Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 7 - Superhero (part 4)

Chapter 7 - Superhero (part 4)

Malam itu, Arvin terpekur di tangga teras rumah. Renungannya kembali hadir. Ia sadar bahwa keluarga Davski adalah satu-satunya peluang baginya untuk tetap melihat cahaya. Dan masa lalu terasa begitu kelam.

Matanya menatap kejauhan. Entah apa yang dilihatnya, yang jelas ia sedang melamun. Bahkan udara yang dingin pun tak dihiraukannya. Luka lebam dengan sedikit rasa perih yang ditinggalkan di pelipisnya itu telah memanggil kembali kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang membuat hatinya benar-benar tergerak.

"Arvin, kau akan pergi bersama Paman Nathan ke tempat yang aman."

"Ayah ...." Arvin kecil masih berusaha meraih tubuh ayahnya. Ia sangat ingin beralih pangkuan. Namun semua pergerakannya terkunci oleh tangan Nathan yang segera menggendong Arvin pergi. Sementara tubuhnya mulai terasa aneh sejak kulit Arvin dijejali oleh jarum suntik.

"Kalau kita beruntung, kita pasti akan bertemu lagi." Tangan Averus mengelus rambut anaknya. Apa yang dikatakan ayahnya?! Kalau mereka beruntung? Apakah rindu Arvin pada ayahnya ini hanya seharga permainan dadu? Jika ia beruntung, ia bisa membawa pulang kebahagiaan? Tidak! Ayahnya tak mengerti sama sekali perasaan Arvin.

Sedetik kemudian, tangan Averus mengambil sesuatu dari saku celana. "Arvin, berjanjilah untuk mempertahankan apa yang benar di dunia ini. Apa pun yang terjadi," bisik Averus dengan serius sambil mengalungkan sebuah tali berbandul kepada Arvin.

Arvin terbungkam, dengan bola matanya yang terasa panas dan basah. Ia hanya bisa diam, membiarkan ayahnya pergi melangkah menuju pintu. Ia ingin berteriak pada para polisi brengsek itu. Pergilah! Dan jangan ganggu kami!

Kepalanya terasa semakin berat, sementara air mata kini makin menjadi-jadi. Dalam sekilas suara peluru, sosok ibunya terjatuh lunglai ke lantai. Darah bagaikan bedak yang melumuri wajahnya yang lugu.

Secepat itukah dia berpisah dengan ibunya? Bahkan Arvin belum sempat mengatakan betapa sayangnya ia kepada Ibu. Betapa rindunya ia dengan jeweran yang terasa panas di telinga. Betapa ketagihannya ia dengan pukulan yang membekas di kulit. Betapa sunyinya waktu tanpa bentakan dari Ibu. Ya, Arvin rela menjadi anak nakal selamanya untuk mendapatkan itu semua. Sayangnya, Arvin tak akan bisa menyentuh ibunya lagi. Tak akan bisa.

Arvin tahu, sekeras apapun ia meraung, tetap saja tak akan mengembalikan keadaan rumahnya seperti semula. Andai saja, ia adalah orang yang kuat. Tidak lemah dan terkungkung di tubuh kecil yang rapuh ini, maka ia akan memenggal semua kepala polisi itu. Tak peduli ia akan menanggung dosa seumur hidup.

Hal terakhir yang bisa dilihat oleh Arvin dari rumah itu hanyalah seulas tipis senyum dari ayahnya. Menyiratkan sebuah percakapan tanpa suara. Percakapan terakhir Arvin dengan sang ayah,

"Selamat tinggal-"

"-Arvin?" Sebuah suara mengaburkan kisah pilu di dalam pikiran gamangnya.

Mata merah gelap Arvin kini menangkap sosok anak berkacamata yang begitu mirip dengan pria yang menyelamatkannya waktu itu. Tentu saja Tuan Nathan menurunkan setengah kromosomnya kepada Rei.

Tak perlu penjelasan lagi bagi si anak berkacamata. Ia sudah tahu apa yang biasa Arvin pikirkan ketika sedang merenung dan menimang kalung peninggalan ayahnya. "Arvin, kau melupakan segala hal, tapi masih mengingat-ingat kejadian itu?"

Arvin tertawa. "Kalau saja aku bisa menghapus memori itu dari pikiranku? Tapi, rasanya ini cukup penting untuk membuatku tetap tumbuh."

Cukup lama mereka diam dalam keheningan, larut dalam pikirannya masing-masing.

"Ah, ngomong-ngomong apa kamu sudah menentukan pilihan ekstrakurikulermu, Arvin?" Rei berucap tiba-tiba, ingin mengalihkan topik pembicaraan. Namun pandangannya sama sekali tidak beralih dari titik-titik kecil bercahaya yang amat banyak berpendar di langit, lengkap dengan bulan yang kadang bersembunyi di balik arakan awan tipis.

"Hmm, adakah ekstrakurikuler yang mempelajari tentang kekuatan super?" jawab Arvin yang di sisi lain sama tertegunnya memandangi keindahan langit.

"Hey, aku bertanya serius!" ucap Rei dengan nada ketus.

"Iya, aku juga bertanya dengan serius. Menurutmu ekstrakurikuler apa yang cocok untukku? Apa aku harus ikut klub bela diri, klub memanah, klub militer?"

Rei menghembuskan napasnya pelan. "Kenapa kamu selalu ngotot dengan hal ini? Kepalamu sekeras apa memangnya? Manusia tidak mungkin bisa jadi superhero seperti di komik."

"Aku sangat menyayangkan kotak imajinasimu sudah kau kubur jauh-jauh, Rei. Dan hey, kau ada di pihak siapa sampai harus melawanku?" Pernyataan itu sekaligus membuat Rei sebagai sahabatnya tertohok. Namun ia kadang memang tidak mengerti dengan jalan pikiran Arvin.

Arvin menimang liontin kalung berwarna perak yang selalu dipakainya itu. "Aku dulu sering diejek karena aku miskin, bodoh, dan tidak bisa melawan orang-orang yang lebih kuat dariku. Bahkan yang terburuk, aku hanya bisa menangis dan menyaksikan kedua orang tuaku mati di depan mataku. Itu semua terjadi karena aku bodoh dan lemah, seperti yang mereka katakan."

Hati Rei merasa tersakiti saat mendengar penuturan itu. Padahal ini bukan kali pertama ia mendengarnya. Namun ia semakin memahami perasaan itu.

"Di saat terakhirnya, ayah memberi tahu padaku untuk mempertahankan apa yang benar di dunia ini. Aku rasa aku telah mendapat sebuah misi dari ayah." Arvin menghela napasnya. "Jadi aku memutuskan untuk berubah menjadi orang yang lebih kuat. Aku ingin menjadi superhero. Aku perlu kekuatan untuk mempertahankan kebenaran," lanjutnya.

"Lalu apa?" Rei segera memutus perkataan Arvin. "Kau akan membalas dendam pada mereka yang telah melukaimu? Mereka yang telah membunuh orang tuamu?"

Arvin terkekeh. "Siapapun akan berpikir demikian, bahkan aku sendiri juga. Ya, balas dendam adalah cara terbaik untuk memuaskan diri. Tapi adalah cara terburuk untuk melakukan kebenaran. Aku berharap bisa memutuskan lingkaran setan itu. Kau tahu, kebencian mengalahkan kebencian yang lain, dan seterusnya."

Rei terkesima mendengarnya, walaupun perkataan itu terdengar bukan dari Arvin.

"Dan ngomong-ngomong, Rei. Kamu sendiri seharusnya sudah meyakinkan dirimu untuk menjadi dokter. Kusarankan kau harus ikut klub palang merah lagi." Arvin mengembalikan pernyataan sekaligus pertanyaan itu pada Rei yang langsung terdiam.

Anak berkacamata itu kini menerawang jauh, sejauh bintang yang ditatapnya itu berada. Memang benar kalau ia sempat berniat menjadi dokter, seperti ayahnya. Namun ia tak ingin menjadi seperti ayahnya yang bahkan sampai sekarang tidak meninggalkan kabar apa pun pada keluarganya. Sosok ayah itu telah lenyap sejak saat terakhir yang dingatnya ketika berumur tujuh tahun. Hanya sejumlah kuota uang elektronik berkala yang datang berkunjung ke rumah dari rekening ayahnya. Setidaknya Rei tahu kalau ayahnya masih hidup dan bekerja entah dimana itu. Rei sekarang mengerti bagaimana perasan Arvin yang akan selalu merindukan keberadaan seorang ayah.

"Kau tahu, menjadi seorang dokter di zaman sekarang ini sudah tidak terlalu diperhitungkan, kecuali kau mau menjadi budak penelitian," ucap Rei getir mengalihkan pandangannya dari langit karena tidak mau terlarut dengan lamunan.

"Ketika kau pergi ke rumah sakit, kau hanya akan mendapati petugas administrasi, perawat, dan dokter berpangkat supervisor bersama dengan Tera-bot[*], bukan lagi dengan dokter pelayanan seperti dulu." Rei mempererat pelukan di kakinya karena udara dingin tak henti-hentinya menyusup ke rongga-rongga baju.

[*] Terabot = Terapeutic Robot. Sebuah robot yang dapat melakukan proses terapi secara lengkap, mulai dari proses scanning, diagnosis, pemberian terapi, hingga pembedahan bila diperlukan.

"Dan mereka yang disebut melakukan tugas supervisi itu hanya akan memastikan robotnya bekerja dengan baik sambil berkeliling tidak jelas kesana kemari. Mereka harusnya sadar kalau mereka itu dibodohi. Tugas mereka tidaklah sepenting itu jika sudah ada Terabot. Entah mengapa aku jadi membenci alat yang pernah menyembuhkanku dari fraktur[*] tulang itu," ungkap Rei lantas membenarkan posisi kacamatanya.

[*] fraktur = patah

"Aaaah ..., kalian betah sekali dengan udara sedingin ini." Suara secantik parasnya itu tiba-tiba muncul dari balik pintu. Senyumnya yang manis, menyerupai senyum Rei-jika dia mau tersenyum tentunya-menyertai keluarnya seorang wanita dewasa ke tengah dua orang anak yang sedang asyik duduk-duduk di teras-Pitta Davski.

"Mama sudah menyiapkan sup sosis hangat kesukaan kalian untuk makan malam. Kalau kalian masih mau berlama-lama di situ, akan mama habiskan," ucap wanita itu sambil langsung masuk lagi ke dalam.

Wajah Arvin yang semula serius mendadak cerah saat tubuhnya ditarik oleh Rei untuk segera masuk ke dalam rumah.

Ya, seburuk apapun masa lalunya, namun di sinilah Arvin berada. Bersama orang-orang yang telah menyebutnya sebagai keluarga. Di dalam rumah bernomor 87. Saat-saat berkumpul di meja makan bersama Rei dan Nyonya Pitta yang sedang menyiapkan makan malam, hatinya terasa hangat kembali.

<<<>>>