Yogyakarta,
Deras hujan berubah jadi badai. Dingin mendekap tubuh kuyup di tengah kerumunan tak dikenal. Baterai telepon selular juga sudah menyerah sejak tadi. Tak ada yang bisa dilakukan Rei selain menunggu.
Berkali-kali Rana berusaha membuka telepon selularnya. Satu-satunya yang masih menyala di antara mereka bertiga. Bude Retno, adik ibunya Rana tinggal di Jogja. Beruntung Bude Retno mau memberi mereka bertiga tumpangan. Masalahnya tidak satu pun dari mereka yang tahu terminal ini dan arah menuju rumah Bude Retno.
Satu taksi diberhentikan. Situasi sulit begini, supir taksi malah jumawa. Pasang tarif sesukanya. Pasti tidak menyalakan argo. Apa mau dikata? Posisi si supir sedang di atas angin. Mereka menurut saja dengan harga yang "diketuk" supir taksi.
Rupanya rumah Bude Retno agak susah dicari. Keluar dan masuk gang masih belum ketemu juga. Mulut manyun Ben terlihat jelas dari kaca spion. Dia pasti lelah sekali.
Hujan berhenti bersamaan dengan dibukanya pagar rumah berwarna hijau. Dua payung dibawa Bude Retno untuk melindungi mereka dari hujan. Percuma, hujan sudah mengguyur tubuh mereka lebih dari satu jam. Harus pula dikurung dalam mobil berpendingin yang pengatur suhunya rusak. Tangan Rei kaku dan dingin seperti mayat hidup.
Si baik Rana merajang air dan menuangkan air panas untuk mandi Ben. Lalu membuat teh yang bisa menyelamatkan perut mereka dari kembung. Sambil menunggu Ben mandi, Rei dan Rana bercakap-cakap sebentar. Rei tidur lebih dulu dan Rana masih ingin bercanda dengan sepupunya.
Kelar dimandikan air langit, tulang gemeretak seperti ayam di panci presto. Kuyu dan sulit dibawa bergerak. Baru menjelang sore mereka punya energi untuk bergerak. Setengah hari hanya buat makan dan tidur. Kecuali Ben, tingkahnya sungguh mencurigakan. Sok mengajak diskusi Bude dan Pakde.
Sebenarnya waktu di rumah Rana, Ben juga sok asik mengobrol dengan Bapak dan Ibu. Kasihan, pamornya redup karena aura Sin lebih tampak dan mencuri minat lawan bicara. Sekarang Sin sudah pulang lebih dulu. Pasti Ben makin menjadi-jadi. Ah, bocah itu. Sekedar senang diperhatikan atau ada maksud lain?
Meminjam mobil Pakde, Ben didapuk jadi supir. Pertama-tama harus ke stasiun dulu. Beli tiket untuk pulang ke Jakarta. Baru besok malam dapat kesempatan naik kereta api ke Stasiun Senen. Waktu sudah menjelang Maghrib saat mobil diarahkan ke Klaten.
Desa Jarum, Bayat, Klaten, menjadi destinasi berikutnya dari batik trip yang digagas Rei. Sialnya, Rei tidak tahu pasti letak Bayat. Cuma dengar-dengar saja dari Rintis (junior Rei di kampus) yang tinggal di Klaten. Kata Rintis, ada pembatik di Bayat. Tapi tempatnya agak tinggi dan jauh.
Tidak pernah terbayangkan kalau tempat menuju ke sana bukan hanya tinggi, tapi juga curam. Ben yang menyetir mobil penuh emosi membuat jantung Rei dan Rana berdegup keras. Hampir saja terjebak dalam tanah basah bekas hujan kemarin.
Sedang malam kian larut. Tempat yang dicari belum juga ada titik terang. Ben mulai manyun lagi. Rasa bersalah hinggap di hati Rei. Harusnya perjalanan ini memang dia lalui sendiri saja. Biar tak ada ribut-ribut atau kata-kata yang bikin kuping ngilu.
Batik trip ini bukan open trip yang sudah jelas dan tujuannya. Namanya juga mencari pembatik, ya pasti ada cerita tersasar, salah naik angkutan atau tanya-tanya ke orang. Sebagai backpacker, Rei biasa begitu. Tapi Rana jarang berpergian tanpa rencana yang matang. Apalagi Ben, yang biasa difasilitasi dan tak perlu berpikir keras. Ah, Rei benar-benar menyesal.
Satu rumah kayu berbentuk joglo mengakhiri pencarian. Seorang Nyonya tua dengan konde besar membuka pintu. Rei seperti melihat sosok Bu Broto dalam serial Losmen yang populer di akhir tahun 1980-an.
"Saya ini sudah generasi ketiga. Itu foto Kakek saya yang mendirikan usaha batik. Silahkan dilihat. Koleksi kami lengkap sampai ke perlengkapan rumah tangga."
Mata Rana melirik ke arah Rei, lalu tutur halusnya terdengar lirih di tengah joglo. "Kami ingin lihat batik tulisnya. Sebenarnya ingin juga bertemu pembatik."
"Pembatik sudah pulang, Mbak. Tapi kalau mau, silahkan lihat tempat membatik."
Seperti juga ruang tamu di joglo utama, ruang membatik tampak luas dan agak gelap. Mas Wicak menyalakan lampu kecil yang tak cukup menolong mata melihat sekitar. Meski sedikit kelihatan beberapa kain yang menjulur di gawangan (tempat meletakkan kain saat membatik).
Mungkin karena letaknya yang cukup dekat dengan Solo, batik Bayat juga dipengaruhi batik Kasunanan Surakarta. Terlihat dari warnanya yang didominasi warna sogan dan warna-warna gelap. Untuk motifnya sendiri tidak jauh beda dengan batik Jawa Tengah seperti Babon angrem yang juga ditemukan di Banyumas.
Kemahiran membatik sudah dimiliki warga Bayat jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan ada yang memprediksi sebelum masa Kesultanan Mataram. Banyak orang yang menghubungkan batik Bayat dengan kedatangan Ki Ageng Pandanaran. Sempat populer di era tahun 1900-an, kini batik Bayat tak lagi sejaya dulu.
Dalam ruang gelap, Rei terdiam. Ditatapnya satu sumur yang dalamnya tak bisa dikira. Mungkin air sumur ini untuk mencuci batik. Seberkas cahaya menelusup dari celah-celah kayu. Rembulan bersinar di atas sana tak sampai menyilaukan. Misykat. Berpadu cahaya yang mengintip dengan sinar yang berpendar dari lampu bohlam
Mendadak udara menjadi segar dan suasana tampak puitis. Waktu menjadi rahasia. Dalam sorot cahaya yang tak sempat menyilaukan mata, mereka saling mengakrabi. Keindahan satu kain batik yang belum diwarna bagai disorot tajam kilau purnama. Truntum. Penggambaran 8 penjuru mata angin yang berpusat di satu titik tengah. Lalu, Nyonya tua berkonde besar merapal sebuah kisah.
Dahulu, ada seorang Ratu yang merasa kesepian. Duh Gusti, Raja jatuh cinta lagi. Ratu sering ditinggal sendirian. Hingga sepi menelusup, Ratu menghabiskan hari-harinya dengan membatik.
Suatu malam, Ratu menatap bintang bertaburan di angkasa kelam. Duh Gusti, cantik nian kerlip bintang membunuh sunyi. Tangan sang Ratu menggores lilin malam di atas mori putih. Menggambar bintang menjadi 8 titik mata angin dan satu titik di tengah. Ditarik garis-garis seakan titik telah menjadi bintang permadani malam.
Raja datang dan tergoda tarian canting di jemari sang Ratu. Duh Gusti, cantik anggun karya sang Ratu. Perlahan didekatinya Ratu yang dulu jadi pujaan hati. Orang bilang, bintang akan menuntun mereka yang tersesat. Malam itu, keajaiban bintang menuntun Sang Raja kembali pada cinta sejatinya.
Maka disebutlah motif ini dengan truntum yang berarti menuntun. Ada yang menyebut tumaruntum atau bersemi kembali. Seperti cinta Raja pada Ratunya. Truntum lalu digunakan orang tua mempelai saat prosesi pernikahan. Sebagai sebuah gambaran tugas orang tua yang belum selesai. Dalam biduk rumah tangga yang masih seujung kuku, adalah orang tua yang mesti menuntun anak-anaknya membangun keluarga yang utuh.
Aduhai temaram. Ternyata gelap bisa terasa begini sedap. Terima kasih rembulan yang sinarnya hanya menyusup tanpa menembus. Terima kasih bintang yang selalu menuntun jiwa tersesat.
Malam itu, Rei rasakan hatinya begitu tenang. Satu kain batik truntum dibawa pulang. Meski belum diwarna. Pesan pula batik motif pisan bali yang baru saja digambar.
Rasa temaram terus mendekap hingga pagi dan tak mau beranjak. Ketika sore datang, mengertilah mereka, perpisahan di pelupuk mata. Peluk dan cium dihadiahkan Bude pada anak-anak yang dua hari membuat rumahnya berantakan.
Mereka tidak langsung naik kereta. Makan dulu di angkringan dekat stasiun. Suara panggilan penumpang bisa didengar di sana. Ketika itulah mereka bangkit dan hendak masuk ke peron. Ketika itu pula, Rei sadar, karcisnya hilang.
Berdua dengan Rana, Rei berlari ke bagian informasi. Ah, ternyata harus buat surat keterangan hilang dari Polisi. Di belakang stasiun ada kantor Polisi. Rei memanggil ojek, Rana menyusul di belakang. Sampai di kantor Polisi, Rei baru sadar pula, KTP-nya pun ikut hilang. Terpaksa Rana yang mengeluarkan KTP.
Suara lonceng kereta terdengar. Sebentar lagi berangkat. Rei dan Rana naik ojek lagi ke stasiun. Ben menunggu cemas dekat tempat tiket dirobek. Persis saat itu pula, saat Rei menyerahkan surat keterangan dari Polisi, petugas stasiun datang membawa karcis.
"Ini karcis Mbak, tadi ada yang menemukan terjatuh saat Mbak makan di angkringan."
Pias wajah Rei tak bisa ditutupi. Lengan Rana menarik sahabatnya yang masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Ben meletakkan barang-barang di rak kursi penumpang.
"Huff...akhirnya bisa duduk dengan tenang. Setelah diturunin bus di tengah jalan, tersasar di terminal dan karcis kereta hampir hilang. Sekarang saya mau tidur dan tidak mau diganggu." Ben ngedumel sambil menyandarkan badannya.
Satu suara menggagalkan semua angan Ben. "Maaf Mas, ini kalau lihat di karcis, kursi yang Mas duduki itu kursi saya."
Ben kembali melihat nomor kursi yang tertera di karcis. Tak ada yang keliru dengan nomornya. Hanya gerbongnya selisih 4 gerbong.