Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 9 - Pecahan Enigma (part 2)

Chapter 9 - Pecahan Enigma (part 2)

"Rei, kenapa mamamu tidak membuatkan kita bekal hari ini?" Arvin berdiri di depan sebuah kedai makanan di kantin sekolah, menunggu pesanannya diantar oleh seperangkat robot. Rei yang di sampingnya cukup terkejut karena Arvin menyadari hal itu.

"Emm, sebenarnya aku membenarkan perkataan Nico yang waktu itu."

"Hah? Yang mana?"

"Sudahlah, jangan diingat-ingat. Toh biar pun membawa bekal, kita juga tetap makan di kantin bersama yang lain. Jadi, kurasa membawanya adalah hal yang tidak berguna."

Arvin tak puas, masih mencoba mengingat-ingat kejadian rusuh bersama Nico di kantin waktu itu,

"Ah! Maksudmu yang mengatakan kalau makan bekal itu seperti anak kecil?"

Rei mengangguk pelan.

"Cih! Jangan dengarkan perkataan orang lain. Selama kamu tidak salah, orang lain tidak berhak merasa lebih benar. Dia mungkin hanya iri karena mamanya tidak pernah membuatkan bekal." Arvin mengambil piring makanan yang datang padanya--sebuah cheeseburger berukuran jumbo. "Dan lagi, sejak kapan kamu tidak mengindahkan kesehatan seperti ini? Makanan di kantin semuanya sintetis, 'kan?"

Belum sempat Rei menjawab, Arvin sudah menyambung perkataannya, "Sebenarnya bukan hanya itu saja. Aku merasa sangat bersyukur karena masih ada yang membuatkanku bekal. Kau tahu, kupikir aku tidak akan mendapatkan bekal lagi setelah ibuku meninggal."

Rei seketika mengerjap. Entah mengapa Arvin semakin sering menohoknya. Membuat Rei selalu merasa bersalah karena mengingatkan tentang hal itu. Lantas mereka segera kembali ke meja makan, bergabung dengan yang lain.

Saat mereka berdua sampai, Arvin sempat syok dengan kehadiran makhluk bermata tajam yang ditemuinya pagi tadi--Galant. Pemuda itu mengambil duduk di samping kiri Carrie.

"K-k-kenapa dia duduk di bangkuku sekarang?" rutuk Arvin yang gagal mendapatkan tempat di samping Carrie.

"Mungkin dia ingin membalas perbuatanmu pagi tadi." Rei berbisik pada Arvin sambil menahan tawa. Akhirnya terpaksa Arvin duduk di kursi kosong di samping Rei. Ia tak mungkin mengusir Belva yang sudah telanjur duduk di sebelah kanan Carrie, atau bahkan mengusir Galant. Oh, kenapa orang-orang yang berwatak antagonis ini semakin bertambah?!

Nama anak itu, Galantius Balahaman. Arvin rasa cocok untuk orang misterius seperti dia. Penampakannya seperti orang barat zaman dulu yang berkulit putih, bermata biru, tinggi, dan berambut pirang. Dari gayanya yang sedari tadi memainkan gadget, sepertinya dia jarang berbicara atau pun bersosialisasi dengan yang lain. Jangan-jangan dia tidak mengerti bahasa mereka? Akh, kenapa baru terpikirkan oleh Arvin.

"Hey, dude. We haven't been much talking since we met. Let's introduce each other," ucap Arvin sok ramah sambil tiba-tiba menepuk pundak Galant.

"Kuharap kita tidak berbicara dalam Bahasa Inggris. Aku tidak terlalu menyukainya." Galant melirik pada Arvin sebentar sebelum matanya kembali menatap layar uniget. Jackpot buat Arvin. Anak itu lancar berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Carrie beranjak dari kursi. "Ah! Aku hampir lupa, sebentar lagi jam pelajaran kedua dimulai. Aku harus pergi ke perpustakaan untuk mengopi file e-book yang akan digunakan untuk diskusi di kelas," tukas Carrie dengan sedikit panik sambil melangkah meninggalkan meja.

"Kalau begitu aku akan menemaninya," pamit Galant kepada yang lain dengan nada sopan. Langkah Galant segera menyusul, sementara Carrie sempat menampakkan senyum bahagia menyambutnya.

"Ah, so sweetnya, pasangan baru kita." Belva melakukan fangirling, membuat wajah Arvin seketika redup redam. Rei yang tahu kalau Arvin pasti akan cemburu mendengarnya langsung menyodok lengan Belva.

Arvin menggebrak meja pelan namun yakin. "Berani-beraninya dia berlagak sok gentleman begitu," geramnya yang merasa ketinggalan langkah. "Tunggu! Aku juga butuh e-book itu!" Arvin pun lari terbirit-birit mengejar mereka.

"Huuu ... segi tiga cinta...." Belva menyeret perkatannya dengan nada.

"Ya, dan seharusnya Arvin segera berhenti ketika tahu kalau dia sudah kalah sejak awal." Rei merespon dengan lesu. Hei, bukan dia yang seharusnya putus asa.

"Hmm, aku rasa kau salah. Seorang laki-laki tidak akan menyerah demi memperjuangkan hal penting dalam hidupnya," sanggah Belva penuh arti.

"Bahkan Arvin sampai tidak sempat memakan makanannya sama sekali." Belva langsung mengalihkan perhatian mereka berdua pada piring yang berisi roti daging. Kemudian mendesah "Hah ... buang-buang makanan. Kita jadi bertanggung jawab menghabiskannya." Tangan Belva merayap ke piring di sebelah Rei.

Namun seketika gagal mengambil roti yang tiba-tiba menghilang dari piring. Roti itu telah disambar lebih dulu oleh tangan Arvin. Ia sempat kembali lagi hanya untuk mengambil cheeseburger tersebut. Arvin kini sudah berlari menjauh sambil melambaikan tangan pada mereka berdua, sementara roti isi itu terjejal di mulutnya.

Rei tersenyum geli. "Nah, itu dia masalahnya. Makanan selalu lebih penting baginya!"

Belva hanya menepuk jidat.

<<<>>>