"Oh? Jadi, itu yang membuat wajahmu sejelek ini?"
Alarick hanya menggeram kesal, membuat Felix tertawa kencang.
"Ada apa? Apa sekertaris polosmu itu yang membuatmu begini? Lagi?" tanya Felix dengan senyum miring bermain di bibirnya, membuat Alarick mendelik jengah. Felix tertawa kencang. "Come on, dude. Sudah kubilang berikan dia obat tidur dan ikat dia di ranjangmu."
"Aku tidak mau."
"Why?"
"Sudah kubilang, aku ingin dia yang melemparkan dirinya padaku." ucap Alarick sambil berdecak kesal. "Lagipula, aku tahu dia tidak sepolos itu." ucapnya, membuat Felix mengangkat sebelah alisnya dengan heran. "Kau tahu, orang polos akan gugup, atau setidaknya, pipinya akan merona saat melihat pemandangan orang bercumbu di depannya. Dan lebih mengesalkannya lagi, dia tidak merona saat aku peluk."
Felix tertawa mendengarnya. "Kau seharusnya melakukan hal lebih daripada pelukan, bro." katanya sambil memukul bahu Alarick. "Kau harusnya mengecup lehernya atau menjilat telinganya."
"Sama saja dengan aku menggoda dia, kalau begitu."
"Tapi dia akan merangkak di bawahmu saat mengetahui jika sentuhanmu benar-benar nikmat."
Kali ini, Alarick terdiam. Matanya menerawang lurus, dan memikirkan ucapan Felix.
Namun, Felix seolah tidak mengizinkan Alarick berpikir lebih lama saat pria itu tersenyum miring dan berucap, "Kau tahu? Kami akan membantumu dengan senang hati untuk menjaga pintu keluar."
***
Valerie baru saja duduk di kasurnya saat mendengar suara telfon berbunyi nyaring dan menampilkan id caller Bosnya di sana. Valerie mendelik, lalu mengangkat panggilan tersebut dengan rasa kesal. "Yes, Sir?"
"Velerie ... Sekertaris cantikku." kata Bosnya di sebrang sana, lalu tertawa kencang sebelum cegukan. "Bisakah kau ke sini, sekertarisku?"
"Anda berada di club, Sir?"
"Ahahaha, kau bahkan dapat menebak aku sedang di mana. Kau sekertaris yang hebat."
"Ya, saking hebatnya, saya tahu jika anda sedang dalam keadaan mabuk."
"100 untukmu!! Yey!! Hahahaha."
Valerie mendelik mendengarnya. "Saya akan panggilkan Robert untuk—"
"Aku tak butuh supirku! Aku hanya butuh sekertaris cantikuuu. Muah! Muah!"
Berhentilah jadi gila sebelum aku mengajukan resign, Bos!!, teriak Valerie dalam hatinya. "Baik, Sir. Saya akan menjemput Anda."
Alarick tertawa lebar. "Bagus. Sekertarisku sangat baik."
Ya! Saking baiknya, aku berencana melemparkanmu ke jurang saat kau sedang mabuk, Brengesek, batin Valerie. "Saya akan menemui Anda dalam 10 menit, Sir."
"Wow! Sangat kompeten, Miss. Alright then. I'll wait for 10 minutes."
"Yes, Sir."
Valerie menghela napas lega saat panggilan tersebut diputus. Matanya kemudian melirik pada jam di ponselnya dan menggeram kesal saat melihat angka yang menunjukan jika sebentar lagi tengah malam. Mendengus, Valerie kemudian melompat dari kasurnya untuk bersiap.
***
Valerie sampai di kelab malam yang disebutkan bosnya itu 2 menit lebih cepat. Dia segera menelusuri tempat itu dengan matanya yang mencari-cari Alarick. Saat menemukan pria itu tengah tertidur di bar, Valerie segera menghampirinya. "Sir." Panggilnya.
Alarick mengangkat wajahnya, lalu menatap penampilan Valerie dengan bingung. "Kau memakai piama ke kelab malam?"
Valerie berdiri tenang di tempatnya. "Anda tidak terlihat mabuk, Sir."
Kali ini, mata Alarick menatapnya dengan sayu akibat mabuk. Pria itu kemudian tertawa kencang. "Tentu saja aku tidak mabuk! Mana mungkin pria hebat sepertiku mabuk? Kau bukan seorang pria jika mabuk dengan gampangnya."
"Ya. Katakan itu pada diri Anda sendiri, Sir."
"Berhenti mencerewetiku. Kau hanya sekertaris."
Dan berhentilah menyusahkanku! Kau hanya bosku di tempat kerja!, batin Valerie, kesal. "Kita harus segera pulang sekarang, Sir."
"Berhenti memerintahku!"
Seharusnya, aku yang berbicara seperti itu, Sialan!, batin Valerie, kesal setengah mati. Namun, walaupun begitu, wajah Valerie tetap tenang terkendali. "Saya akan mengantar Anda sekarang." katanya, lalu mengambil sebelah tangan Alarick untuk mengajak pria itu berdiri.
Namun, tubuh Alarick yang oleng membuat Alarick terjatuh dan pingsan di lantai. Tidak ada kepanikan saat mengetahui jika Alarick pingsan. Ketenangan Valerie masih terjaga. Perempuan itu kemudian menatap bartender di kelab malam itu. "Permisi, apa kau tahu bagaimana cara menangani seseorang yang mabuk hingga pingsan seperti ini di kelab tempat anda bekerja?"
Batender tersebut menganggukkan kepalanya dengan perlahan. "Di lantai atas, ada beberapa kamar yang sering digunakan untuk bermalam di sini."
"Apa Anda bisa membantu saya untuk menggotong pria ini ke atas?"
Bartender tersebut tidak menjawab. Pria itu hanya mengangkat kepalanya lebih tinggi, lalu mengangkat sebelah tangannya. Valerie pun menoleh karena penasaran. Ternyata, bartender tersebut memanggil penjaga kelab malam ini. "Bantu gadis ini membawa pria mabuk itu ke kamar." perintah bartender tersebut.
Dua penjaga kemudian mengangkat tubuh Alarick dengan mudah. Valerie mengikuti saat penjaga itu membawa Alarick ke lantai atas dan memasuki sebuah ruangan yang tempatnya mirip seperti suite room di hotel. Valerie terpukau sejenak. Dia bahkan tidak tahu jika 2 penjaga itu sudah menyimpan Alarick di kasur dan meninggalkannya berdua dengan Alarick yang mabuk.
Sadar jika mereka hanya berdua, Valerie kemudian menghampiri tubuh terbaring bosnya, dan menyelimuti tubuh Alarick agar pria itu tidak kedinginan. Saat Valerie menuju ke arah pintu, suara pintu yang di kunci membuatnya membeku sejenak, lalu meraih kenop pintu dan menariknya.
Pintu itu terkunci dari luar.
"Baik sekali kamu mau menyelimutiku," suara Alarick membuat tubuh Valerie menegang. "Dan baik sekali kau mau menjemputku."
Valerie segera membalikan tubuhnya untuk menghadap Alarick. "Sir, sepertinya ada yang mengunci kita dari luar."
Alarick yang terduduk di tepi ranjang, mendengus geli lalu mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap Valerie. "Teman-temanku hanya melakukan tugasnya, Valerie. Kau bisa tenang."
"Maaf, Sir. Itu malah lebih menakutkan."
Seringai iblis segera terbentuk di wajah Alarick. Pria itu lalu berdiri dan berjalan perlahan menghampiri Valerie. "Kamu seharusnya menampakkan wajah pucat pasi, Valerie. Bukannya sangat tenang seperti ini." katanya, terus melangkah mendekati Valerie hingga tubuh bagian atas mereka menempel. "Apa seperti itu ekspresi ketakutanmu?"
Valerie hanya diam. Tidak mundur, atau pun ketakutan karena intimidasi dari bosnya. "Saya ingin pulang, Sir. Anda seharusnya beristirahat setelah pulang dari Indo—"
Ucapan Valerie terpotong saat Alarick mendorong tubuhnya dan menekan tangan perempuan itu ke tembok, lalu menggeser tangannya ke atas kepala. Wajah mereka sangat dekat dan tubuh keduanya menempel erat. Valerie bahkan dapat merasakan sesuatu yang keras di perutnya saat ini.
"Kamu tau ini apa?" tanya Alarick, sambil sedikit mengangkangi tubuh Valerie, dan menggesekan kejantannya di kemaluan Valerie dengan gerakan menggoda. Dan hal itu membuat Valerie menyesalkan pilihannya yang memilih menggunakan celana daripada rok. Karena Valerie saat ini langsung merasakan kedutan nikmat akibat ulah Alarick. "Dia menginginkanmu, Valerie."
"Ini pelecehan seksual, Sir."
"Sial! Hentikanlah wajah tenangmu itu!" geram Alarick, memundurkan tubuhnya, menarik tangan Valerie dan memeluk perempuan mungil itu dengan erat. "Aku akan melakukan apapun yang kumau saat ini." katanya sambil mendesis. "Apapun, termasuk keinginanku untuk menghapus ekspresi datarmu itu!"
Dan Alarick benar-benar melakukannya. Melakukan pelecehan seksual pada Valerie saat bibir pria itu melumat kasar bibirnya, menekan punggung serta tengkuk Valerie agar tubuh mereka menempel erat. Bibir Alarick mencium bibir Valerie dengan kasar dan menuntut. Valerie diam saja saat pria itu meraup bibirnya ganas, menghisap bibir bawah Valerie, dan memasukan lidahnya ke dalam mulut perempuan itu.
Kali ini, Valerie tersentak merasakan rasa kenyal dan basah itu di dalam mulutnya. Tangan Valerie yang berada di samping tubuhnya, kini bergerak merenggut jas Alarick di bagian dada, dan mendorong tubuh bosnya dengan lemah. "Sir—hmph." ucapan Valerie segera teredam saat lidah Alarick ternyata belum puas menelusuri seluruh mulut Valerie. Membelai lidah Valerie, menghisap lidahnya, lalu menggigit pelan.
"Shit." desis Alarick. Dan saat Valerie mengira jika pria itu akan berhenti, dia ternyata salah. Alarick mengecup rahangnya, sambil menodorong Valerie mundur dan membuat perempuan itu terbaring telentang, sedangkan Alarick menindihnya di atas tubuh Valerie.
"Sir—ahh." Valerie tak dapat melanjutkan perkataannya saat Alarick sudah mengulum telinganya dan memainkan telinga Valerie dengan lidahnya.
"Damn, aku tidak bisa berhenti." oceh Alarick. "Aku tidak ingin berhenti." geramnya, lalu mengecup leher Valerie, menghisap kencang, dan memberikan gigitan di sana.
"God—ahh." Valerie tak dapat mengontrol dirinya lagi saat tangan Alarick menekan payudaranya, meremasnya kencang. Dan sialnya, karena Valerie mengenakan piyama tanpa bra di dalamnya, Alarick bisa memasukan tangannya ke sana dan menarik puncak payudara Valerie, membuatnya mendesah. "S-sir, anda membuat saya terp-aksa melakukan in-i."
"It's okay, Valerie. Kamu bisa terus mendesah dan—aw!" ucapan Alarick berubah menjadi pekikan saat merasakan dua jari Valerie menekan lehernya. Sesaat, Alarick memelototi wajah Valerie sebelum mata pria itu terpejam, dan tubuhnya ambruk di samping Valerie.
Napas Valerie terengah kencang. Dia menoleh, menatap Alarick dengan pikiran yang berkelana pada kejadian sebelumnya. Sial, tadi sangat nikmat dan menyenangkan.
Valerie menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan tersebut di pikirannya, lalu menghela napas lega kemudian. Tidak boleh, Valerie! Bunda Panti berkata no sex before marriage, batin Valerie tegas.
Valerie lalu menganggukkan kepalanya dengan mantap. Sebagaimanapun dia menginginkan pria itu, Valerie tetap tak akan melakukan kegiatan tersebut sebelum menikah.