Depok,
"Ini arabica." Aksara mengambil satu bijih kopi dalam toples besar.
"Arabica punya aroma dan rasa yang khas. Rasanya agak asam. Berbeda dengan robusta. Coba kamu lihat!"
"Iya…, rasanya sedikit asam." Rei mengambil bijih kopi robusta yang Aksara berikan dan kembali menggigitnya.
"Hmm…ternyata rasanya memang berbeda. Kalau itu kopi apa?"
Aksara mengambil satu toples kopi yang aku tunjuk.
"Ini kopi Indonesia, kalau yang ini kopi dari luar. Coba lihat! Kopi Indonesia lebih ringan. Kopi dari Ethiopia ini lebih memiliki massa daripada kopi Indonesia."
Dia memberikan dua bijih kopi yang berbeda. Rei mengambilnya dan menimbang-nimbang. Benar! Entah kenapa, kopi dari Ethiopia jauh lebih padat daripada kopi Indonesia.
"Sekarang, ayo kita buat espresso. Saya akan buat robusta dan Kamu harus buat arabica. Nanti Kamu harus coba dua-duanya ya! Ayo kita mulai."
Aksara menggiling kopi dan membuat bijih kopi seperti debu berterbangan. Menekan kopi dengan cepat hingga membuat tekstur yang sempurna. Memasang alat pembuat espresso dan stop watch.
Tepat 22 detik secangkir espresso telah siap dihidangkan. Aku mencobanya, tanpa gula tentunya. Tetap terasa pahit.
Giliran Rei. Tangannya gemetar. Bijih kopi arabica itu masuk mesin penggiling. Lalu keluar dengan wujud yang berbeda. Serbuk kopi kembali mengalami penekanan. Rei yang menekannya. Sekuat tenaga. Meski tak tega dan tak yakin.
Memasang alat pembuat Espresso dan mendengar gemericik kopi yang mengalir. Di angka 18 detik, cangkir sudah penuh. Si barista kembali menggeleng. Gagal.
Rei tak bisa menekan bubuk kopi itu dengan baik. Entahlah. Kini dua cangkir espresso menanti. Satu persatu dicoba. Si barista kembali menggeleng.
"Bukan begitu caranya membedakan rasa kopi. Netralisir dulu dengan air putih, agar rasanya tak tercampur."
Seperti biasa, Rei mengikuti kata-katanya. Minum secangkir air putih. Secangkir robusta. Secangkir air putih. Secangkir arabica. Secangkir air putih.
Tapi rasa asam dari arabica ternyata tak mudah diusir dengan secangkir air putih. Bahkan dua sampai tiga cangkir air putih juga tak bisa mengenyahkannya.
"Tidak semua rasa pahit harus diusir, Rei. Lidah punya adaptasi yang baik."
"Termasuk rasa sakit yang kita hadapi?"
Aksara, si barista, mengambil segelas espresso yang baru saja dibuatnya, lalu duduk persis di hadapan Rei.
"Kopi pahit, tapi bukan berarti tidak bisa dinikmati. Ada orang-orang yang menikmati dengan tambahan gula, rasanya jadi sedikit tambah manis. Kalau ingin rasa pahitnya tidak terlalu kuat, bisa saja ditambahkan susu atau creamer. Ada yang suka bereksperimen, dicampur sirup mapple, hazelnut atau praline. Tapi banyak juga yang memilih meminum kopi secara alami saja, tanpa campuran apapun."
Mata Aksasra menerawang entah kemana. Sesekali dia membetulkan letak kacamatanya.
"Hidup mungkin juga begitu. Kita bisa memilih menjalani rasa pahit yang kita rasakan. Boleh kita resapi secara sederhana, tapi sedikit variasi dan perbedaan cara pandang mungkin bisa membuat sesuatu yang baru…mungkin hidup yang berwarna...Seperti adagium yang ada di sini: Life is Short, So Maket It Sweet!"
"Bikin kopi harus pakai filosofi juga?" Wajah muram Rei menghilang. Berganti senyum di bibirnya.
"Hmmm…tergantung, beda orang beda cara. Beda kopi, beda perlakuan. Bagaimana pun, kita harus bisa membedakan apa yang masuk ke tubuh kita, agar kita mengerti, apa yang sebenarnya hati kita rasakan."
Sepasang mata Aksara yang tertutup lensa cekung mengerjap. Mata yang selalu penuh mimpi, cita dan harapan. Mata yang tak pernah bersedih atau menyerah, meski kejutan hidup tak seindah yang diharapkan.
Lima tahun lalu, Rei masih ingat, Dara sedang patah hati. Tersesatlah tiga sahabat di kedai kopi yang tidak terlalu besar. Barista berkacamata menyambut antusias. Mengenalkan beragam bijih kopi yang tidak mudah dipahami.
"Aku hanya ingin kopi yang bisa menghilangkan patah hati." Dara Ayu tak mau tahu.
Satu toples berisi bijih kopi disodorkan si barista ke tangan Dara. Hidung Dara menjajaki wangi kopi yang membuat hatinya lega.
"Ini dia. Aromanya menghilangkan patah hati."
Bagi Rei, Dara hanya mengada-ada. Tawa renyah Rana tak bisa dibendung melihat tingkah tengil Dara dan wajah kesal Rei. Minum kopi kok bawa-bawa urusan hati.
Yang jelas, setelah pertemuan tak sengaja itu, Sanggah Aksara, si barista, menjadi bagian tak terpisahkan dari persahabatan Rei, Rana dan Dara. Aksara yang kepalanya penuh fantasi membagi mimpi-mimpinya dengan Rei.
"Kamu tahu? Sebenarnya ada banyak hal yang harus kita syukuri. Konon, kita memiliki tiga komoditas utama perdagangan dunia. Minyak, kopi dan tembakau. Minyak kita cukup berkualitas. Kopi luwak kita banyak diminati. Tembakau Deli kita juga salah satu yang terbaik. Tapi lagi-lagi kita tak pernah benar-benar menjaganya. Tembakau kita menurun. Sementara beberapa dari kita begitu memuja kopi dari luar, padahal apa yang kita miliki sangat berharga," ujar Aksara lima tahun lalu.
Aksara terdiam sejenak, seperti sedang menitipkan mimpinya di langit ke tujuh.
"Aku ingin menunjukkan pada banyak orang kalau kita memiliki kopi yang berkualitas dan nikmat. Aku ingin mereka tahu kalau kita kaya. Tidak semua hal yang berasal dari luar selalu lebih baik dari yang kita punya," lanjutnya lagi
Ya, itu memang lima tahun lalu. Ketika semua yang menggeliat di benak tampak memukau. Ketika usia muda membuat angan dan kenyataan hanya dibatasi selaput tipis. Hingga tak jelas lagi bedanya.
"Aksara, kenapa kopinya lama sekali?" Hampir putus asa Rei menunggu kopi menetes dari saringan Vietnam drip. Lima tahun sudah lewat. Dan Aksara tetap jadi peneman minum kopi terbaik.
Aksara hanya tertawa. "Hahaha...Kamu menekan serbuk kopinya terlalu kuat sih. Gak pakai perasaan."
"Kan Kamu yang bilang seperti menekan beban 7 kg."
"Iya...tapi itu kan untuk kopi yang tadi. Serbuk kopi yang ini beda. Lebih padat. Kalau Kamu tekan sekuat tenaga, ya jadi lebih padat lagi. Menetesnya lebih lama."
"Kamu kan gak bilang." Rei protes sambil berusaha memukul lengan Aksara.
Cepat Aksara mengelak. "Kan saya sudah bilang Rei, beda kopi beda cara buatnya. Kamu gak mendengar sih. Kamu lagi mikir apa sih?"
Mata Rei diarahkan ke langit-langit. Seperti memancang sebuah mimpi. "Aku baru kembali dari sebuah perjalanan."
"Hmmm...obsesimu mengenal batik dari berbagai daerah?"
"Ya, aku bertemu orang baru. Teman seperjalanan. Kami memutuskan kerja sama. Sekalian mengangkat batik daerah."
Beberapa kali Aksara mengangguk. Membenarkan kacamatanya.
"Ada banyak batik yang bagus, tidak hanya vorstenlenden."
"Vorsten....."
"Vorstenlenden....sebutan untuk Yogyakarta dan Surakarta. Pewaris tahta Mataram."
Aksara memainkan gelas kopinya. Sesekali melihat mesin pembuat kopi yang terus bekerja. Asisten Aksara ada di sana. Melayani setiap pembeli dengan lesung pipinya.
"Kamu akan meninggalkan pekerjaanmu untuk mimpimu?"
"Belum sepenuhnya...aku tetap jadi peneliti. Aku masih butuh banyak modal untuk usaha."
Sekali lagi, Aksara mengangguk. Firasatnya berkata mereka akan jarang berjumpa. Bukankah Rei sedang melambung dengan mimpinya sendiri?
"Rei, apa yang ada di benakmu saat mendengar kata var. Dewevrei?
Kening Rei berkerut. "Nama yang aneh. Apa itu?"
"Jenis kopi. Ah, jadi begini. Kopi itu ada empat macam. Arabika, Robusta, Liberica dan Excelsa. Tapi untuk jenis terakhir ini, ahli kopi beda pendapat. Terakhir Excelsa dikategorikan sebagai Liberica var. Dewevrei. Ada juga ada yang menyebutnya dengan Coffee Dewevrei."
Kalau Aksara sudah begini. Pasti ada banyak cerita yang ingin dia bagi.
"Di Indonesia ada jenis kopi ini?"
"Konon masih ada di Tanjung Jabung, Jambi. Tapi saya juga belum pernah coba."
"Lalu?"
Rei tahu, Aksara belum menumpahkan semua isi kepalanya.
"Rei, saya mendapat tawaran untuk mengelola kedai kopi baru. Kedai kopi besad. Pemilik kedai kopi membuat seleksi barista. Saya terpilih."
"Kamu mau meninggalkan kedai kopi ini? Yang susah payah Kamu bangun dari nol? Bukannya Kamu bilang Kamu bermimpi untuk..."
"Rei..." Aksara menyela. "Ini kesempatan buat saya bisa berkembang. Justru saya bisa belajar bisnis dari orang-orang profesional. Saya juga bisa dapat jaringan baru. Saya butuh lompatan untuk belajar lebih."
Mata Aksara berbinar lagi. Selalu begitu tiap kali cita meletup-letup di kepalanya.
"Ketakutan terbesar saya itu kalau lidah saya tidak bisa lagi membedakan rasa kopi. Rei, kopi adalah dunia saya. Gak bisa saya bayangkan hidup saya tanpa bergulat dengan kopi."
"Dan kedai ini?" Rei menoleh pada plang bulat bertulis Dieng Coffee.
Ada banyak kenangan di tempat ini. Bukan hanya tentang ragam kopi, seduhan teh atau racikan tangan-tangan ajaib. Tawa, duka dan cerita terjalin di sini. Dari yang tadinya sekedar ngopi di tempat yang sama, lama-lama jadi akrab dan jalan bareng. Bikin komunitas atau diskusi hal-hal absurd.
"Rei, Kamu kan bisa main ke tempat saya yang baru. Nanti Kamu datang ya. Pokoknya saya racikan kopi spesial. Bahannya pasti lebih oke dari yang di sini. Saya jamin rasanya lebih enak. Tempatnya juga lebih luas."
Kopi yang menetes di gelas Rei sudah hampir penuh. Aksara mengangkat saringan Vietnam drip dan membawanya ke dapur. Dalam diam, Rei menatap gelas kopinya yang punya dua warna. Putih susu di bagian bawah dan hitam kopi di atasnya. Kontras.
Barangkali benar kata Aksara, semua ada caranya. Ada waktunya. Kadang manusia hanya perlu menunggu dan menikmati prosesnya. Ke mana takdir akan membawa kisahnya kelak? Rei tak pandai menebak-nebak.
"Eh, jadi apa namanya kedai kopi tempatmu bekerja nanti?"
"Coffee Dewevrei."