Banjarnegara,
Kereta malam yang berhenti disapa lagu Sungai Serayu telah berlalu beberapa jam. Senyap Purwokerto juga telah hilang dari pandangan mata. Tinggal bunga-bunga milik Ibu yang masih menguncup. Belum waktunya berkembang.
Kenangan beberapa tahun silam kembali mendekap Rei. Di tanah ini. Tanah kelahiran sahabatnya, Puan Kirana. Dua tahun lalu saat hidup Rei terasa hampa, Rana datang dengan idenya untuk pulang kampung. Diajak pula dua sahabatnya, Dara Ayu dan Mahia Areta. Ah, Areta, nama berat yang ditanggung pada pundak Rei. Semoga bisa membawa kebajikan bagi sekitar.
Persis di tempat ini, tempat nyanyian bambu terdengar berseru dan suara batu-batu dibelah berdentang setiap pagi. Para pemecah batu berpeluh keringat di pinggir Sungai Serayu. Sementara tak jauh dari sisi sungai, bambu dipilah dan dianyam. Dijual ke pasar untuk menyambung hidup. Bapak dan Ibu tidak perlu lakukan itu semua. Rana juga tidak. Sebagai keturunan tuan tanah, hidup mereka berkecukupan. Apalagi Bapak dan Ibu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tinggi kedudukannya di mata masyarakat desa.
Dua tahun lalu, berkat kedudukan Ibu pula, Rei, Dara dan Rana bisa berkunjung ke rumah Ibu Camat. Dari rumah Rana, Ibu sewa dokar ke Desa Gumelem. Bu Camat menyambut antusias. Tiga gadis diajari tentang batik tulis yang dipamerkan di galeri. Diizinkan juga main ke rumah pembatik yang sedang bekerja. Itulah momen di mana Rei merasa kain yang terbentang adalah jalan hidupnya. Renjana yang terkubur oleh didikan keluarga dan muncul ke permukaan saat Ia telah bisa memutuskan pilihannya sendiri.
"Mereka masih belum bangun juga. Apa kita sudah keterlaluan?" Rasa cemas melanda Rana yang sejak tadi menatap ke tangga. Menunggu dua jejaka turun dari lantai 2.
Rei mengangkat bahu. Senyum jahil tersisa selintas. Dua jejaka itu, Bentang Galuh Mandala dan Lintang Daksina, baru saja pulang dari kuliah mereka di luar negeri. Ben datang lebih dulu. Sejak masih di Prancis, Ben sering diskusi dengan Rana lewat linimasa. Itu pun perkenalan mereka tidak sengaja. Mereka hanya sering komentar di status seorang lelaki bernama Kaivan.
Lama-lama malah jadi akrab. Rana tidak tahu lelaki yang usianya 7 tahun lebih muda itu sudah pulang dari Prancis. Secara tidak sengaja, Ben malah jadi relawan guru di tempat Dara juga jadi relawan. Pada pernikahan Dara, inilah pertama kalinya Ben bertemu muka dengan Rana dan juga Rei.
Takdir memang penuh teka-teki. Sekarang Ben malah jadi bagian dari persahabatan Rei, Rana dan Dara. Seperti tak ingin menyusup sendirian, dibawa juga temannya yang baru pulang dari Tiongkok. Ben memohon pada Rei untuk bisa ikut ke tempat Rana bersama Lintang Daksina. Lelaki yang akrab disapa Sin itu katanya mau bikin video tentang batik. Rei tak kuasa menolak.
Sekarang dua lelaki yang baru kembali ke tanah air itu harus merasakan ulah jahil Rei dan Rana. Sengaja mereka berdua mengajak kawan barunya naik kereta, naik becak dan terakhir naik bus dalam kota yang biasanya ikut mengangkut kambing dan ayam. Alhasil dua lelaki--yang tampaknya dari keluarga terpandang dan tidak pernah hidup susah--kelelahan dan belum juga menampakkan muka hingga sarapan menjadi dingin. Rana si baik hati merasa resah. Rei sebaliknya, dia senang bisa membalas keangkuhan Ben dan sikap dingin Sin.
"Kirana, Ibu sudah siapkan mobil. Nanti biar Pak Seno saja yang antar kalian ya." Suara Ibu menyapa lembut dua gadis yang duduk di ruang keluarga.
"Dua temannya masih belum bangun?" Tanya Ibu
Rei dan Rana menggeleng berbarengan.
Ibu tersenyum. Seperti biasa, selalu dengan kelembutan khas perempuan Jawa. "Mungkin masih lelah. Ya sudah, Mbak Areta, Bapak dan Ibu berangkat kerja dulu ya."
Seperti memanggil putrinya, Ibu selalu memanggil Rei dengan nama aslinya. Rei membalas senyum Ibu yang tampak anggun dengan seragam cokelat. Terdengar suara mobil Bapak yang menanti Ibu di halaman depan.
Baru beberapa menit setelah Ibu berangkat, Sin dan Ben menunjukkan batang hidungnya. Nah, baru bangun mereka. Rei minta mereka untuk bersiap-siap. Waktunya tidak banyak. Hari ini saja mereka harus ke beberapa tempat.
Pak Seno yang menyetir mobil sudah duduk di belakang setir. Sin duduk di kursi sebelahnya. Rei dan Rana di tengah dekat jendela. Ben tak mau terhimpit di antara dua perempuan. Dia memilih meluruskan kakinya di kursi belakang. Perjalanan yang canggung. Dua orang teman lelaki dipertemukan dengan dua teman perempuan. Praktis nuansa sunyi menyergap begitu saja.
Hanya Ben yang mengoceh dan menyanyi sepanjang perjalanan. Dia ingin memecah kebekuan yang ada di dalam mobil. Tapi Rei, Rana dan Sin, tiga orang intovert yang terjebak dalam satu oto. Apa yang bisa diharapkan dari mereka?
Ketika putaran roda mobil berhenti di satu gang. Rei bisa bernapas lega. Keheningan ini juga menyiksanya yang biasanya cerewet saat hanya berdua dengan Rana. Tapi bersama dua lelaki asing di dalam mobil, ah, Rei tidak tahu harus bicara apa?
Desa yang mereka sambangi ini berada di jantung kota Purwokerto. Sin yang pertama kali tertarik masuk ke satu galeri paling besar dibanding yang lain. Ada dua orang pembatik sedang memainkan canting di halaman. Kamera Sin mengabadikan tarian canting dari tangan nan gemulai. Memang untuk tujuan itu, Sin ikut dalam perjalanan ini. Cukup aneh bagi Rei, seorang mahasiswa pasca sarjana jurusan teknik bertandang ke kota kecil untuk merekam jejak para pembatik.
Sebenarnya Rei penasaran, tapi enggan bertanya pada Sin. Lelaki plontos itu sepertinya pelit omong dan dingin pada orang yang tidak terlalu dia kenal. Rei sendiri bukan orang yang senang basa-basi. Setidaknya perjalanan ini bisa sedikit cair dengan tingkah Ben yang tidak bisa diam.
Lihat saja, sekarang Ben malah menurunkan hampir semua kain batik yang menarik minatnya. Membuat pusing pelayan galeri yang mulai hilang akal menjawab semua tanya. Rana hanya geleng-geleng. Rei tidak mau ikut pusing. Perhatiannya tertuju pada batik bermotif zig-zag.
Ini dia rupanya. Batik motif serayuan alias motif maintenon. Nama Serayuan pasti diambil dari sungai yang membelah Banyumas, Sungai Serayu. Selain motif zig-zag yang menggambarkan aliran sungai, batik ini dihias pula dengan bunga dan ranting yang termasuk motif lung-lungan (flora). Ini menggambarkan tumbuhan yang hidup di pinggir Sungai Serayu. Tak jelas benar arti dari kata Maintenon, yang pasti istilah ini dipopulerkan oleh Van Oorstem yang ikut mengembangkan batik Banyumasan.
Syahdan, batik Banyumasan pertama kali berkembang karena adanya kademangan-kademangan. Ada juga yang bilang, batik awalnya dibawa oleh prajurit Pangeran Diponegoro yang mengungsi dan akhirnya menetap di Banjarnegara. Pada perkembangannya beberapa motif klasik batik Banyumasan tak bisa dipisahkan dari simbol, budaya dan ritual masyarakat.
"Kita pindah tempat?" Tiba-tiba Ben sudah ada di dekatnya. Bola bekel ini memang gampang bosan dan senang melompat-lompat ke banyak tempat.
Rana lagi-lagi hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya. Kilatan cahaya dari kamera Sin masih terlihat. Butuh tepukan dari Ben untuk membuat Sin berhenti dan memasukkan kameranya ke dalam sarung yang tampak terawat. Lelaki yang amat rapi. Kebalikan dari Ben.
Rei dan Rana keluar lebih dulu. Menyusuri jalan yang di pinggirnya melintas sungai kecil. Seorang lelaki yang tak lagi muda mencuci beberapa kain batik dengan deterjen. Meninggalkan busa menggumpal dan warna-warni pewarna kain yang ikut luruh bersama air. Bening air sungai tak bisa lagi ditemukan. Di tempat ini, industri batik berkembang dan memberi penghidupan. Di tempat ini pula, air yang menjadi sumber kehidupan ikut tercemar.
Rei tak ingin berdiam di sana terlalu lama. Tapi Sin justru menangkap momen ini sebagai bahan yang menarik. Berkali-kali lensa kameranya merekam sungai yang berubah warna dan si lelaki yang asik mencuci.
Di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, cerita lain dirapal seorang ibu tua. Begini ceritanya.
Bu Aminah sudah beberapa tahun ditinggal suaminya bertemu Tuhan lebih dulu. Sebagai pensiunan PNS, Bu Aminah tidak ingin bergantung hidup pada anak-anaknya.
Sambil mengisi waktu luang, Bu Aminah mulai membatik. Hasilnya beliau pajang dan jual sendiri di ruang tamu rumahnya. Yang menarik, beberapa karya Bu Aminah menggunakan pewarna alam yang ramah lingkungan. Motifnya pun cenderung sederhana dan tidak terlalu penuh. Seperti sehelai kain berwarna abu-abu dengan hiasan daun berwarna coklat. Warnanya tidak mencolok. Teduh dan tampak elegan.
Rei tidak bisa memalingkan wajahnya dari batik tulis warna alam yang hanya ada dua helai. Tapi matanya juga melirik pada kain yang dipajang persis di sebelah kain warna alam.
"Sido Mukti, semoga selalu sejahtera. Dikenakan pengantin saat resepsi." Rei bergumam sendiri.
"Apa?" Sin menyahut antusias. Baru kali ini Rei dengar lelaki itu agak semangat.
Belum sempat Rei jawab. Bu Aminah sudah ngomong duluan. "Ini biasa digunakan pengantin saat resepsi pernikahan, Mas."
"Makanya beli dong, Sin. Buat pujaan hatimu. Ini pas nih buat ngelamar." Bakat jahil Rei kumat. Pikirnya, lumayan kan kalau Sin beli satu. Bisa bantu Bu Aminah yang pensiunan bertahan hidup.
Tanpa diduga wajah Sin bersemu. "Boleh deh, pilihkan satu dong, Rei."
Mendengar Sin serius mau beli, Rei malah bengong. "Serius Sin? Ya masa aku yang pilih. Ini kan buat calon pendamping hidupmu. Pilih sendiri ah."
Sin tersenyum lembut. "Aku kan gak paham batik, Rei. Kamu yang pilih."
Rei menatap dua helai batik Sido Mukti. Ragu menyelimuti. Tapi ada rasa penasaran juga. Siapa kira-kira yang akan menerima kain ini? Bagaimana rupanya? Siapa pun perempuan itu, kelak ia harus berterima kasih pada Rei.
"Rei, ayo dong. Kita harus ke tempat lain kan?"
Mata Rei memicing dan pilihannya jatuh pada satu helai kain. Bu Aminah membungkus pilihan Rei dan Sin tinggal bayar. Aneh sekali. Kemarin Rei sama sekali tidak mengenal Sin, sekarang dia malah memilih kain untuk calon istri Sin. Hidup memang ajaib.
"Nah, sekarang kita buat video profil Bu Aminah ya. Sin, sudah siap?" Ben beri komando
"Oke Ben, kamera siap, kamu pegang lighting ya. Eh tapi yang jadi host-nya siapa?"
"Tuh, biar Rei aja." Ben menyahut sekenanya
Rei mengelak. "Enak aja, kenapa mesti aku? Kan masih ada Rana"
Tangan Rana cekatan mengambil recorder. "Aku kan udah pegang ini."
"Curaaangg....gak mau. Aku kan gak pernah jadi host." Rei merajuk kesal.
Sin tertawa kecil. Wajahnya jadi terlihat lebih manis. "Ayolah Rei, selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu. Bagus ini untuk pengalaman."
Dikeroyok tiga orang, Rei menyerah. Untunglah hanya dua kali ulang. Sin pernah jadi sutradara beberapa film pendek dan dokumenter. Perjalanan ke Banjarnegara ini pun sempat tertunda karena Ben meminta Rei menunggu temannya yang masih studi tentang film di Tiongkok. Rei jarang kompromi untuk urusan jalan-jalan. Tapi Ben berhasil membuatnya menunggu orang yang tidak dia kenal.
Tidak disangka rumah Bu Aminah bisa membuat mereka menjadi lebih cair. Biar lebih asik lagi, Rana mentraktir soto Sokaraja. Sin cerita tentang pengalamannya di Taiwan. Awalnya dia kuliah teknik di salah satu PTN. Lalu melanjutkan kuliah di jurusan yang sama di Taiwan. Tapi Sin malah jatuh cinta pada kamera. Akhirnya dia memutuskan untuk belajar film di Tiongkok.
Rana mencurahkan isi hatinya sebagai dosen di sekolah keperawatan. Dia juga harus menyelesaikan pasca sarjananya yang belum rampung. Dia merasa jenuh dan butuh hal-hal baru.
Ben kuliah di Prancis jurusan hukum. Tapi dia kecewa dengan perkembangan hukum di tanah air. Dia malah ingin jadi pengusaha. Saat Rei bilang ingin usaha batik, Ben antusias. Langsung dia bilang kalau dia juga mau ikut.
Beda dengan tiga rekannya, Rei malah cerita pengalamannya wawancara pembunuh paling sadis.
"Bayangkan. Dia membunuh dan muntilasi 11 orang dalam satu tahun. Artinya hampir satu bulan sekali. Dan itu selalu dilakukan jam 11 siang sebelum shalat Jum'at. Katanya ada bisikan ghaib yang menyuruhnya membunuh."
"Dia punya gangguan jiwa?" Rana bergidik.
"Aku tidak baca hasil tesnya. Tapi dia orang yang sangat pintar. Calon dokter. Ibunya selalu menuntutnya jadi nomor satu. Dia benci sekali ibunya. Tapi didikan ibunya tetap melekat. Urusan membunuh pun, dia harus nomor satu. Dia menyebut dirinya diva dan menggunakan kaus hitam dengan tulisan: I'm Sexy. Dia sangat ingin menulis buku parenting. Dia berharap hanya dia saja yang begitu. Jangan sampai ada anak lain yang benci ibunya dan malah salah jalan."
Dongeng Rei tentang pembunuh berdarah dingin selesai bersamaan dengan diangkatnya 4 mangkuk soto sokaraja. Rei tidak makan daging. Setahun belakangan Rei memutuskan menjadi vegetarian.
Roda mobil yang dikendarai Pak Seno melaju menuju tempat lain. Masih di Purwokerto, kali ini bukan kampung batik, tapi satu galeri besar. Koleksinya jauh lebih beragam. Dari batik cetak sampai batik tulis yang harganya jutaan.
Cantik motif batik Banyumasan memukau mata Rei dan Rana. Mereka terpana melihat tak lebih dari sepuluh batik tulis dibentang. Kebanyakan motif klasik. Seperti motif Babon Angrem. Babon dalam bahasa Banyumasan berarti ayam betina yang besar. Sedang Angrem bisa berarti mengeram. Jadi Babon Angrem adalah ayam betina yang sedang mengerami telurnya.
Motifnya sendiri tidak berbentuk realis—dimana ayam benar-benar mengerami telurnya—tetapi merupakan stilasi yang menggabungkan beberapa unsur dan ragam hias dalam batik. Kain batik motif Babon Angrem ini biasanya dikenakan perempuan dalam upacara tujuh bulanan dalam budaya Banyumas. Perempuan tersebut mesti melakukan tapa brata, ibarat induk ayam yang tengah mengerami telurnya.
Motif klasik lainnya ada Godong Kosong. Godong berarti daun, sehingga motif ini berarti daun kosong. Seperti Babon Angrom, motif Godong Kosong ini pun masih berhubungan dengan ritual yang acapkali dilakukan masyarakat Banyumas. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, beberapa ritual mestilah dilakukan dalam ruang kosong yang hening. Inilah makna dari Godong Kosong atau daun kosong. Bukan tentang daun yang tidak memiliki apa-apa, tetapi merujuk pada ruang kosong tempat dilakukannya ritual.
"Huft...selera kalian tinggi." Sin menarik napas melihat pilihan Rei dan Rana.
Dua gadis hanya tertawa mendengar celoteh lelaki yang baru mereka kenal.
"Tolong pilihkan tas batik untukku. Jangan yang mahal-mahal yaa..."
Rei berdiri malas. Pandangannya masih tertuju pada batik seharga 1,5 juta Rupiah.
"Buat laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan."
Hasrat jahil Rei kembali lagi. "Cieee...tadi kan sudah dibelikan kain batik buah nikah, sekarang dibelikan tasnya juga?"
"Astaga, siapa perempuan yang beruntung itu?" Rana ikutan menggoda
Ben hanya berdehem dan pura-pura batuk.
"Apa sih kalian? Ini tas batik untuk putrinya ibu kos di Tiongkok...."
"Hoo...jadi sama anaknya ibu kos?" Rei masih saja usil
Sin tersenyum tak terlalu lebar. Lembut suaranya terdengar. "Umurnya baru belasan tahun Rei."
Rana mengambil satu tas batik dari rak. "Sudah jangan goda Dia terus, Rei. Ini, cocok sepertinya untuk putri ibu kosmu."
Sebelum Rei sempat menggoda lagi, Sin buru-buru ke kasir. Dan setelah hampir satu hari, baru Rei berani menggoda Sin secara langsung. Di dalam mobil, Rei yang duduk di belakang bisa puas mencuri pandang ke arah Sin. Ini pertama kalinya dia perhatikan sosok Sin.
Lelaki yang duduk di kursi depan itu punya kulit sawo matang. Badannya atletis sedikit gempal. Menandakan kalau dia cukup rajin olahraga. Kaos ketat membuat lekuk tubuhnya cukup kentara. Rambutnya cepak hampir botak. Bentuk wajahnya sedikit bulat tapi juga terlihat oval. Hidungnya mancung dan matanya tidak besar.
Sin lelaki yang irit bicara. Kalau pun bicara, suaranya tidak terlampau lantang. Juga terlihat amat hati-hati. Setengah hari lebih bersama Sin, Rei merasa Sin sangat cocok dengan Rana. Keduanya Jawa tulen. Tampak halus dan berbudi. Bapak keduanya juga sama-sama guru dan merangkap pejabat terpandang.
Membayangkan keduanya bisa berjodoh tentu tidak terlampaui fantastis. Tapi, ah, ini hanya khayalan Rei saja. Bukankah tadi Sin membeli kain Sido Mukti untuk diberikan pada calon isterinya. Lelaki seperti Sin pasti sudah punya tunangan. Tebakan Rei, tidak sulit bagi Sin mendapatkan pujaan hati.
Penampilan yang rapi dan bersih sungguh enak dilihat. Tidak pula banyak gaya. Andalannya hanya kaos warna netral, celana jeans dan alas kaki yang nyaman. Paling mengesankan tentu kamera yang selalu akrab dengan tubuhnya. Nilai Sin naik berkali-kali lipat saat membidik buruannya. Lelaki dan renjana, hasrat yang lahir dan begitu kuat dari dalam diri, selalu tampak menyenangkan bila dipandang.
"Sudah mau dekat rumah Mbak Rana, mau ke mana lagi?" Pak Seno membuat lamunan Rei buyar.
"Nggih, rumah Bu Lurah, Pak Seno. Teman Ibu di dekat pematang."
"Nggih Mbak Rana."
Mobil belok kanan melewati jalan aspal yang kiri dan kanannya dihias permadani hijau. Hamparan padi dipeluk gunung-gunung. Arjuno tampak biru keabu-abuan. Bu tani menanam padi sambil bergerak mundur, agar padi yang telah ditanam tak terinjak.
Ada sisi sawah yang gersang. Berjejer batako menggusur padi yang tumbuh dari tanah. Kabarnya banyak tanah dijual untuk tempat pembuatan batako. Hasilnya untuk beli motor yang dipakai kebut-kebutan bujang kesayangan. Itu kalau petani yang punya tanah. Nasib petani gurem dan buruh tani tidak seberuntung itu. Hilangnya tanah berarti hilang juga penghidupan.
Tidak jauh dari hamparan padi yang mulai berubah warna jadi abu-abu batako, rumah Bu Lurah terbuka lebar. Tiga perempuan membatik di dekat pekarangan. Kain yang digunakan katun mori bermotif. Si pembatik tinggal mengulang gambar dengan canting dan lilin malam. Lalu diberi isen dan cecek. Perpaduan yang kelak membuat batik ini dinamakan batik kombinasi cap-tulis.
Ramah suara Bu Lurah menyambut. Dipamerkan beberapa batik yang tengah dibuat. Yang warna hijau motif jae serimpang. Menggambarkan irisan jahe yang biasa digunakan untuk bumbu dapur. Kain lain yang menarik hati bermotif pring sedapur atau serumpun bambu. Melukiskan keindahan pohon-pohon bambu yang berdesir di pinggir Sungai Serayu. Motif khas batik Gumelem juga dijual di sini. Motif daun talas yang sering digunakan pejabat daerah Banjarnegara.
Bu Lurah sengaja mengajak perempuan membatik di tempatnya. Supaya perempuan bisa punya penghasilan sendiri dan ikut membantu perekonomian keluarganya. Hanya nyanting saja mereka ini. Proses pewarnaan dilakukan di kota. Bu Lurah tidak punya lahan untuk proses pewarnaan, lorod dan jemur. Lagipula pekerjaan berat begini biasanya dilakukan laki-laki.
Setelah seduhan teh dari Bu Lurah habis, mereka pamit pulang. Membawa beberapa batik yang harganya terjangkau. Batik kombinasi cap-tulis lebih murah dari batik tulis.
Malamnya, Bapak bercengkrama dengan Sin dan Ben. Sepertinya Bapak cocok sekali dengan Sin. Apalagi ayahnya Sin bisa dibilang atasan Bapak. Ah, barangkali Sin memang menantu idaman. Bibit, bobot dan bebetnya sungguh baik. Rei tidak terlalu tertarik dengan obrolan mereka. Sekujur tubuhnya juga terasa lelah. Pelan-pelan, Rei pamit untuk tidur lebih dulu.
Ketika kumandang adzan Subuh terdengar, seisi rumah sudah bersiap. Ibu membuat sarapan dan teh manis. Rana sibuk sekali naik-turun mengantar makanan. Rei menghitung biaya perjalanan dua hari kemarin. Ben tidur lagi di kasur dan Sin hanya diam sambil mengunyah ubi goreng yang dibuat Ibu.
"Hmmm...Sin boleh tolong ambilkan buku itu"
Sin menatap Rei sebentar. "Gak boleh..."
Jawaban Sin dan wajahnya yang dingin membuat Rei terpaku
"Hahaha...boleh Rei, ini."
Mata Sin berkedip beberapa kali. Baru Rei sadar, mata Sin selalu berkedip setiap saat dia merasa gugup. Ben bangun dan langsung melahap ubi goreng. Rana yang baru datang membawa kue kembali geleng-geleng kepala. Memang Rana ini calon istri ideal. Jawani sekali. Benar-benar pas bila berjodoh dengan Sin yang juga tampak seperti priyayi.
"Sin, aku dan Rei mau bikin usaha batik. Rana juga ikut. Kamu gabung ya...Kamu kan juga tertarik dengan batik. Seperti yang Kamu cerita ke saya." Mulut Ben semakin lancar bicara setelah sarapan.
"Hmmm...boleh juga. Saya memang dari awal mau punya usaha batik. Ibu saya dulu punya usaha batik."
"Kalau gitu Kamu jadi CEO ya Sin."
"Eh, tunggu dulu Ben, saya kan baru gabung. Saya ikut dulu aja deh."
"Justru kita butuh sosok kayak Kamu, Sin. Ayolah dicoba dulu aja."
"Hmmm...oke. Saya coba ya."
"Kita siap-siap ya. Kan harus antar Sin ke stasiun." Ujar Rana sambil mengambil piring kosong.
Perjalanan tidak bisa dilanjutkan berempat. Ayahnya Sin memintanya pulang lebih dulu. Ada yang mesti diurus. Rencana Sin untuk mendokumentasikan seluruh perjalanan harus ditunda. Mungkin lain waktu. Sin tahu, jodohnya bersama tiga kawan perjalanannya masih akan lama.
Di stasiun, Rei duduk mematung. Serius memperhatikan jam yang berdentang, petugas yang merobek karcis dan orang-orang yang lalu lalang. Lonceng di stasiun yang khas membawa kerinduan pada masa kecil. Rei menutup matanya. Membawa kenangan-kenangan indah berdatangan mengetuk pikirannya.
Saat kedua kelopak matanya dibuka, sudah aa Sin di depannya. Berdiri sendiri tanpa Ben dan Rana yang tampaknya asik ngobrol berdua.
"Boleh minta nomor telepon selularnya?"
Rei masih mematung
"Ah, kita kan akan kerja sama, pasti harus sering kordinasi."
Sebelum Rei sempat bicara, Rana datang. "Sebentar lagi kereta datang, eh nomor telepon selularmu berapa ya, Sin? Boleh aku minta? Biar gampang cek Kamu sudah sampai atau belum. Temanmu itu cerewet sekali. Aku harus memastikan Kamu pulang dari kampungku dengan selamat." Rana bicara sambil sesekali menunjuk ke arah Ben yang duduk di kursi besi panjang.
Seperti sebelumnya, Sin hanya tersenyum. Menyebut beberapa angka yang tak mudah dihapal. Tak hanya Rana yang menyimpan nomor lelaki cepak itu. Rei juga. Siang menuju sore di Stasiun Purwokerto, mereka resmi bertukar nomor telepon selular.
Dengan kepergian Sin, perjalanan dilanjutkan bertiga. Siapa yang menduga, perjalanan ke Kebumen menjadi salah satu petualangan yang tidak akan pernah Rei lupakan. Dan semuanya gara-gara....(bersambung)