Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 4 - Superhero (part 1)

Chapter 4 - Superhero (part 1)

<<<>>>

[Jalan Aigeus, Kota Pasithea, Negeri Soteria]

[20 Juli Z-57]

Bumi telah berotasi selama dua belas tahun. Mengantarkan sebuah babak kehidupan baru bernama tahun Zeta--periode keenam. Jauh setelah penemuan nanoteknologi, haptic hologram tiga dimensi, kendaraan antigravitasi, robot medis, gadget universal, mesin berinput perintah langsung dari otak, hingga penemuan yang paling mengukir sejarah manusia: sumber energi tanpa batas bernama Kristal Hexagon.

Tangan-tangan fajar mulai membentangkan garis kuning-biru gelap di cakrawala. Cahaya mentari menggeser perlahan kepijaran lampu LED yang berbaris rapi di tepi jalan. Kota ini menampilkan siluet gedung-gedung tinggi yang anggun. Lengkap dengan segala pernak-pernik kecanggihan teknologinya.

Mobil-mobil berbodi langsing melaju dengan kecepatan tinggi di sepanjang jalur lintas kota. Mereka melayang rendah tanpa roda. Bagaikan hantu yang menjelajahi Jalan Aigeus tanpa hambatan, dengan alur sirkuit menyerupai PCB* khusus yang telah menjadi marka jalan. Semua pergerakan terkomputerisasi dengan baik. Termasuk kapan sebuah mobil harus berbelok, terangkat naik, atau pun turun ke level jalan di bawahnya.

*) PCB (Printed Circuit Board): papan yang biasanya berwarna hijau dan memiliki pola lintasan yang unik dari bahan tembaga. Digunakan untuk menyambungkan komponen elektronika dalam suatu alat yang terintegrasi, remot kontrol misalnya.

Kerapian itu membuahkan hal positif. Pengguna jalan tak mendapat celah untuk melanggar lalu-lintas atau pun menumbuk kendaraan lainnya. Lagi, pelintas jalan bisa melaju tanpa harus terhambat oleh kemacetan yang berarti.

Sementara itu, jalur udara lebih bersifat fleksibel. Hoverbike, pesawat mini, serta kereta terbang pun ikut berselancar memenuhi area penghirupan. Dan berbekal sistem ultrasonik serupa kelelawar, semua risiko tabrakan pun dapat dicegah.

Jika ada yang mampu menyaingi intensitas dari cahaya tampak, maka itulah berkas-berkas sinar laser berfrekuensi tinggi--hologram ramah lingkungan. Mata pun semakin dimanjakan oleh piksel-piksel terbang tersebut. Lapangan pandang dipenuhi dengan tulisan serta gambar animasi bergerak. Mulai dari tampilan informasi produk keluaran terbaru, berita publik, papan reklame, atau sekadar penamaan gedung dan penunjuk jalan. Membaur menjadi satu dengan suara bising khas pemukiman beraktivitas padat, yang menderu-deru tanpa kenal lelah.

Kota ini telah mentransformasikan sebuah peradaban manusia ke dalam surga duniawi yang patut dibanggakan. Dan sebutan utopia bukanlah suatu keanehan baginya.

Sebuah rumah berdesain minimalis di ujung jalan bernomor urut 87 itu tak membuatnya terlihat istimewa di tengah deretan perumahan yang sebangun. Rumah persegi putih berlantai dua tersebut memiliki pekarangan yang sempit dan hanya ditumbuhi sedikit rerumputan. Sama seperti tempat lain, cukup sulit untuk sekadar mencari lahan hijau di tengah lahan metropolis. Hampir semua tempat berwarna putih metalik dan terlihat monoton.

Pintu rumah itu terbuka, menampakkan sosok anak berambut ikal yang tergopoh-gopoh sambil meletakkan sepatunya di tangga teras rumah.

"Sial, kenapa dari dulu aku selalu bermasalah dengan dasi!" Anak laki-laki itu menggerutu sambil memutar-mutar tali penghubung di kedua kerah bajunya, yang malah kelihatan semakin semrawut.

Seorang anak laki-laki yang seumuran menyusul ke luar. Rambut hitamnya lebat dan membentuk poni acak di dahi. Sementara mata coklat gelap yang bersembunyi di balik kacamata tebal miliknya melirik ke arah si anak ikal.

Dasi bodoh itu membuatnya menahan tawa seketika. Ia tak mengira Arvin, si anak ikal, akan membuat simpul mati ala pramuka. Untung saja bukan pita kupu-kupu yang biasa dipakai untuk menghias kado ataupun menali sepatu.

"Hanya tertawa? Terimakasih atas bantuannya, Rei." Anak berambut ikal mendecak sebal.

Raut serius anak berkacamata--yang dipanggil Rei--itu segera kembali dari tawa kecilnya. "Kalau malas belajar--bahkan hanya sekadar membuat dasi, kau akan terus dibilang bodoh. Kau sudah besar, Arvin."

"Ayolah," anak berambut ikal itu menarik-narik lengan Rei yang tengah berjongkok demi menalikan sepatunya, "ratusan kali aku mendengar kata bodoh. And that doesn't make a sense anymore. Tak mempan lagi buatku."

Rei malas mengindahkan anak itu, lantas berpura-pura menengok jam di tangan kanannya yang berupa kaca semitransparan tipis. Tidak, dia tidak berpura-pura. Mereka memang sedang dikejar waktu rupanya.

Rei menghardik kesal, "Cepat selesaikan simpul sepatumu, Arvin! Kau tidak berniat membuatku terlambat di hari pertama sekolah, 'kan?" Ia berhasil menghentikan rengekan Arvin; terasa seperti lebah yang menyerang kepala sampai berdenyut.

"Dan kau tidak berniat membuatku ditertawakan di hari pertama sekolah, 'kan?" Arvin memasang wajah datar sambil menunjuk dasi. Akhirnya si kacamata hanya bisa berdengus pasrah.

Semenit kemudian, mereka berdua sudah ada di dalam mobil langsing tanpa pengemudi. Bagaimana pun, mereka tidak akan ketakutan mengetahui mobil bisa berjalan sendiri sebab mereka tengah berada di dalam Auttaxi (automated taxi). Yang mana pengendara hanya tinggal duduk dan menyetel rute perjalanan mereka melalui monitor layar sentuh yang tertambat di dashboard.

Tatap muka dari layar itu segera menampilkan peta yang terekam dari alat pemosisi global--GPS. Mengharuskan pengendara menginput lokasi tujuan, dan selanjutnya mobil secara otomatis terjun melalui rute tercepat sesuai dengan ketersediaan lintasan pada waktu itu.

"Ya, ini dia Soteria. Semua saja otomatis, tapi dasi tidak." Arvin masih saja merutuk bahkan setelah dasinya selesai direparasi oleh Rei dengan apik.

"Aku tidak terlalu berharap dengan mesin otomatis. Itu akan membuat pemalas sepertimu makin berkembang biak," cibir Rei yang kini tengah fokus pada meja dada tipis setengah bening yang dipegangnya. Sementara arloji yang semula ada di pergelangan tangannya sudah menghilang.

Arvin menyandarkan punggung lebih rileks ke kursi. Mata malasnya melirik sebentar. Siap mengkritik Rei lagi. "Ya ampun, catatan apa yang bisa kamu pelajari di hari yang bahkan kamu-belum-pernah-mempelajari-pelajaran-apa-pun di sekolah baru?" ucapnya panjang lebar hanya untuk keperluan menyindir.

"Siapa yang membaca catatan?" jawab Rei tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

"Membaca buku referensi sebelum pelajaran dimulai akan mempersingkat waktu belajar sekaligus menumbuhkan rasa ingin tahu akan hal baru."

"Oh, that's why. Aku tidak heran jika kau selalu masuk ranking paralel." Arvin mengalihkan pandangan ke luar jendela. Jalur lalu lintas yang mereka lalui semakin padat dan barisan rumah-rumah mulai digantikan dengan bangunan tinggi. Mobil mereka pun lebih sering bersalipan dengan kendaraan lain.

Arvin menoleh kembali ke arah Rei, kali ini dengan raut penasaran. "Kau sudah menyiapkan pidato untuk berkenalan di depan kelas?"

"Pidato?" Rei akhirnya berhenti sibuk dengan diri sendiri. Matanya menatap ke depan walau sebenarnya tak bermaksud mengindahkan keadaan jalan sekitar. "Hanya berkenalan dan menyebutkan cita-cita, 'kan? Aku rasa aku akan melakukannya seperti waktu SMP."

Suara embusan napas Arvin terdengar berat, saat Rei hanya menjawab demikian singkat. "Aku rasa aku juga akan melakukan hal yang sama. Lagi pula dari dulu cita-citaku tidak pernah berubah."

Rei segera menoleh dan menatapnya jenaka. Seolah ada hal lucu yang telah mereka ketahui bersama. "Yakin?"

"Ya, memangnya kenapa?" tukas Arvin sedikit tersinggung.

Rei merapikan posisi kacamatanya. "Entahlah. Mungkin kau harus memikirkan analogi yang lebih terdengar ... realistis?"

"Kau terlalu banyak berharap pada kemampuanku." Arvin mengibaskan tangannya sekali, bertepatan saat taksi mereka berhenti. Mereka sudah sampai. Arvin menggeliat dan segera turun dari mobil hitam metalik yang memarkir diri di terminal khusus, di pinggir jalan.

Rei mengadakan sebuah manuver jari, dan papan semitransparannya seketika berubah menjadi jam tangan kembali.

Melihat kursi di kirinya sudah kosong, Rei menyadari sesuatu. "Hey! Kamu belum membayar argo, Arvin!" pekiknya masih di dalam mobil.

"Kuotaku e-moneyku belum aku isi. Aku pinjam punyamu dulu!" balas Arvin, berteriak dari kejauhan.

"Lagi-lagi," gumam Rei kesal sambil mendekatkan layar jam tangannya ke arah sebuah kotak di dashboard. Kedua mesin itu pun segera mengadakan transaksi saat sensornya bersinggungan.

Kini dua anak tadi berjalan menuju gerbang raksasa. Berbaju seragam rapi membuat mereka membaur dengan anak lain yang berpakaian sama. Baju biru berbalut vest putih. Di sebelah kanan lengan tertempel badge berlambang elang putih dengan satu garis pita berbentuk huruf V yang melengkung di bawahnya. Dasi putih pun turut menghiasi bagian bawah kerah baju mereka. Sementara bawahan panjang biru muda mereka mengikuti langkah kaki-kaki yang menapak dengan penuh semangat.

Arvin berhenti, berkacak pinggang, dan membunyikan tulisan di gerbang raksasa yang dihadapinya, "McValen International School!"

Ia menarik napas panjang dan segera menghadap Rei--yang disulapnya menjadi juru kamera dadakan. "Yup, kembali lagi bersama Arvin Orlandio Monomardi, melaporkan langsung dari tempat kejadian. Lihat! Ada Gavin, si garuda putih di atas sana!" pekiknya bertingkah seperti anak kecil yang menunjuk-nunjuk ke langit, tepat di mana sebuah patung garuda bertengger.

Arvin masih berlanjut, "Oke, sekarang siapkan kepalamu, jantungmu, paru-parumu, semuanya! Karena beberapa detik lagi kita akan menginjakkan kaki melewati pintu masuk gerbang ini. Menuju sebuah peradaban ilmu terbesar di Negeri Soteria," sambungnya meniru gaya seorang presenter berita setengah pemandu wisata dengan logat pembaca puisi, namun lebih mirip sebagai aktor film kacangan. Masih untung jika ada yang mau bertepuk tangan atau menyumbang koin atas hiburan seheboh dan sesingkat kentut itu.

Rei menaikkan kacamatanya yang melorot dengan wajah datar. Pada dasarnya mereka hanya menghabiskan waktu menunggu giliran masuk ke dalam sebuah antrean kecil. Dan Rei berusaha tidak mengenal makhluk overacting di sampingnya, yang sampai saat ini masih bermonolog seperti orang gila.

"... dan saat ini tepat pukul ...." Arvin tak bisa meneruskan kalimatnya ketika mengetahui sesuatu telah hilang. Sedetik kemudian, ia langsung panik. Tangannya memegangi kepala, dan beralih mencari-cari sesuatu di sakunya yang kosong.

"Kau baru menyadari melupakan sesuatu, ha?" tukas Rei sambil membenarkan posisi kacamata dengan telunjuk. Sebuah arloji segera terulur dari tangannya, membuat wajah Arvin kembali sumringah.

Anak ikal itu tertawa konyol. "Kehilangan jam ini membuatku hampir merasa rugi sudah datang ke mari."

"Ya, ironisnya kita sudah dibodohi oleh teknologi. Aku sesungguhnya tidak tahan dengan universal gadget yang akan membuat penggunanya kehilangan smartphone, laptop, sekaligus tablet, hanya dengan menghilangkan sebuah jam tangan!" ujar Rei sementara Arvin mengenakan miliknya.

"Ah kau munafik." Arvin meninju lengan Rei. "Kau bahkan tidak bisa berpaling sedetik pun dari unigetmu. Itulah kenapa kamu tidak punya pacar sampai sekarang."

Rei tak bisa menjawab. Arvin merasa menang. "Hey, this is bothering me," ucapnya sambil jalan satu langkah di dalam antrean. Kau tak pernah terlihat mencari perempuan, apalagi menanggapi permintaan gadis yang menembakmu. Aku jadi tak yakin kau ini tertarik pada ...."

Wajah Rei mendadak bersemu, merasa dihinakan oleh perkataan Arvin yang penuh arti busuk. Apalagi ditambah dengan ekspresi menyebalkan darinya, membuat Rei seketika jengah. "Berhenti membicarakan itu karena ada sesuatu yang lebih penting." Rei mengambil sesuatu dari tasnya. "Ini membuat punggungku jadi berat. Tadi kau melupakan uniget, dan sekarang melupakan ini. Padahal aku yakin kau tidak akan bertahan sampai jam istirahat tanpa ada makanan tambahan. Dasar Lambung Karet!" Rei mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna kuning.

"Wah!" Mata Arvin berkaca-kaca sambil menunjukkan wajah berseri-seri. "Maybe you're my future ... wife! Or ... husband?" Walaupun Arvin sedikit bingung dengan pernyataannya sendiri, namun tetap saja ia berhasil memeluk tubuh ramping Rei, hingga anak berkacamata itu merasa risi.

Rei segera membenahi posisi kacamatanya sambil berharap orang lain di sekitarnya berhenti menatap mereka dengan aneh. "Homoseksual adalah pelanggaran norma dan pemahaman timpang atas ketertarikan yang kabur," tukas Rei berbisik cepat. Mendengarnya, Arvin segera melepas pelukan yang jadi terasa aneh.

"Ah, ayolah, kaum ortodoks yang tidak punya selera humor." Arvin mengetuk kepala Rei lalu berjalan mendahuluinya. Antrean di depan sudah kosong. Saatnya bagi Arvin untuk menunjukkan unigetnya pada robot sederhana di dinding luar sebagai tanda absensi.

Beberapa detik baru Rei mengikuti langkah Arvin. "Hanya berusaha tidak berperilaku sebagai kaum moderat yang tidak punya ...." Sejenak Rei melihat kepala Arvin--tepat di bagian mana otaknya tersimpan--kemudian memilih untuk tidak meneruskan perkataannya yang buruk. Arvin bahkan tidak menyadari Rei berusaha menyindirnya, lantas terus berjalan melewati gerbang itu sambil bersiul.

Beberapa langkah berikutnya, sebuah bangunan menyerupai kastil kerajaan kuno menyambut mereka. Inilah gedung utama sekolah internasional yang terkenal sejak 50 tahun lalu. Namun demikian, kesan tua tidak tergambar dari bangunannya. Dengan dominasi cat putih-biru muda, sekolah ini tampak elit dan modern. Walaupun konstruksi utamanya mengadopsi dari abad pertengahan.

Bersama yang lain, mereka berdua melewati jalanan lebar untuk menuju gedung utama. Berada di tempat ini seperti berjalan di dalam mesin waktu melewati masa lalu, di mana mereka masih bisa menemui jalanan berblok bata segi enam, taman bunga yang didominasi oleh bunga Edelweiss, lapangan rumput yang benar-benar hijau, dan pepohonan beringin rindang yang menampakkan bayang-bayang. Tak berhenti dibuatnya berdecak kagum, Arvin dan Rei bertemu dengan air mancur besar yang mengucurkan air sejernih kaca, sebelum mereka berhasil memasuki kawasan aula.

Di tengah ceceran para siswa baru, pandangan Arvin teralihkan kepada seorang anak yang sepertinya dikenalnya waktu kecil. Sayang, ia sama sekali tak ingat nama pemuda berambut hitam runcing tersebut. Niat untuk menyapa pun urung. Apalagi ketika pandangan mereka beradu, pemuda itu menatapnya lurus-lurus hingga membuat Arvin cemas. Arvin berusaha agar tidak berlama-lama di tempat itu dan berlari mengejar langkah Rei.

Bertepatan dengan bel beramplitudo tinggi yang memekakkan telinga, anak-anak segera kalang kabut untuk membentuk barisan di lapangan. Arahan dari speaker, serta berkat bantuan beberapa murid senior yang menjadi panitia masa orientasi pun mengatur mereka untuk berbaris menurut pembagian kelas. Arvin tidak melihat Rei ada di barisannya. Sungguh disayangkan, kebiasaan menyontek pekerjaan Rei yang sudah ia tekuni sejak SD itu akan musnah mulai detik ini juga.

Pukul tujuh pagi, upacara penerimaan siswa baru dilaksanakan di lapangan, di depan bangunan utama sekolah. Suara dari berbagai alat musik dan paduan suara pun mengiringi naiknya bendera biru muda bergambar garuda putih.

Begitu bendera sampai di ujung tiang dan musik berhenti, keributan kecil di barisan tengah anak kelas satu pun terjadi. Tim medis dengan sigap membopong seorang pemuda dengan tandu. Masih terhitung sepuluh menit, tapi sudah ada siswa yang roboh karena upacara. Arvin merasa sedikit geli.

Sementara ia sendiri terlihat masih bugar dan bersemangat untuk menantang langit. Kesempatan bisa berdiri di sini adalah perolehan besar dalam hidupnya. Ini adalah langkah awal dari mimpinya untuk menjadi seorang ... "Superhero."