Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 8 - Pecahan Enigma (part 1)

Chapter 8 - Pecahan Enigma (part 1)

[Jalan Briseis, Distrik Khusus Pasithea

21 Juli Z-57]

Pemuda berambut pirang mengedip-ngedipkan mata birunya yang masih terasa lengket. Gendang telinga anak itu telah diserbu oleh teriakan nada alarm. Jemarinya segera menggeser turun layar hologram yang menyembul dari meja di samping kasur sehingga alarm pun berhenti.

"Pukul enam tepat. Selamat pagi, Galant!" Kini giliran robot imut bertelinga panjang seperti kelinci bergerak-gerak, terbang di atas kepala pemuda bernama Galant itu. Suaranya mirip anak umur dua tahun yang baru berbicara, minus logat cadel tentu saja.

"Nolly, berhentilah membuatku pusing!" perintah Galant; merasa risi. Kemudian ia beranjak menuju pintu kamar mandi di sudut kamarnya yang sangat luas. Kamar itu sebagian besar berwarna abu-abu terang. Menunjukkan barang-barang mahal dengan teknologi mutakhir yang sebenarnya jarang Galant pakai. Paling banter hanya seperangkat movie player di sisi lurus dari arah ranjang. Sementara brainstation yang baru dibelikan ayahnya itu pun dianggurkan. Mengingat Galant bukan maniak games. Justru ia akan rela kalau waktu liburnya habis untuk membaca buku klasik. Tak heran kalau di sisi kanan ruangan ia punya perpustakaan kecil.

"Secangkir kopi mungkin bisa menstimulasimu agar lebih bersemangat lagi?" Nolly melayang tenang dan manis, menunggu jawaban Galant yang tengah menatapnya dengan bosan.

"Satu persen kafein--tidak lebih," ucapnya sembari menutup pintu kamar mandi. Sampai ia kembali membukanya kembali sedetik kemudian. "Ah, naikkan menjadi 1,5%!" Dan sebelum Nolly beranjak dari posisinya, Galant sudah membuka pintu lagi. "Dan tolong buatlah menjadi frappe! Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggunya dingin."

Dan Galant kini benar-benar menutup pintu dan terdengar memutar keran shower di dalam. Barulah robot lucu itu terbang menuju papan dinding putih yang mirip meja bartender di sudut bagian belakang kamar itu, lantas memencet beberapa tombol di sana.

Lima belas menit, Galant sudah siap dengan Auttaxi yang memarkir di terminal khusus, di pinggir jalan Briseis. Mulutnya masih sibuk menyedot sisa kopi dingin, sementara rambut pirangnya sudah tertata rapi. Menurut praktis Galant, sebuah rambut dikatakan rapi apabila sudah berdiri acak-acakan seperti bulu landak yang menempel di kepala. Dan tanpa dia sadari, hal itu justru menambah daya pikatnya, selain mata tajam, wajah tampan, serta gaya cool yang tak dibuat-buat. Setidaknya itu yang ada di pikiran para kaum hawa yang sangat berangan-angan untuk menjadi orang pertama yang menggamit lengannya.

Sedetik kemudian, pria berambut cepak yang memakai tuksedo berwarna hitam, lengkap dengan kacamata tipisnya--yang juga berwarna hitam--menghampirinya dengan langkah terburu-buru. "Tuan Muda, apakah Anda yakin akan pergi dengan taksi? Kami sudah menyiapkan kendaraan--"

"Sudah kubilang berapa kali padamu, Alexander?" Galant menolehkan badan jangkungnya pada pria berkulit gelap tersebut. Matanya segera menelisik penampilan Alexander. "Dan, apakah kamu masih ingat dengan aturan tentang berhenti memakai pakaian itu ketika berada di dekatku?"

"Oh, maafkan saya, Tuan. Saya belum sempat mengganti baju dinas." Pria itu terkekeh dan buru-buru memencet sebuah tombol di bingkai kacamata hitamnya dan membuat perubahan seketika pada baju yang seolah terbuat dari rangkaian benda-benda berukuran atomik itu. Ia kini telah mengenakan pakaian yang cukup wajar--dengan masih memakai kacamata hitam tentunya. "Saya sudah siap mengantar Tuan Muda ke sekolah."

Galant mengangguk dan membuang wadah frappe-nya ke tempat sampah di sampingnya. "Tapi ingat, kamu tidak perlu keluar, ya? Dan aku baru saja membuat aturan baru. Meskipun baju dalammu tidak akan terlihat, tapi kumohon jangan berganti baju di tempat umum. Ibumu pasti juga akan melarangmu melakukan pelanggaran etika itu."

Alexander hanya mengangguk malu seraya membukakan pintu mobil. Ia perlu lebih banyak beradaptasi dengan remaja superkaku ini. Hampir tak berselang, Galant membuka sedikit kaca film di jendelanya. "Ah, aturan tambahan. Panggil aku dengan Galant, tanpa embel-embel membosankan."

Alexander yang masih kagok itu sedikit membungkuk hormat. "Oh, b-baik, Tuan, maksudku Ga-G-Galant." Akhirnya anak pirang itu tersenyum irit dan menutup kaca mobil.

Di tempat lain. Seperti hari sebelumnya, pagi itu Arvin terlihat terburu-buru. Ia sibuk menali sepatu di teras rumah. Dasinya tampak sudah rapi. Tentu saja--dasi bekas kemarin yang tidak diutak-atik. Sementara Rei sudah berdiri di samping pintu Auttaxi yang memarkir di depan pagar rumah mereka.

"Aku rasa kamu butuh sesuatu yang lebih sederhana," komentar Rei demi membuat Arvin sadar kalo sudah ditunggu dari tadi.

"Ehehe. Aku masih senang dengan sepatu bertali. Membuatku terlihat muda," jawab Arvin sambil berlarian seperti bocah kecil.

"Ingat umur!" Rei memerhatikan anak itu dengan jengah. "Tidak ada yang lupa, 'kan? Hari ini aku sudah berjanji tidak akan mengingatkanmu."

"Siap, Kakak."

Rei menoleh seketika. "Eh?! Sejak kapan kamu boleh memanggilku kakak?"

Sementara anak ikal itu menaik-naikkan alisnya. "Karena kamu menolak dipanggil pacar, aku kira kita cocok disebut kakak-beradik--seperti yang dikatakan Carrie."

"Jika begitu, aku adalah kakak paling sial di muka Bumi ini. Lagipula, dari segi umur kamu lebih tua dariku, 'kan?"

"Ah! Tidak masalah. Dari faktor wajah, semua orang pasti setuju kalau kamu pantas jadi kakak. Ayo panggil aku adik!"

"Kurang ajar! Aku tidak akan melakukannya."

"Hoooi! Kenapa kalian berdiri disitu terus!? Apa ada yang ketinggalan?" Nyonya Pitta, Mama Rei itu berteriak dari dalam teras rumah. Menyadarkan mereka tentang waktu yang terbuang akibat perdebatan tidak berguna itu. Keduanya segera memasuki Auttaxi dan meluncur menuju McValen.

<<<>>>

Bunyi bel sekolah dengan nyaring memantul-mantul di tembok bangunan McValen. Tidak ada yang berinisiatif mengubah bunyi-bunyian yang bisa menulikan telinga tersebut, karena hanya itu satu-satunya cara terbaik mengingatkan para murid untuk segera masuk ke dalam kelas. Kecuali untuk beberapa anak, bel tidak akan berarti apa pun.

Contohnya adalah Arvin--yang malah berbincang asyik dengan Carrie di kelas X-2. Tentu bukan dia jika tidak menyempatkan diri mampir ke kelas Rei hanya untuk menemui Carrie, gadis pujaannya itu. Hingga anak itu tak menyadari bahwa seseorang telah datang dengan membawa aura dingin yang misterius.

Rei yang semula asyik membaca buku digital di bangku, sampai mendongak ke arah anak yang tingginya hampir menyentuh puncak gawang pintu kelas tersebut.

Rei meraih pundak Arvin dan menggoyangkannya. Berusaha menghentikan obrolannya dengan Carrie yang duduk di depan bangku Rei. "Arvin, sepertinya kau harus mencari tempat lain!"

Sementara Arvin masih saja duduk manis di bangku sebelah kanan Rei, yang seolah-olah di situ muncul sebuah tulisan: "bangku ini bukan milik Arvin". Atau lebih ekstremnya lagi: "cepat pergi dari sini, jika kamu masih ingin bernapas"

Arvin menoleh pada anak yang berdiri menghadapnya itu, "Oi oi, brother!" Arvin berusaha menyapanya, namun tidak menghasilkan apa-apa. "Kamu tidak berkeberatan bukan, jika aku duduk di sini sebentar lagi? Carrie harus menyelesaikan ceritanya." Arvin bertanya dengan lancar tanpa merasa berdosa sedikit pun kepada anak berambut runcing yang kini menatapnya dengan pandangan setajam elang yang hendak menerkam seekor keledai. Lantas ia melanjutkan gelak tawanya mendengar Carrie yang menceritakan kisah lucu tentang liburannya di pulau Ares.

Hampir dua menit, dan anak berambut runcing pun masih bergeming. Mata tajamnya tetap setia menatap ke arah Arvin. Oke, ini cukup lama untuk membuat Rei--yang mencoba fokus kembali pada pelajaran Biologi di buku digitalnya--merasa jengah.

"Arvin, bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi dari tadi. Kembali ke kelas, atau aku akan memutar daun telingamu hingga menghadap ke belakang!" bisik Rei tajam.

Arvin mengerjap. Akhirnya Arvin pun melompat dari tempat duduk Galant. Mempersilakan anak misterius itu untuk duduk. "Ah, well ... take it easy, Brother! We have done."

Ternyata mata Galant pun masih saja mengekori Arvin, bahkan ketika anak berambut ungu itu mencoba mengalihkan pandangan Galant dengan telapak tangannya. Arvin langsung meringis ngeri membayangkan Rei duduk sebangku dengan orang yang menyeramkan itu. Entah kenapa dia bisa berperilaku seperti itu. Tetapi yang jelas, Arvin harus segera berlari menuju kelas X-1 sekarang jika tidak mau dihukum oleh guru yang sudah ada di dalam kelasnya.

<<<>>>