At ALVARO'S Mansion. Berlin--Germany, USA. 01:00 AM.

Hanya memakai tank top dan rok super pendeknya, Irene berbaring di atas kasur. Selimut tebal juga sudah dia naikkan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Berkali-kali dia memejamkan mata--berusaha agar tertidur, tapi dia tidak bisa. Dia tidak bisa tidur! Oh ayolah... Irene butuh lengan Diego sebagai bantalnya! Kemana laki-laki itu?!
Irene melihat jam di dinding. Pukul satu malam. Ish! Diego kenapa belum pulang?!
Huft, it's okay. Irene berusaha untuk positif thinking kepada Diego. Mungkin lelaki itu terlalu sibuk sampai lewat tengah malam begini dia masih belum pulang. Tapi... C'mon! Apakah Diego benar-benar sesibuk itu sampai tidak menemaninya tidur? Huhu, Irene jadi merasa sedih sendiri.
Irene akhirnya mengubah posisinya. Dia tengkurap di atas kasur. Berdiam diri, sementara mata coklatnya memandang lurus ke arah depan. Aha! Tiba-tiba saja dia melihat sebuah album yang tergeletak di atas nakas. Irene jadi penasaran. Dia akhirnya meraih album itu dan tengkurap kembali, kedua matanya berbinar kala menatap cover dari album itu. Pasti ini akan menyenangkan.
Kini album foto yang berisi foto-foto Diego sejak masih bayi, kecil, hingga beranjak dewasa sudah ada di tangan Irene.
Ah, sepertinya rasa sedih Irene berganti jadi rasa penasaran ketika dia melihat album foto itu. Lebih baik dia menunggu Diego pulang sembari melihat foto-foto ini.
Oh Jesus.... seorang bayi kecil langsung menyambut Irene ketika dia membuka album itu. Apakah ini foto Diego saat bayi? Astaga! Lucu sekali!


Dengan pipi gembul dan mata birunya yang menatapnya bak anak anjing, membuat Irene tidak bisa menghentikan senyumannya. Irene jadi gemas sendiri. Ugh! Ingin sekali Irene mencubit pipi gembul itu.
Irene membukanya lagi,

Ah, mereka berdua pasti Diego dan Dilan. Mereka sedang mandi berdua. Haha, imut sekali.






Foto foto ini lucu sekali... Irene rasanya ingin tertawa. Apalagi saat dia melihat Diego ketika memakan buah semangka. Wajahnya belepotan! Haha, Irene ingin sekali meledeki Diego jika lelaki itu sudah ada disini. Pasti akan seru.
Lagi, Irene membuka lembaran-lembaran foto itu.


Potret Diego ketika remaja. Wow! cool sekali. Irene tersenyum sendiri, membayangkan jika lelaki itu pasti memliki banyak sekali kekasih di sekolahnya karena wajah tampannya itu. Dasar Diego...
"Ck! Kenapa kau belum tidur?"
Irene menoleh, ketika suara langkah kaki dan geraman Diego terdengar. Diego sudah duduk di depannya, mengangkat bahu Irene agar wanita itu ikut duduk menghadapnya.
"Diego..."
"Astaga. Kau tidak kedinginan?" tanya Diego sembari meraih jemari Irene, mengambil remote AC dan menaikkan suhunya. Diego kembali menatap Irene, tatapannya terlihat khawatir.
Satu menit. Dua menit. Awalnya Irene hanya fokus pada pertanyaan Diego, namun setelah itu Irene menelan ludah.
Diego hanya mengenakan kemeja putih tanpa dasi dan jas, dua kancing atasnya terbuka, sementara lengannya di gelung sampai siku. Namun tidak adanya warna lain malah semakin mempertegas mata biru Diego yang berpendar--sejernih kristal. Irene terpaku. Entah kenapa Diego terasa lebih menakjubkan dari terakhir yang dia ingat. Rambut hitam mengkilap, rahang yang tegas, kulit coklat keemasan yang terlihat menggiurkan di balik kemeja, di tambah otot-otot tangannya yang tampak jantan.
Oh, no.... Irene menggeleng pelan. Bergegas mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha keras agar tidak membayangkan bagaimana cara jemari itu menyentuhnya. Membuatnya terlena.
"Irene...." panggilan Diego membuat Irene kembali menoleh. Diego menatapnya bingung.
Irene berkedip--tersadar. "Sedikit." jawabnya, setelah itu Irene meringis, merasa aneh pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia melamunkan pria itu. Ck! Ini tidak benar....
"Well, kau melihat semua ini?" tanya Diego sembari mengalihkan matanya pada album yang masih di pegang oleh Irene
"Ya. Aku hanya bosan, jadi aku melihat foto-fotomu. Kau ini lama sekali!" dengus Irene. Lalu menaruh kembali album itu ke tempat semula.
Diego tersenyum, menatap Irene menyesal. "Ada urusan yang tidak bisa aku tinggalkan. Maafkan aku."
Irene mencuramkan alis, wajah cantiknya terlihat tidak suka. "Urusan apa? Kenapa malam-malam begini, Diego?" rengek Irene.
"Kau marah?" tanya Diego santai--menarik pinggang Irene, lalu mengendus lehernya.
Irene menelan ludah, mencoba tegas. "Tentu saja aku marah!" ucapnya kesal, memukul pundak Diego.
Diego menarik kepalanya, mengernyit. "Lalu aku harus bagaimana, sayang? Kau tau sendiri aku banyak sekali pekerjaan."
"Ck. Kau ini sibuk terus! Aku jadi tidak bisa memasak sup rumput laut untuk-" Irene menutup mata, menahan erangan. Lidah Diego sudah bermain di telinganya. Irene dengan segera mendorong tubuh Diego, tapi Diego menahan pinggangnya. "Diego...."
"Oke, aku paham. Maafkan aku, aku tidak akan pulang larut malam lagi."
"Baiklah...." erang Irene tertahan. "Aku lelah, Diego. Ayo kita tidur."
"Bukan seperti itu mengajak seseorang tidur, Irene." Diego mengangkat kepalanya, menempelkannya kening mereka berdua, menyeriangi. "Tapi begini."
"Diego...."
Satu tangan Diego bergerak naik--memegang kepala belakang Irene, sementara tangannya yang lain masih memeluk pinggang Irene, makin merapatkan tubuh mereka. Lalu bibir Diego mulai bergerilya--mengecupi leher Irene, mengigitnya kecil-kecil. Lalu naik ke bibir Irene, melumatnya pelan. Irene mengerang.
Diego melepaskan pagutannya, menatap Irene kini mencengkram pundaknya--tampak bergairah. Diego menyeriangi. "Kau menikmatinya, Irene?"
Irene mengerjapkan matanya, mendengus. "Tentu saja tidak!" sangkal Irene, mengalihkan pandangan--menyembunyikan pipinya yang memerah.
Diego terkekeh, jemarinya meraih dagu Irene--membuatnya menghadapnya. "Kau ini suka sekali berbohong ya?" goda Diego--sejalan dengan wajahnya yang mendekat.
Irene menghembuskan napas berat. Mengulurkan tangan, membelai untaian rambut Diego. Diego memejamkan mata. "Tidak." ucapnya, tersenyum--menatap Diego pasrah. "Tapi aku mencintaimu, Diego."
Diego membuka mata, menatap Irene lekat.
"Aku lebih mencintaimu, Bae Irene." suara Diego di penuhi emosi, terbakar karena tatapan sayu Irene. Diego mengelus lembut wajah Irene, menatapnya dengan kilat gairah--menginginkan. Penuh cinta.
Jantung Irene berpacu. Diego merangkulnya--mendekapnya hangat. Tangan Diego mulai menyelinap di punggung Irene--merabanya, melepaskan kaitan bra Irene.
Irene terkejut. "Diego!" pekik Irene. Diego mendorong tubuhnya. Irene jatuh terlentang--tubuh Diego menjulang di atasnya.
"Diego! Aku lelah!" tolak Irene.
Diego menggeram, menatap Irene tajam. "Kau bilang kau mencintaiku." ucapnya. Irene terbelalak. Jemari Diego membuka kemejanya sendiri, berlanjut ke ikat pinggangnya. "Buktikan padaku." perintah Diego dengan kilat di matanya.
Irene menelan ludah. Oh Tuhan... Irene menutup mata pasrah, membiarkan Diego melolosi bajunya. Membuatnya polos di depan Diego. Diego merendahkan kepalanya, menempelkan bibirnya di dada Irene--melumatnya pelan, lidahnya menyesap kuat. Irene mengerang--nyaris tidak bisa bernapas ketika kenikmatan menyerangnya. Peluh Diego mengucur, dia lalu bergerak turun, membuka kaki Irene--siap menyatukan tubuh mereka.
"Irene.... Kau tidak boleh melupakan aku." ucap Diego serak.
Irene mengangguk, membiarkan Diego melanjutkan siksaannya. Diego mengambil alih, mendesak ke dalam Irene. Irene menjerit--mencengkram bahu Diego, menegang ketika desakan itu datang. Diego mendorongnya menuju puncak berkali-kali. Kukunya menancap di otot keras Diego. Irene melenguh, merasakan semburan panas Diego di dalam tubuhnya.
"Kau sangat cantik," puji Diego, menatap Irene dengan sorot damba. Jantung Irene memompa keras, Diego mengubah posisinya--ingin masuk lebih dalam. "Kau memang pantas untuk menjadi istriku, istriku yang sempurna." desak Diego serak, seakan belum merasakan klimaksnya.
Irene menitikkan air mata. Menahan sakit sekaligus senang karena ucapan Diego. Irene bergetar hebat, Diego mendesak--kuat dan cepat. Irene tersentak keras--merasakan puncaknya lagi. Kali ini Diego menyusulnya, gemetar hebat--dekapannya mengencang.
"Diego..." Irene kehabisan tenaga, tidak berdaya--kembali jatuh dalam kuasa Diego.
•••
Keesokan harinya....
Diego turun dari ranjang--berdiri membelakangi Irene, merapikan kemejanya, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Irene, tapi dia tidak bergerak sama sekali. Irene masih tertidur.
Diego mencium kening Irene, lama. Kemudian dia langsung pergi, hendak menuju ke ruang bawah tanah ketika suara dering telponnya menghentikannya.
Sebelum mengangkatnya, Diego melihat layar ponselnya. Nomor tidak di kenali. Tapi Diego tetap mengangkatnya.
"Salam, Mr. Alvaro." suara seorang pria menyambut telinga Diego. Diego mencuramkan alis--merasa kenal dengan pemilik suara itu.
Diego tersenyum sinis. Matanya menerawang ke depan, sementara tangannya mengepal. "Ada apa menelponku sepagi ini, Raka Mikhailova?"
Kekehan Raka terdengar, membuat Diego muak. Lalu suaranya mendadak hening. Diego berdecak, merasa waktunya terbuang. "Sepuluh detik. Waktuku tidak banyak."
"Baiklah.... kalau begitu aku langsung saja." ucap Raka, menyeriangi di tempatnya. "Nanti sore temui aku. Aku ingin kita bicara berdua. Empat mata." ucap Raka. "Di tempat biasa, billiar yang kita mainkan dulu."
Diego menyentuh dagunya, menimbang-nimbang. Diego akhirnya setuju.
Bermain dengan teman lama? Sepertinya menyenangkan....
To be continued.
BERLANJUT KE CHAPTER SELANJUTNYA : CHAPTER 45 : You Are (NOT) My Friend
EH EH EH! INA PENGEN TAU, APA YANG KALIAN RASAKAN KETIKA TAU AUTHOR DI CERITA INI MASIH ANAK SMA? KAGET? GAK PERCAYA? WKWKWK🤣JAWABYAA, AKU TUNGGU KOMENNYA💕
Oh iya gais:'v gue lg sakit. Panas, hidung mampet, pala pusing. Jadi klo updatenya kelamaan maapin Ina ya🙏🏻
Oke dehh, terimakasih sudah baca!♥️
JANGAN LUPA LIKE, VOTE, DAN KOMEN YA!
Go follow Instagram mereka untuk info update dan spoiler :
@nainaarc
@diego.alvaro01
@bae.irene01
See you soon!
Sayang kalian...
With love, Ina.