Chereads / HEXAGON 1 - Spektrum Warna / Chapter 5 - Superhero (part 2)

Chapter 5 - Superhero (part 2)

"Superhero." Seisi kelas tertawa menikmati permainan kata Arvin. Pernyataan yang lantang dan mantap itu terdengar sebagai sebuah lawakan klise bagi mereka. Siapa sangka cita-cita yang diutarakan oleh seorang anak SMA kelas satu, tak lebih tinggi derajatnya daripada ocehan anak umur sepuluh tahun?

Mulai resah, Arvin melirik seorang guru yang kini nampak berdiri dari tempat duduk. Jemari pria itu mengurut kumis hingga jenggot tipis yang menjadi fitur khas di wajahnya. Dan Arvin sedikit kaget ketika guru itu tiba-tiba menepuk pundaknya. "Apakah menurutmu McValen terlihat seperti akademi kekuatan super atau sekolah ilmu sihir, Nak?" Mata pria itu menelisik, ikut melucuti keyakinan Arvin, sama seperti teman-teman barunya.

Tuan Richard yang mengaku wali kelas X-1 ini tampaknya cukup skeptis. Arvin jadi berspekulasi kalau-kalau senyum ramah di wajahnya itu akan berubah menjadi sebuah gelak tawa sebentar lagi.

"B-bukan begitu, Pak," jawab Arvin sedikit ragu. Hatinya sedang surut. Ia tak tahu cara untuk membuat ungkapan superhero bisa diterima dengan persepsi yang sama oleh semua orang. "Saya sebenarnya tidak tahu akan menjadi apa setelah besar nanti," ungkapnya jujur dengan sorot mata yang semakin redup.

Tuan Richard pun langsung berusaha tertawa dan memecah keheningan di kelas itu. "Ah ..., aku senang menguji muridku dengan pertanyaan." Lagi-lagi guru itu tertawa sambil menepuk pundak Arvin, dan kali ini lebih keras sampai badan Arvin terhentak-hentak.

"Aku paham dengan niat tulus Arvin untuk membantu sesama," tutur Tuan Richard kepada warga kelas X-1, senang. "Kuharap kalian pun juga begitu. Intinya, teruslah bermimpi. Karena itu yang akan menggerakkanmu hingga akhir. Tak peduli orang lain akan menertawakanmu seperti apa, kau tak boleh menyerah begitu saja," sambungnya sambil terus menepuk pundak Arvin. Anak itu tak tahu harus berterima kasih atau meminta maaf agar tangan Tuan Richard berhenti melakukannya.

"Arvin ... Orlandio Monomardi," ucap Tuan Richard mengerucutkan mata, berusaha mengeja nama lengkap Arvin yang tercetak tebal di seragamnya. Setidaknya Arvin merasa lega karena tangan pria itu berhenti melakukan hal yang repetitif. "Oke, kau boleh duduk."

Kaki Arvin yang hampir kesemutan karena berdiri terlalu lama di depan kelas itu pun akhirnya bisa kembali bergerak leluasa. Namun sedikit sial. Saat berjalan kembali ke bangkunya, kaki itu tersandung, dan hampir membuatnya terjungkal. Di tengah tahanan tawa beberapa anak, Arvin menoleh ke belakang untuk mencari tahu penyebab. Ternyata sebuah kaki telah sengaja menjadi penyandungnya. Dan sang pemilik kaki tampak masih menyeringai pada Arvin. Dia adalah anak laki-laki yang tadi pagi berpapasan dengannya di dekat air mancur. Sebuah pertanda buruk bagi Arvin. Ia harus lebih berhati-hati dengan anak itu.

Tuan Richard mengetuk-ngetuk dinding proyektor di depan agar kelas kembali tenang. "Kita mulai pelajaran Kimia kita."

<<<>>>

Bel istirahat berdering. Dua jam pelajaran telah berakhir di jam sepuluh siang. Rei tengah memamah daging dari kotak makannya di kantin. Adalah suatu keajaiban ketika ia mendapati Arvin di sampingnya duduk sambil bermuram durja. "Hei," anak berkacamata itu memanggil Arvin setengah-setengah, "kau baik-baik saja, kan?"

Arvin menghembuskan nafas lalu mendecak. "Aku kira semua anak SMA sudah bisa berpikir dewasa. Nyatanya masih ada yang mengalami retardasi," jawab Arvin ketus.

Rei tahu itu masalah yang cukup serius. Ia jadi penasaran sekaligus geli gara-gara perkataan Arvin yang hipokrit itu. Ia ingin orang lain dewasa, padahal dirinya sendiri masih suka bertingkah seperti anak-anak. Namun sebelum menelisik lebih jauh, seorang gadis sudah menepuk pundaknya. "Rei, kau di sini rupanya?" Gadis itu tersenyum manis sembari menyibak poni rambut coklat-urai-panjangnya. "Kami boleh bergabung, kan?"

Dan berkat kehadiran anak itu, Arvin melupakan kotak makanannya. Ia memilih untuk terpukau dengan makhluk cantik yang tersuguh di depan mata. Gadis itu berbinar, memudarkan pemandangan sekitar. Mata hijau jernih, lengkap dengan lentikan bulu halus di kelopak mata itu mampu meluncurkan sinar-sinar alami yang menembus jantung. Lengkungan tipis di bibirnya sungguh lembut, memesona dengan cara yang tepat. Sungguh, sang jelita itu pintar membuat daya tarik dalam sekali pandang.

Namun, seketika lukisan indah itu tergeser dengan kasar oleh anak perempuan lain yang mendatangi meja tersebut. "Kukira tidak masalah jika kita bergabung. Di sini kan masih banyak bangku kosong," tukasnya seraya mengambil duduk serampangan.

Sedetik kemudian, gadis berambut coklat-urai-panjang menyadari keberadaan Arvin. "Hei, sepertinya aku sudah pernah melihatmu?" Jantung Arvin berkedut lebih cepat satu seperempat kali lipat dari biasanya. Betapa senang hatinya mengetahui gadis itu sudah menghafal sosok Arvin, bahkan sebelum ia bisa berjabat tangan dan memperkenalkan diri seperti sekarang ini.

"A-Arvin," gagapnya dengan suara yang terdengar begitu bodoh. Sementara gadis itu menjawab ramah, "Arvin, panggil Carrie saja."

Anak ikal itu menggangguk sambil tertawa canggung membalas senyuman Carrie. Bahkan Rei harus sengaja terbatuk-batuk untuk melerai dua tangan yang sedang bersalaman di depannya. Terlalu lama untuk sekadar perkenalan, bukan? Arvin mengerjap dan langsung mengalihkan pandangannya ke gadis di sebelah Carrie. "Hello?"

Tangan Arvin menunggu untuk dijabat, sedangkan anak perempuan berbingkai kacamata putih itu malah menunjukkan kepalan tangan. Apa dia sedang mengajak Arvin adu tinju?

"Hei, kau tidak tahu cara bersalaman anak generasi Zeta, ya?! Dasar payah!" Merasa putus asa, anak perempuan itu segera beralih mode untuk menjabat tangan Arvin mantap. "Belva," ucapnya singkat.

Pembawaan Belva sangat cuek dan dingin. Bahkan jika Arvin tidak memperhatikan betul-betul postur tubuhnya, mungkin dia akan mengira Belva itu nama laki-laki.

"Aku kan tadi sudah menyuruhmu untuk menunggu kami, Rei?" Kepalan tangan Belva sekarang beralih meninju lengan kanan Rei. Dengan meringis kesakitan, Rei menyangkal, "Aku tadi sudah menunggu kalian, tapi seseorang datang dan tiba-tiba menarikku kemari."

Arvin menahan tawa ketika dipandangi oleh ketiga anak itu, "Oh, I'm sorry. Kukira aku bisa membawa Rei sesuka hatiku."

Carrie mengernyit. "Ngomong-ngomong, kalian berdua dekat sekali, ya. Aku melihat kalian berdua di gerbang, dan setelah itu kalian juga selalu terlihat bersama." Carrie mencoba menganalisis. "Jadi Arvin itu adikmu atau ...?" tanyanya pada Rei untuk memastikan hipotesisnya sendiri. Sambil membanding-bandingkan wajah mereka berdua yang notabene tidak mirip.

Arvin tertawa renyah. "Rei itu pacarku, kau tahu?" jawabnya sambil memejamkan mata dan mengangkat alis tinggi-tinggi. Rei tersedak dan butuh minum seketika; sementara Carrie membuat keningnya semakin kisut; dan Belva memasang wajah tidak percaya. "Luar biasa! Hari pertama sekolah, dan aku sudah menemukan pasangan gay di sini," pekik Belva dengan nada bahagia.

Carrie memutar lehernya heran. "Tunggu, kau ... setuju dengan hal semacam itu?"

Mendengar nada protes, Belva melirik Carrie malas. "Yes, 'cause I'm not homophobic. Kau tahu, biasanya orang yang seperti itu adalah orang yang menolak refleksi terhadap bagian dari dirinya sendiri. Dan menurut penelitian, mereka punya kecenderungan lebih besar untuk menjadi homoseksual."

Mantra apa pun yang hendak keluar dari mulut Carrie berhasil dipatahkan. Tentu saja dia akan kena tohok lagi jika masih ngotot untuk mempertahankan keyakinannya. Namun Belva berusaha mencairkan suasana dengan menyodok pelan lengan gadis itu. "Ayolah, tak bisakah kau menikmati pemandangan dua pria saling melakukan--"

"Tidak, tidak!" Rei segera memutus suku kata Belva yang sudah bisa dipastikan akan keluar dari konteks percakapan. "Ceritanya sedikit panjang bagaimana kami bisa tinggal serumah dan menjadi sedekat ini. Yang perlu kalian ketahui, kami sudah karib sejak SD. Itu saja," tutur Rei dengan gaya seriusnya, sambil membenahi posisi kacamata. Carrie hanya melirik Belva yang nampak mengangkat bahu. Carrie yakin hobi Belva yang menggandrungi lelaki penyuka sesama jenis itu telah dikecewakan oleh pengakuan Rei barusan.

"Jadi sejak Sekolah Dasar? It's been a long time," balas Carrie mengeluarkan mereka dari bahan pembicaraan itu.

"Ya. Waktu begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar kalau aku sudah sebesar ini," jawab Arvin setengah melamun namun sempat terkekeh. Sungguh kejadian yang cukup langka jika Arvin mau merenung dan memikirkan usianya yang sudah masuk ranah pubertas.

"Ah, itu hanya relativitas waktu. Buktinya, dalam satu hari, kita tetap melewati 25 jam yang sama," ucap Carrie sambil menyendok sup di mangkuknya.

"Kau salah," Belva tiba-tiba menyanggah. "Kau harus membaca jurnal astronomi untuk menyimpulkan bahwa kita melewati 25 jam yang sama atau tidak."

Mendengarnya membuat tiga anak lain mau tak mau heran dan menggubrisnya. "Aku bohong soal kau harus membaca jurnal, karena aku akan menceritakan yang kutahu pada kalian. Mari kita mulai dari leap second, alias detik kabisat. Kalian sudah tahu itu, kan?"

Arvin dan Carrie langsung geleng-geleng. Belva makin bersemangat dengan posisi sebagai superior di sini untuk menyampaikan pengetahuannya. Sementara Rei dengan ragu menanggapi, "Yang pernah kudengar hanyalah tahun kabisat."

"Ya, secara teknis memang hampir sama. Kalau pada tahun kabisat kau menambahkan satu hari di bulan Februari pada tahun yang habis dibagi empat, maka di detik kabisat ini kau hanya harus menambah satu detik pada hari-hari tertentu yang siklusnya tidak bisa diprediksi. Itu bedanya."

"Why? Apa pentingnya melakukan hal itu?" tanya Arvin.

Belva tersenyum cerdik. "Ini adalah cara kita menyinkronkan waktu dengan rotasi bumi dan posisi matahari. Kalau ini tidak dilakukan, dalam jangka waktu lama kita akan mengalami distorsi siang dan malam.

"Coba bayangkan kalau kau berangkat sekolah jam tujuh pagi di saat matahari sudah muncul dalam sistem 24 jam, kemudian sekarang kau berangkat ke sekolah di jam yang sama, namun ternyata matahari masih belum muncul pada sistem 25 jam, karena pada sistem 25 jam, keadaan bumi pada jam 7 pagi sama dengan saat jam 6 pagi di sistem 24 jam. Itu adalah contoh ekstremnya."

Arvin geleng-geleng kepala, setara dengan melambaikan bendera putih. Sampai di sini saja ia sudah gagal paham. Namun tidak pada Rei, yang terlihat paling responsif di antara mereka bertiga. "Jadi, rotasi bumi itu berubah setiap tahun?"

"Yup. Lebih tepatnya rotasi bumi kian melambat. Itulah mengapa penambahan detik kabisat tidak bisa lagi dilakukan, karena jeda yang ditimbulkan sudah mencapai satu jam. Kalau memaksa melakukannya, kita akan mendapatkan kerusakan permanen pada sistem internet global. Karena usaha menambahkan detik kabisat tersebut sangat berpengaruh terhadap satelit kita. Solusinya, kita membagi hari menjadi 25 jam dan meninggalkan kalender Gregorian. Kalian belum tahu tentang itu, jangan-jangan?"

Ketiganya geleng-geleng kepala lagi. Siapa pun akan merasa kasihan melihat tampang bodoh mereka.

"Jadi kalian juga belum pernah dengar tentang arloji 24 jam yang digunakan beberapa abad yang lalu?" Belva pura-pura kasihan, padahal dalam hatinya ia merasa bangga bisa membuat orang lain jatuh penasaran.

"Begini, Bumi dulunya pernah mengalami rotasi hanya dalam 24 jam sehari. Bahkan di zaman Dinosaurus lebih pendek dari itu. Menurut penelitian, hal itu dipengaruhi oleh menurunnya gaya gravitasi Bulan, yang setiap tahunnya menjauh sekitar 4 cm dari Bumi. Terbukti bukan, Bulan terlihat lebih kecil sekarang?"

Ketiga anak itu masih nampak tak percaya. "Aku kira memang Bulan dari dulu sebesar itu?" gumam Carrie.

"Dulu lebih besar--jika kalian bisa kembali ke masa lalu dan membandingkannya," jawab Belva mantap, seolah-olah dia pernah menilik mesin waktu.

"Pertanyaannya," sela Carrie, "bukankah ini sebuah paradoks? Kenapa kita merasa waktu semakin cepat, sementara kita punya satu jam lebih lama dibanding beberapa abad yang lalu?"

"Jawabannya ada pada relativitas khusus," sahut Belva masih berusaha untuk mengulur-ulur penjelasannya.