Jakarta,
"Rei..."
Suara yang belum familiar membuat Rei menoleh. Menghentikan langkahnya di anak tangga ketiga. Sesosok lelaki ada di lantai 1.
"Masih ingat kan?"
Lelaki itu tersenyum sambil berdiri tepat di bawah tangga. Langkah kaki Rei dibawa turun
"Ya masih dong, Sin. Kan hari kita memang janjian. Tapi yang lain kayaknya masih di jalan. Kita masih harus tunggu Rana, Ben, Distya dan Restu nih."
Dalam hati Rei mengumpat. Sial! Kenapa pula dia harus terjebak dengan lelaki dingin macam Sin? Dua orang introvert bertemu di satu meja. Di Purwokerto kemarin, Rei sudah mendongeng tentang pembunuh yang muntilasi 11 orang dan wajahnya viral di layar kaca. Sekarang dia harus cerita apa lagi?
"Hei...Rei, mau di lantai 2?" Tangan Sin dikibas-kibas depan muka Rei.
Baru Rei sadar kalau dia terpaku di depan Sin. Ah, benar-benar memalukan.
"Iya. Di lantai 2 saja ya Sin. Di bawah terlalu ramai. Kan kita mau rapat. Nanti suaranya tak terdengar."
Meja di sudut lantai 2 dipilih mereka. Satu gelas cappucino dan satu gelas coffee latte diantar kemeja. Menggenapi kegugupan Rei, satu potong cheese cake juga ada di meja. Lumernya cheese cake di lidah selalu bisa melenturkan lidah Rei yang kelu.
"Aku tadi ke sini jalan kaki Sin. Yah sekitar 2 km lah."
"Wah...itu kan jauh. Kamu sering ke sini?"
"Iya. Kalau akhir pekan. Kan aku olahraganya di sekitar sini dan Monas. Tapi aku lebih suka lagi ke Kota Tua. Kamu pernah ke sana?"
"Kayaknya sudah lama sekali yaa...lupa terakhir ke sana. Paling pas kunjungan ke museum sih. Kamu ke sana sendirian?"
Rei mengangguk sambil mengemut cheese cake yang tak perlu dikunyah. "Iya, kadang aku ke sana cuma buat makan es potong sambil bengong di depan Museum Fatahillah. Terus habis itu pulang."
Mata Sin berkedip beberapa kali. Kakinya juga bergerak terus. Pertanda hatinya yang gugup
"Ih itu sih galau banget."
"Itu, masih mending Sin. Kalau galauku akut. Aku ke pelabuhan dan menyeberang pulau..."
"Hahaha...aneh banget."
Sin mencoba tertawa. Situasi ini tidak cukup nyaman baginya. Matanya tetap berkedip beberapa kali. Kakinya juga bergerak tanpa bisa dikendalikan.
Sosok perempuan riang yang suka melompat-lompat datang bersama Rana. Itu dia, Distya Maharani, junior Rei di kampus yang ingin ikut dalam tim ini. Tak lama, Ben menyusul.
"Jadi gimana Sin, Kamu jadi S2?"
Sin mengangguk mantap. "Ya. Malah semakin yakin."
Mata Rei tertuju pada Sin. Lupa sejenak pada cheese cake di meja.
"Kamu mau kuliah lagi Sin? Terus rencana usaha kita gimana dong? Kan kamu CEO-nya."
Senyum tipis Sin kembali menghiasi wajah berkulit coklat.
"Justru ini mendukung usaha kita, Rei. Saya kan ambil jurusannya ekonomi kreatif. Bahas juga tentang budaya. Cocok deh sama usaha kita."
Ben menepuk kedua tangannya. "Dari awal tuh saya sudah merasa aneh. Saya bertemu Rei dan Rana di pernikahan Dara. Padahal saya dan Rana sering diskusi di dunia maya. Terus tiba-tiba Rei cerita mau bikin usaha batik. Tiba-tiba juga saya reuni dengan teman-teman mahasiswa waktu di luar negeri. Bertemu lagi dengan Sin. Pas banget Sin bilang mau bikin film tentang batik dan melanjutkan usaha batik ibunya. Kok bisa pas semua gini ya? Sekarang Sin kuliah di jurusan yang berkaitan banget dengan usaha kita. Ini baru yang namanya semesta mendukung."
Tepuk tangan Ben disambut tawa Rana dan Distya. Satu orang lagi membuat tim ini semakin lengkap. Restu Alam, akuntan yang sangat teliti. Restu menghitung modal yang dibutuhkan, membuat rencana keuangan dan membagi kewajiban ke lima orang rekan kerja barunya.
Jangan bayangkan Restu lelaki yang klimis dan rapi. Sebaliknya, rambutnya sedikit acak-acakan. Kancing kemeja putihnya selalu dibuka di bagian atas. Kadang kemeja itu dikeluarkan dari celana hitam yang tampak licin. Soal kemeja putih dan celana hitam ini, Restu tak bisa diganggu gugat. Ini seperti seragam kebanggaannya.
"Terus namanya apa dong? Rei, ini kan awalnya idemu. Kamu mau kasih nama apa tadinya?" Kerut di dahi Ben tampak kentara.
"SEMI. Seperti kisah truntum yang mengantar cinta Raja bersemi kembali pada Ratu. Tumaruntum. Bersemi kembali. Ada juga motif batik semen. Artinya juga semi. Menggambarkan tunas-tunas yang tumbuh dan kelak memberi kehidupan."
Kafe tempat mereka duduk mulai ramai. Sebentar lagi jam makan siang. Rei memancang mimpi dan doa sekaligus. Oh renjana. Persis di pusat Ibukota. Di antara gedung-gedung pencakar langit dan klakson yang terus meraung. Di kota ini, ribuan orang mengadu nasib. Di kota ini pula, ingin Rei bawa keindahan batik dari daerah.
"Tapi untuk awal-awal kayaknya kita gak bisa langsung jual kain saja deh. Yah buat perkenalan kan perlu juga jual pakaian jadi. Yang lebih ringkas gitu loh. Jadi ada produk kain dan pakaian," ujar Rana.
"Sepakat." Mata Ben berbinar menatap Rana bicara. Ada yang aneh.
"Launchingnya nanti di mana?" Catatan di buku Distya masih terus dicoret-coret.
"Rumah saya saja. Ada banyak batik peninggalan Ibu yang bisa kita jual juga. Jadi kan tidak perlu banyak beli kain. Tapi saya butuh orang buat beres-beres."
"Iya, nanti aku ke sana. Kabari saja waktunya." Rei menyelesaikan suapan cheese cake terakhirnya.
"Saya harus kembali ke kantor. Tidak bisa menemani kalian belanja," ujar Restu setelah menyelesaikan hitung-hitungannya.
"Aku juga harus balik ke kampus dan kuliah." Distya ikut pamit.
Pamitnya Distya dan Restu membuat urusan belanja kembali diserahkan pada Rei, Rana, Sin dan Ben. Selain koleksi kain batik, mereka ingin juga menjual pakaian jadi untuk menarik minat pembeli. Tidak semua orang mau beli kain batik cap atau tulis yang harganya lebih mahal dari batik cetak.
Pencarian baju batik dimulai di Thamrin City. Bagi pecinta batik di Ibukota, Thamrin City sudah tidak asing lagi. Bukan hanya menyediakan baju batik atau batik cetak. Thamrin City juga dihuni pengusaha batik dari berbagai daerah yang mencari peruntungan di Jakarta. Beberapa ada yang workshopnya di Solo, Yogyakarta, Cirebon dan Pekalongan.
Perkara belanja, kaum hawa memang lebih heboh. Sin dan Ben tidak sanggup mengikuti Rana dan Rei yang bisa melompat dari satu toko ke toko lain dengan cekatan. Belum urusan tawar-menawar yang di mata Sin sangat tidak efisien dan kadang tidak manusiawi.
"Ih lihat Rana, lucu banget ya?" Tangan Rei mengambil satu rok lilit batik cap bermotif lereng.
"Ih iya lucu banget."
Sin dan Ben saling berpandangan. Tidak mengerti.
"Apanya sih yang lucu? Itu gak lucu. Gak ada yang bisa tertawakan," ujar Sin dengan dahi mengkerut.
Mata Rei melotot ke arah Sin. "Lihat dong Sin, ini tuh lucu banget. Bagus gitu...."
"Ya kenapa gak bilang bagus saja sih?"
"Ih...Sin, cewek itu kalau bilang lucu artinya bagus."
"Ya beda dong Rei, bagus ya bagus. Kalau lucu itu yang bisa bikin tertawa."
"Sin kenapa sih Kamu kaku banget? Males ah."
Rana mengambil kain lilit yang ditunjukkan Rei dan mencoba di badannya.
"Sudah Kalian jangan ribut. Ini jadi mau diambil gak nih? Lucu banget loh." Rana miring kiri dan kanan di depan kaca besar.
"Tuh kan lucu lagi." Sin kembali protes.
"Jadi dong, kita coba ambil empat ya..."
Rei melirik dan mengedipkan mata ke Sin. Cepat Sin mengeluarkan uang dari dompetnya. Biar nanti hitung-hitungan urusan Restu. Sekarang pakai yang ada saja dulu.
Pandangan Rei beralih pada kain batik motif kawung yang ada di dekat rok lilit.
"Lihatlah batik ini, namanya kawung."
Ben ikut memperhatikan motif itu dengan teliti. "Apa maknanya?"
"Empat bulatan elips seperti kolang-kaling yang menggambarkan bunga lotus yang sedang merekah. Bulatan menghadap ke empat penjuru mata angin. Utara menggambarkan gunung tempat bersemayamnya Dewa. Timur melambangkan terbitnya matahari. Barat melambangkan terbenamnya matahari. Dan Selatan menggambarkan puncak dari segala. Satu lingkaran di tengah menggambarkan posisi Raja sebagai pusat kekuasaan yang harus dipatuhi. Kawung juga melambangkan keadilan sang Raja."
Sin menatap Rei yang mendadak jadi serius dan filosofis. "Kayaknya Kamu salah jurusan, Rei. Kamu harusnya masuk jurusan filsafat."
Senyum Rei tampak lebar mendengar kata-kata Sin. Ben malah manggut-manggut sendiri.
"Bagus filosofinya. Saya jadikan ini batik favorit saya. Sebagai pewaris tanah Pasundan, saya juga harus bisa mengupayakan keadilan."
Mendengar Ben mulai lagi dengan celotehnya tentang tahta Kerajaan Sunda, Rei dan Rana memilih melengos. Hanya Sin yang masih sabar mendengar sambil geleng-geleng kepala.
Kelar belanja, semua barang dimasukkan ke mobil Sin dan juga dibawa ke rumah Sin untuk persiapan launching. Esok hari, Sin, Ben, Rana dan Distya akan keliling kota untuk membuat video: "Tanggapan Warga Jakarta tentang Batik."
Rencananya mereka akan door stop beberapa orang dan tanya-tanya tentang batik. Entah motif kesukaan atau seberapa sering mereka pakai batik. Video ini akan diluncurkan saat launching. Sekalian dengan video yang dibuat Sin saat di Banjarnegara dan Purwokerto.
Dalam proyek ini, Rei tidak bisa gabung. Ada rapat penting di kantor yang harus Rei hadiri. Baru beberapa hari setelahnya Rei datang ke rumah Sin untuk beres-beres batik. Ben sudah datang lebih dulu. Sin dan Ben harus mengedit video yang ditampilkan saat launching nanti.
"Yang mana rumahnya Sin?" Melalui telepon selular, Rei menghubungi Sin sambil tengok kanan dan kiri.
Terdengar suara di belakang Rei. "Saya melihat Kamu. Coba balik badan."
Sesuai perintah Sin, Rei membalikkan badannya dan melihat sosok Sin di pagar berwarna hijau. Pelan-pelan Rei berjalan ke arah Sin. Matanya takjub melihat rumah besar yang persis di kelok jalan. Orang bilang rumah hook.
"Ayo masuk." Suara Sin terdengar lembut.
Lelaki itu berjalan lebih dulu. Rei mengekor di belakang. Di rumahnya, Sin tampak beda. Tidak perlente seperti biasanya. Kaos merah ketat membungkus tubuhnya yang agak gempal. Dipadu celana pendek warna coklat. Betisnya yang juga gempal tapi panjang bisa terlihat jelas.
Mereka masuk ke satu ruangan yang diisi sofa empuk dan panjang. Ruang keluarga. Ada TV besar yang diletakkan persis di bawah tangga. Tampak Ben sedang asik di depan layar laptop. Rei duduk sebentar. Mengatur napas. Menyesuaikan diri dengan rumah Sin yang di matanya cukup mewah.
Rumah ini sangat aneh. Terasa dingin sekali. Seperti berada di dalam sebuah kastil besar yang dipenuhi lumut karena lama tak dibuka. Di dalam kastil ini hidup seorang pangeran berwajah dingin. Pikiran nakal memburu benak Rei: Adakah pangeran itu merasa kesepian?"
Asisten rumah tangga membawakan teh untuk Rei. Secangkir teh direguk sambil memperhatikan tiga foto keluarga yang terpampang di dinding. Dalam tiga foto yang berbeda, semua anggota keluarga juga mengenakan seragam batik yang berbeda. Satu pintu kamar di dekat tangga dibuka oleh Sin.
"Kemari, Rei."
Rei menurut. Ben juga ikut bersama Rei. Mereka masuk ke dalam kamar yang tidak ada tempat tidurnya. Hanya ada beberapa lemari dan gantungan baju. Salah satu lemari dibuka.
"Ini koleksi kain Ibuku. Dulu Ibuku juga punya toko baju. Tapi semenjak Ibuku sakit dan meninggal, tokonya tidak terurus."
Roman sedih menggelayut di wajah Sin. Memancing Rei untuk tahu lebih jauh.
"Ibumu sudah meninggal?"
Sebisa mungkin, Sin coba tersenyum. "Iya, sembilan bulan lalu."
"Maaf, masih baru sekali. Kamu pasti masih sedih."
Wajah Sin dipalingkn ke arah pintu. "Tidak apa-apa. Rei, saya dan Ben harus edit video. Kami butuh WiFi. Di sini tidak terlalu bagus. Kami akan edit di kamar saya, lantai 2. Kamu tidak apa-apa saya tinggal sendiri di sini?"
Rei menggeleng. "Tidak apa-apa. Sepertinya aku akan sangat menikmati sore ini. Banyak sekali kain indah. Astaga, aku rasanya tidak mau menjual kain-kain ini. Aku ingin miliki semua."
Sekali lagi Sin tersenyum. Meninggalkan Rei yang larut di antara lebih dari 300 kain. Bukan hanya kain, ada juga kebaya. Kainnya pun beragam. Kebanyakan batik. Tapi ada juga tenun Toraja, Makassar, Bali dan daerah lain. Juga aneka songket, lurik dan tapis.
Jika rumah besar ini adalah kastil dan Sin pangeran yang tinggal di dalamnya, maka seluruh kain cantik ini adalah harta karun tak ternilai. Pangeran, Kastil dan Harta Karun. Seperti judul drama. Mungkin juga nantinya akan membuat hidup Rei penuh drama.
Sehelai kain batik tulis membuat Rei jatuh hati. Berlatar putih dengan hiasan daun dan bunga besar warna merah. Di tengah kain warna hijau tampak serasi dengan bunga berwarna merah dan putih. Kainnya halus dengan benang yang sangat rapat.
Ada senior Rei di kantor. Namanya Mbak Sani. Seorang kolektor kain. Bila dia sedang stres, dikeluarkan semua koleksinya. Dielus satu per satu. Dikagumi keindahan ragam hias yang ada di tiap kain. Begitu saja, stresnya langsung hilang
Dulu Rei pikir, Mbak Sani mengada-ada. Kini dia rasakan sendiri. Hangat hati saat pandangan jatuh ke sehelai kain cantik. Jiwa memilih benda. Mungkinkah Rei berjodoh dengan kain itu? Sebab banyak mitos yang bilang, kain batik itu jodoh-jodohan. Bila tidak berjodoh, tidak akan jadi milik.
"Kamu siapa? Temannya Sin?"
Suara dari pintu membuyarkan lamunan Rei. Seorang lelaki paruh baya berwajah tegas dan sedikit dingin. Tapi terlihat berusaha ramah. Rei terpaku. Tak bisa menjawab.
"Saya Bapaknya Sin. Kain-kain ini dulunya milik istri saya."
Astaga, Rei merasa kikuk ketahuan sedang mengacak-acak barang peninggalan orang lain. Ah, Sin di mana lelaki itu? Bukankah harusnya Sin yang mengenalkan Rei pada Bapaknya? Agar Rei tak terlihat seperti tamu tak diundang yang sembarangan membuka lemari.
Pelan Rei dekati lelaki paruh baya itu dan mencium tangannya.
"Saya Areta, temannya Sin."
Wajah Bapaknya Sin tetap dingin. Seperti menahan sesuatu.
"Dulu Ibunya Sin punya toko batik. Ada pegawai kepercayaan yang biasa mengurus. Saya bilang jangan terlalu percaya pada orang lain. Tapi Ibunya Sin begitu percaya. Pegawainya itu curang. Setelah mengambil keuntungan sendiri, orang itu menghilang. Tak lama Ibunya Sin sakit dan akhirnya meninggal. Barang-barang di toko terbengkalai. Tidak ada yang tahu harga kain-kain ini selain orang itu. Apalagi keuntungan toko. Sudah saya bilang jangan terlalu percaya. Sekarang bagaimana? Harus cari orang itu untuk tahu harga kain-kain ini."
Entah apa maksud Bapaknya Sin sebenarnya. Berkali-kali beliau tekankan untuk tidak mudah percaya pada orang. Mungkinkah itu juga yang beliau rasakan sekarang? Mungkinkah beliau merasa Sin terlalu percaya pada Rei yang baru dikenalnya hingga--mengizinkan Rei bergerak bebas di rumahnya? Tanpa pengawasan. Atau mungkinkah itu peringatan untuk Rei agar jangan mencurangi anaknya, seperti pegawai toko yang mencurangi Ibunya Sin?
"Bapak sudah pulang?" Tiba-tiba Sin sudah ada di dekat pintu.
"Ya, baru dijemput dari bandara."
Bapaknya Sin membalikkan badan. Mengizinkan anak lelakinya mencium tangannya. Lalu kepalanya menoleh ke arah Rei.
"Saya mengajar di Solo. Tapi rumah saya di Solo belum jadi. Terpaksa harus bolak-balik Jakarta-Solo. Tapi semua transportasi dan akomodasi ditanggung Universitas. Saya istirahat dulu ya. Masih capek."
Bapaknya Sin naik ke lantai 2. Meninggalkan Rei yang mematung di dalam kamar dan Sin yang masih berdiri di dekat pintu.
"Rei...Kamu baik-baik saja di sini?" Sin tetap di dekat pintu.
Kembali Rei tersadar. "Eh iya...aku menyukai tempat ini. Banyak sekali kain indah."
Lagi. Sin tersenyum. "Saya tidak mengerti bahan dan jenisnya. Kamu kelompokkan saja yang Kamu tahu. Nanti pelan-pelan kita tanyakan pada yang mengerti tentang kain."
Sin juga kembali menghilang. Membiarkan Rei berkutat dengan jalinan benang yang tersusun rapi. Hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Bentangan kain-kain membuat Rei merasa detik tak terhitung. Semua datang dan pergi begitu saja.
Pintu kembali diketuk. Kepala Sin menyembul dari balik pintu.
"Ayo makan malam dulu."
Rei menggeleng. "Aku makan di rumah saja. Nanti terlalu malam. Biar aku pulang."
"Bapak yang menyuruh makan dulu sebelum pulang."
Mendengar nama Bapak disebut, Rei bergidik. Kembali membayangkan lelaki paruh baya yang berwajah tegas dan agak dingin. Tak kuasa Rei menolak saran Bapak.
Di meja makan, Ben juga sudah duduk di kursi. Wajahnya terlihat tegang. Rei duduk di sebelah Ben. Di sebelah Rei ada Sin. Di hadapan mereka ada Bapak, Mas Bayu (kakak pertamanya Sin) dan Mbak Kania (istrinya Mas Bayu yang sedang hamil). Nuansa malam itu terasa dingin.
Syukurlah, Mbak Kania, kakak ipar Sin ternyata satu angkatan dengan Rei di kampus. Hanya beda fakultas. Mereka bisa memecah sunyi di meja makan.
"Jadi Mbak Kania kuliah di Fakultas Sastra ya? Kenal dengan Anggini?"
"Ya kenal, kan satu angkatan. Kamu temannya Anggini juga?"
"Iya, dulu satu SMA dengan Anggini."
Mendadak Bapak ikut masuk dalam obrolan.
"Memangnya dulu SMA di mana?"
Pelan suara Rei menjawab. "Saya SMA 68, Pak."
"Oh, di sini semuanya SMA 8."
Jleb. Jawaban singkat Bapak seperti menampar Rei. Mas Bayu, Mbak Anggini dan Sin, semuanya alumni SMA Negeri paling terkenal di Jakarta. Hanya anak terpilih dan pintar saja yang bisa masuk ke situ.
Tapi kan Rei juga tidak bodoh. Rei sekolah di SMA favorit Jakarta Pusat yang seleksinya juga tidak main-main. Masih termasuk sekolah terbaik di Jakarta. Dan biarpun Rei
tidak kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di Bandung--seperti Sin dan Mas Bayu--tapi kan Rei kuliah di PTN terkenal di Depok. Apa maksud Bapak bilang begitu? Apa Rei dianggap tak lebih pintar dari anaknya?
Hati Rei jadi sedih. Nafsu makannya langsung hilang. Mungkin saja dia sedang terlalu sensitif. Mungkin saja Bapak tidak bermaksud menyindir atau merendahkan. Selintas harap hadir di benaknya. Semoga ini bukan firasat buruk.