Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 10 - Pecahan Enigma (part 3)

Chapter 10 - Pecahan Enigma (part 3)

Mereka bertiga sedang dalam perjalanan menuju perpustakaan. Carrie sempat kebingungan mengatasi Arvin yang mendadak cerewet di sepanjang jalan, seolah berusaha mengalihkan perhatiannya dari Galant.

Sementara Galant dengan tenangnya berjalan sedikit terpisah dari mereka, melintasi koridor dan taman sekolah tanpa mempedulikan yang lain. Bahkan ia tidak berusaha mengindahkan beberapa pasang mata yang mengekorinya, atau beberapa bibir yang sibuk membicarakannya.

Sejak awal, Galant memang sudah menjadi pusat perhatian di sekolahnya. Sekeras apapun dia menyembunyikan identitasnya, namun fakta tetap membuatnya terlihat sebagai orang yang tampan dan menarik perhatian.

Akhirnya mereka sampai di perpustakaan yang cukup besar itu. Galant sempat berpikir, aneh juga perpustakaan di sekolahnya dibangun dengan cukup besar untuk menyimpan buku-buku manual sebanyak ini, mengingat peminatnya yang bisa dipastikan sudah sangat sedikit di era serba digital ini.

Dari kejauhan, Carrie nampak menyerahkan sebuah benda mirip flashdisk pada petugas admin, kemudian petugas itu segera mengisinya dengan file-file berukuran Gigabyte.

Galant rasa Carrie sudah aman bersama Arvin di antrean itu. Ia kini lebih tertarik dengan deretan buku-buku manual yang ada di rak perpustakaan. Ia memutuskan untuk mulai memilah-milah buku di rak yang berlabel 'sejarah'. Kebetulan dia mendapat tugas menulis esai mengenai sejarah kepahlawanan. Beberapa menit berlalu sampai ada sebuah buku yang ia rasa berbeda dengan yang lain. Buku itu berwarna hijau tua dengan desain sampulnya yang tidak begitu mencolok. Buku itu nampak kusam, dan terletak di rak yang paling pinggir, dekat dengan tembok. Sebenarnya perlu cukup banyak perjuangan untuk sekadar menemukan dan menariknya dari rak itu.

Sedetik kemudian Galant membuka halamannya secara acak dan langsung merinding melihat gambar-gambar yang ada disana. Galant langsung menutup buku itu, dan menyadari bahwa isinya sangat kontras dengan apa yang ia cari.

"Hei! Kami sudah selesai. Merasa betah tinggal disini, ha?" Arvin meninju pelan lengan Galant berkali-kali -sangat tidak sopan, pikir Galant.

Akhirnya Galant memutuskan untuk meminjam buku hijau tua itu, walaupun ia rasa buku itu tidak berguna untuk membantunya menulis esai. Toh tugas sejarahnya itu bisa dicari sumbernya lewat internet. Namun ia terusik dengan buku yang menurutnya menarik itu. Arvin yang sebenarnya cukup penasaran dengan buku aneh yang dibawa Galant, mengurungkan niatnya untuk bertanya. Selain karena takut sakit hati karena Galant yang akan mengabaikan pertanyaannya, lebih-lebih karena ada Carrie di sampingnya yang bisa diajak berbicara.

Akhirnya jam pelajaran pun dimulai kembali, sementara di kelas X-2, Tuan Richard sudah standby di meja guru. Mau tak mau Arvin harus berpisah dengan Carrie dan Galant. Jika diperhatikan, Arvin malah lebih senang menghabiskan jam istirahatnya bersama anak-anak X-2, dibandingkan dengan anak-anak dari kelasnya sendiri. Alasannya sederhana, mereka lebih gampang untuk dijadikan teman, oh mungkin Galant adalah pengecualian.

Seperti yang dapat dilihatnya sekarang, di kelasnya kini sudah ada beberapa maniak make up yang bahkan duduk berjigang di atas meja. Ia sungguh tak tertarik dengan gadis celometan yang melumuri wajah mereka dengan bahan sintetis. Sementara pandangannya beredar ke arah lain, ditemukannya Carl -teman sebangkunya-tengah terisak dengan pakaiannya yang sedikit lusuh dan tangannya terlihat memegangi buku manual yang terlihat amburadul. Arvin langsung bisa menebak itu perbuatan siapa. Sebagai ketua, ia tak ingin Nico mengusik ketenangan di kelasnya.

Arvin langsung menarik tubuh Nico tanpa mempedulikannya -yang tengah asyik mengobrol bersama teman-temannya. Meskipun tubuh Nico terlihat tinggi besar, namun ternyata keberanian Arvin jauh lebih besar. "Nico, apa yang membuatmu bertahan menjadi orang yang selalu merugikan bagi orang lain, ha?"

"Hey, kawan lama, apa kabarmu?!" Nico menyunggingkan senyumannya dan berbicara seolah-olah tidak terjadi apa-apa,

"Kita tidak pernah berkawan selama ini." Gumam Arvin, "Apa yang sudah kamu lakukan pada Carl?"

"Eheheh. Aku hanya mencari tahu, apakah si kutu buku itu bisa membaca dengan nomor halamannya yang acak? Hahaha." Seperti biasanya, si Dua orang lainnya, Ferris dan Kayle -yang menjadi pengikut setianya-ikut tertawa.

"Kurang kerjaan! Kembalikan buku itu seperti semula! Atau-" Arvin sudah siap dengan tangannya yang mengunci kerah Nico, dan anak-anak yang lain sudah siap untuk menyoraki aksi mereka. Namun sebuah deheman kecil membuat mereka urung dan terdiam,

"E-e-ehmm."

Ternyata guru mereka sudah datang. Arvin tidak mungkin mengeksekusi Nico sekarang, atau mereka akan berakhir di ruang guru lagi. Dilepaskannya genggaman di kerah Nico itu dengan kasar, sementara Nico hanya mengangkat alisnya santai sambil membenahi posisi bajunya. Dan mereka kembali ke bangku masing-masing.

"Kau tidak perlu melakukannya. Aku sudah mulai terbiasa dengannya." Bisik Carl pada Arvin.

"Aku sangat risih dengan hobinya mengganggu orang. Dan lagi aku memiliki tanggung jawab untuk membuat kelas ini bersih dari kelakuan buruknya. Oh iya, kamu sudah tidak apa-apa, bukan?"

Anak berwajah bulat, dengan noda-noda jerawat di pipinya itu menggeleng dengan cepat.

"Aku hanya berpikir aku akan berhenti membaca buku-bukuku." Carl bergumam sendiri, namun Arvin masih sanggup mendengarnya.

"Jangan dengarkan omongan dia." Ucap Arvin sambil mulai membuka file buku digital di desktop-nya.

"Hmmm, aku hanya merasa buku manual membuatku menjadi tidak keren."

Arvin langsung menoleh, memandang teman sebangkunya itu. Jujur saja, memang tidak akan terlintas kata 'keren' sama sekali ketika melihat Carl yang seperti ini, bahkan ketika dia berhenti membaca buku manual sekalipun. Laki-laki berambut pirang yang lebih ikal darinya itu terlihat tidak menarik sama sekali. Atau mungkin karena Arvin masih normal?

"Emmm. Kau tahu, aku kenal dengan seseorang yang suka membaca buku manual, dan dia tetap terlihat keren dengan hal itu. Aku rasa setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menjadi keren." Ucapnya berusaha memotivasi Carl. Pernyataannya merujuk pada Galant, dan kali ini Arvin terpaksa mengakui kalau anak itu keren.

Sementara di kelasnya, Galant merasa jenuh dengan pelajaran Kimia yang dibawakan oleh Tuan Richard. Entah Galant yang terlalu malas untuk mencerna pelajarannya, atau Tuan Richard yang terlalu rajin menyampaikan pelajarannya sampai sedetail itu.

Walhasil, dia mengeluarkan buku hijau tua yang dipinjamnya dari perpustakaan. Bangkunya yang tidak berada pada deretan depan itu menguntungkannya untuk tidak terlihat oleh guru, sehingga dengan tenang dia bisa mencermati isi bukunya tanpa terganggu.

"Pssst. Kamu tidak menyimak penjelasan dari Tuan Richard?" Rei berbisik pada teman sebangkunya yang sedang sibuk melihat daftar isi itu.

"Kamu buat catatan yang bagus, nanti aku copy." Jawab Galant datar membuat Rei enggan menanyainya lagi.

Galant segera menenggelamkan fokusnya pada buku hijau tua,

<<<>>>