Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 6 - Superhero (part 3)

Chapter 6 - Superhero (part 3)

"Ah! Aku tahu sekarang!" sahut Rei berjingkat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Kalau rotasi bumi kian melambat, kita yang ada di permukaan bumi juga akan semakin bergerak melambat, menjauhi kecepatan cahaya. Sementara berdasarkan hukum relativitas khusus: jika kita mampu bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan terasa lebih lambat bagi kita. Dan sebaliknya, kalau kita menjauhi kecepatan cahaya--seperti sekarang ini--waktu kita akan terasa lebih cepat. Walaupun dalam sehari, kita memiliki 25 jam yang sama, namun tetap akan terasa lebih cepat, karena kita sedang bergerak melambat," tutur Rei dengan lancar seperti membaca buku teks.

"Waw, cerdas seperti Einstein!" seru Carrie seraya tersenyum bangga dan bertepuk tangan pelan.

"Eh, tapi tunggu dulu!" pekik Rei. "Bukankah semesta sedang mengalami akselerasi konstan? Kenapa bumi malah melambat?"

Belva mengangkat alis. "Well, sepertinya kau salah dalam memahami akselerasi konstan. Akselerasi yang dimaksud adalah percepatan semesta dalam mengembang, bukan percepatannya dalam berotasi. Sudah kubilang kan, kalau perlambatan rotasi bumi adalah bagian dari akibat gravitasi Bulan yang melemah karena semakin menjauh. Ya, salah satunya adalah proses dari ekspansi semesta. Jadi kalau mau berpikir lebih luas lagi dengan ketiga teori itu--second leap, relativitas khusus, dan pengembangan semesta--kau sudah bisa menyimpulkan bahwa kita merasakan waktu berputar lebih cepat, tepatnya jauh lebih cepat dibadingkan manusia-manusia yang hidup beberapa tahun yang lalu."

"Waw, itulah mengapa tidak ada alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan waktu yang kita miliki," timpal Carrie yang terinspirasi dari percakapan dua calon ilmuwan di hadapannya.

Sementara Arvin masih diam di tempat. Seperti terlempar ke dimensi lain yang jauh dari mereka, ia tak bisa mengimbuhi dialog apapun. Seketika ia meremas rambut ungunya. "Aduh! Sepertinya aku perlu es batu untuk mendinginkan kepalaku," keluhnya kesal membuat anak lain tertawa.

"He-he-hei. Lihatlah ini!"

Sebuah suara yang lantang tiba-tiba mengalihkan perhatian anak-anak di meja makan itu.

"Jadi ini Superhero sekolah kita? Apa yang dia lakukan di sini?" Pemuda bertampang licik yang menjegal kaki Arvin di kelas itu nampak mendekat. "Memakan bekal di kantin bersama dengan teman-teman lugunya? Dia tidak ada bedanya dengan murid Sekolah Dasar."

Suara gelak tawa segera menyambutnya. Dua anak yang berdiri di samping pemuda itu adalah kroni-kroni setianya. Sedangkan pengunjung kantin yang lain terlihat tak peduli dan melanjutkan aktivitas mereka.

Ternyata bukan hanya kepalanya saja yang bisa panas. Telinga Arvin ikut memanas. "Apa masalahmu, Nico?" Arvin yang merasa dirinya diungkap ke publik itu mulai naik pitam. Suasana di meja makan itu pun mendadak berubah semenjak kedatangan anak berbadan tinggi kekar itu. Selain bola matanya yang dalam, rambut hitam runcingnya ikut menambah kesan garang.

"Oh, rupanya kamu sudah bisa mengeja namaku dengan baik, ya, anak pintar?" ucap Nico sambil menepuk-nepuk puncak kepala Arvin. Arvin tahu itu adalah cara Nico untuk menyindirnya.

Nico kini melihat ke arah meja. "Dan apakah aku mengganggu acara minum teh kalian?" lanjut Nico dengan nada bicara yang amat menyebalkan. Bahkan Belva yang baru mengenalnya pun jengah, ingin mencolok matanya dengan garpu supaya melesak lebih dalam lagi.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak berpatroli, Superhero?" Ferris, salah satu dari dua kroni Nico itu bertanya kepada Arvin. "Jangan-jangan di luar sana ada anak kecil yang sedang butuh bantuanmu karena poop di celana," ucap anak bertubuh jangkung itu. Pun juga segera disahut oleh tawa renyah dari Nico dan satu orang lagi yang bertubuh gendut.

"Ya, atau bisa jadi ada nenek tua yang giginya sudah ompong dan ingin menyeberang jalan, atau ingin kamarnya dibersihkan dari debu dan bulu kucing," sahut si anak bertubuh gendut dengan suara besarnya. Namun sayang sekali, usahanya telah menghentikan rasa humor yang sedang mengalir. Si anak jangkung segera meninju perut besarnya. "Itu tidak lucu, Kayle!"

"Kalian, berhentilah mengejekku!" Wajah Arvin sudah merah padam. Nico sangat puas melihatnya. "Kau sendiri yang bilang ke kami di kelas: 'aku ingin menjadi superhero'," sebutnya seraya membentuk mulut hingga jelek, dan mencemprengkan suaranya seperti kodok. Ia ingin meniru gaya Arvin yang--hei, sebenarnya tidak semenjijikkan itu.

"Oh, ya, dimana celana dalam yang seharusnya kaupakai di luar itu, ha? Atau topeng dan baju ketat, juga jubah panjang yang bisa membuatmu terbang seperti bidadari?" sambung Nico tanpa filter . Ferris dan Kayle pun segera terbahak-bahak menikmati lelucon rendahan mereka tanpa berusaha mengindahkan Arvin yang mulai mengeratkan kepalan tangan kanannya.

*buggh* // *brak*

Keheningan sejenak tercipta setelah kursi kantin itu terpelanting menyertai jatuhnya tubuh Nico. Ferris dan Kayle tergopoh-gopoh membantu Nico berdiri.

Suhu tubuh Arvin rasanya meningkat drastis karena dipermalukan, apalagi di depan Carrie. Sementara Nico tampaknya masih enggan berhenti mengganggu Arvin. Kini dia mendekat. Sambil mengelus sudut bibirnya yang berdarah akibat pukulan Arvin, ia berkata, "Jadi, ini ucapan 'selamat berjumpa kembali' darimu, teman kecil?" ucap Nico setengah berbisik setelah wajah mereka berdua cukup dekat.

"Hmm. Aku bisa saja memperkenalkanmu di sekolah ini sebagai seorang-" sebelum Nico menyelesaikan kalimatnya, pukulan Arvin telah kembali siap di tangannya. Begitu pula dengan teman-teman Nico yang siap dengan counter-attack mereka.

"Sial! Berhentilah mencampuri urusan orang lain, kotoran kambing!"

*buggh*

Beberapa menit kemudian, dua anak berwajah lebam keluar bersamaan dari ruang guru. Nico pun segera pergi setelah sempat melayangkan senyum liciknya pada Arvin. Tentunya ini hanya sekadar pemanasan baginya.

Sementara Arvin tertawa rikuh ketika menemui Rei menunggunya di depan ruang guru dengan wajah datar.

"Yeee, poin pelanggaran!" sorak Arvin rendah, mencoba menghibur Rei, sekaligus menertawakan dirinya sendiri yang baru satu hari di sekolah sudah mengoleksi poin-poin pelanggaran.

"Jadi, anak itu yang membuatmu sedari tadi bad mood?" Rei menyimpulkan, namun tampak masih bingung mengartikan hubungan Nico dan Arvin yang sepertinya sangat buruk.

"Ya. Nicholas Russel Walmiki, atau aku lebih suka dengan sebutan Nico si kotoran kambing. Sialnya aku bertemu dengannya lagi dalam satu kelas yang sama. Mungkin aku dipaksa untuk menyelesaikan masalah di antara kami." Arvin tiba-tiba berdesis merasakan rasa perih bercampur gatal yang ada di pelipisnya.

"Lukamu belum dirawat. Ayo ke Unit Kesehatan." Rei segera menggiring Arvin menuju UKS.

"Jadi dia adalah teman SD-ku sewaktu di Aidos, sebelum aku pindah ke Pasithea. Aku sempat lupa padanya, tapi sepertinya dia masih menghafal sifat dan namaku." Arvin mengurungkan niatnya berbicara terlalu jauh, mengingat mereka sudah sampai di tempat tujuan. Dan tak yakin Rei akan tertarik mendengar ceritanya.

"Siang, Dephnie!" Sapa Rei pada penjaga ruang Unit Kesehatan itu. "Kami perlu kotak P3K, tolong."

"Huuu, hari pertama sekolah, dan kamu sudah kenal dengan penjaga UKS yang superseksi itu?" ucap Arvin sambil meliuk-liukkan tangannya membentuk dua buah cembungan di dadanya. "Kamu diam-diam ternyata mata keranjang juga, ya, Rei? Aku bangga padamu." Arvin menertawakan Rei selagi penjaga itu masuk ke ruang penyimpanan untuk mengambil kotak P3K.

Wajah Rei bersemu, tangannya dengan cepat menaikkan posisi kacamatanya, "Simpan pikiran jorokmu itu, Arvin. Aku hanya tahu namanya karena kami sempat ngobrol tadi pagi. Itu saja."

Dahi Arvin mengerut, walaupun ia tahu pelipisnya akan terasa semakin berdenyut karenanya, "Hm? Ngobrol? Tadi pagi? Kamu bolos upacara orientasi ya?!"

"Ah, sudah kuduga kamu tidak akan tahu kalau aku pingsan sewaktu upacara?" jawab Rei menuturkan prestasinya, pingsan di hari pertama masuk sekolah.

Mulut Arvin membulat tanpa bersuara. Jadi, si Anak sepuluh menit-begitu Arvin menyebutnya-itu adalah Rei. Ia baru ingat kalau fisik Rei itu lemah. Bukan sesuatu yang ayal baginya roboh hanya karena upacara bendera.

"Merasa hebat, huh?" ucap Dephnie sekembalinya mengambil kotak P3K itu, mengejek Arvin dengan luka lebam bekas pukulan yang menghiasi wajahnya.

"Hmm, yaah, kau tahu, pria kadang harus menyelesaikan masalahnya dengan cara ini," jawab Arvin sok dewasa dengan gaya tubuhnya yang dibuat-buat. Cih, Arvin-nya saja yang terlampaui brutal dan tidak mau berpikir panjang, batin Rei jengah.

Rei segera mengambil kotak P3K dari tangan Dephnie, seakan memberi tahu kalau dia saja yang merawat luka Arvin. Tentunya ia yakin bahwa pengalaman dalam palang merah di SMP-nya masih berguna.

"Memangnya apa masalahmu dengan Russel?" tanya Rei. Arvin mendesis ketika lukanya mulai dibersihkan dengan air steril.

"Maksudmu Nico? Anak menjengkelkan itu tidak pantas dihormati dengan nama tengahnya."

"Hey, itu gelar kebangsawanan, bodoh!"

"Iya, tahu. Lagipula dia cuma bangsawan sombong yang iri dengan ketampananku," ucap Arvin yang menutup matanya sambil menaik-turunkan alis. Bahkan ia masih sempat membual di tengah perihnya tindakan medis minor. Alih-alih percaya dengan omongan itu, Rei menekan dan menggeser luka Arvin dengan keras sampai puas melihat anak itu berteriak kesetanan.

<<<>>>