Chereads / Diego & Irene / Chapter 47 - Chapter 47 : Shooting Practice

Chapter 47 - Chapter 47 : Shooting Practice

Sebuah mobil sport berwarna biru metalik memasuki pekarangan mansion Alvaro, para bodyguard berpakaian hitam dengan kacamata hitam langsung berbaris menyambut mobil itu. Seorang lelaki muncul, Diego begitu tampan dan sexy hanya dengan kemeja putihnya. Christian juga ada disana, dia yang membukakan pintu mobil untuk Diego.

Tiba-tiba dari arah dalam mansion Irene tengah berjalan kemari. "Diego, akhirnya kau-" Irene menghentikan kalimatnya dan menelan ludah. Oh Shit! Kenapa lelaki ini sangat tampan?! Otot-otot perutnya tercetak jelas di balik kemejanya, belum lagi dengan dada Diego yang begitu lebar.

"Kenapa? Terpesona melihatku?" Diego terkekeh geli.

Irene refleks mengedipkan matanya. Mendengus. "Tentu saja tidak!" katanya, langsung pergi darisana sebelum Diego benar-benar melihat pipinya yang memerah.

"Kau ini suka sekali mengelak." komentar Diego, dia sudah berjalan di belakang Irene untuk menyusul gadis itu.

"Memangnya kenapa?" sahut Irene cepat, enggan melihat wajah Diego. Wanita itu berjalan menuju kamarnya.

Diego terkekeh lagi, tidak berniat menjawab. Beberapa pelayan wanita yang Diego lalui langsung terpesona ketika ia terkekeh, tawanya mengalihkan dunia.

Diego dan Irene memasuki kamar mereka. Diego menaikkan alisnya melihat Irene yang menutup pintu dengan erat. Wanita itu duduk di atas sofa tanpa mengalihkan matanya dari Diego. Diego menatap Irene heran.

Irene yang melihat mata biru Diego yang terasa mengimitasi dirinya bergidik. "Tatapanmu seolah-olah mengatakan jika aku ini pencuri." oceh Irene.

Diego tertawa guyon. "No... Katakan saja, aku akan mendengarkanmu."

Irene tersenyum, merasa senang dengan Diego yang mengerti dirinya. Dia memang ingin mengatakan hal yang penting padanya.

"Apa kau tau siapa yang menculikku?" tanya Irene.

"Kenneth Samuel." jawab Diego cepat.

Irene terdiam beberapa saat, lalu mengangguk.

"Apa kau tau alasan dia melakukan itu?" tanya Irene lagi.

Diego yang masih berdiri kini mengambil tempat duduk di samping Irene. "Tidak begitu jelas. Karena dia sudah mati aku tidak bisa menanyakan hal itu untukmu. Maaf,"

Irene tersenyum, mengulurkan tangannya. "Tidak apa..." ucap Irene pelan sembari membelai rambut Diego yang berantakan. Irene meringis kecil, sekelibat banyangan mengerikan melintas di mata Irene--teringat akan kekejaman Diego saat membunuh Kenneth. "Kau hanya perlu menjawab semua yang kau tahu." kata Irene lagi, tangannya turun membelai rahang Diego yang terdapat bulu-bulu kecil.

Diego memejamkan matanya, merasakan kehalusan di kulit wanita itu. Dia menangkap tangan Irene dan mengecupnya. "Baiklah..."

"Kenneth sudah lama menargetkan keluargamu, termasuk Ayahmu." ucap Diego.

Irene tersenyum miris. Keinginannya untuk menangis begitu besar kala mengingat kematian ayahnya. Tapi Irene harus kuat.

"Kau juga termasuk, jadi kau di culik olehnya. Hanya itu yang aku tahu." ucap Diego.

Irene tidak yakin dia bisa menahan air matanya saat menyadari jika Kenneth yang merupakan ayah dari Alva telah menghancurkan keluarganya, membunuh ayahnya... menculiknya... Rasanya sangat sakit, tapi dia juga harus bersyukur. Karena kehadirannya disini telah mempertemukan dia dengan sosok Diego Alvaro. Lelaki yang di cintai Irene dengan sepenuh hati. Irene menemukan cintanya disini, di negara yang sangat jauh dari rumahnya.

"Irene...." suara Diego yang serak membuat Irene merinding. Irene meliriknya, menatap mata Diego yang menyala-nyala. "Jangan pernah menangis di hadapanku. Karena itu akan jadi hari terakhir untuk orang yang menyakitimu."

Irene menghapus air matanya, kembali menatap Diego lewat matanya yang berkaca-kaca. "Kau tidak boleh membunuh lagi, Diego."

Mata Diego memicing. "Aku bukan orang baik yang dengan mudahnya memaafkan mereka. Ingat itu!" geram Diego.

"Diego...." Irene ingin berkata, tapi di detik selanjutnya dia terkejut. Diego menariknya ke pangkuan. Tangan Diego membelai sekujur tubuhnya. "Meskipun kau berarti, kau tetap tidak boleh melarangku." bisik Diego.

Irene mendongak. "Aku baru menyadari jika kau semenakutkan ini, Diego." bisik Irene polos, jarinya membelai bibir bawah Diego. "Kau tahu? Mengambil nyawa seseorang bukanlah hak kita. Hanya Tuhan yang punya hak itu."

"Aku tahu," mulut Diego melengkung masam. "Tapi jika aku bisa melakukannya, pasti ku lakukan." Diego memiringkan kepala, kemudian melumat bibir Irene. "Aku punya kuasa, dan membunuh mereka adalah hal yang mudah."

"Tapi itu berlebihan." tukas Irene cepat--tersenggal. Tangan Diego menahan tengkuknya, menahannya untuk tetap diam--sementara lidahnya menjilat dengan kuat dan menggoda. Irene meremang, tangan Diego yang lain juga ikut bermain--mencubit puting bukit kembarnya yang membusung indah. Irene menggeliat. Ini bukan hanya sentuhan, tapi seperti bercinta. "Diego...."

"Tidak ada yang berlebihan. Ini caraku mencintaimu. Melindungi kalian." Irene berusaha menahan diri, tapi kalimat Diego berikutnya malah membuatnya menahan napas. "Aku sangat mencintaimu dan anak-anak kita. Selama aku hidup, aku tidak akan melepaskanmu. Aku rela menyerahkan apapun yang kumiliki demi dirimu. Aku bahkan rela membunuh demi dirimu."

Pelukan Diego mengencang.

"Seperti langit yang memilki senja, aku akan selalu menjadi milikmu." bisik Diego lagi, kali ini sambil mengecup bibir Irene.

Tanpa di sadari Irene, wanita itu menitikkan air matanya. Tidak sanggup menerima cinta Diego yang berlimpah. Irene menangkup wajah Diego. "Aku percaya. Aku tahu." ucap Irene, tersenyum sekalipun air matanya sudah jatuh di pipinya. "Aku juga mencintaimu... sangat." bisik Irene lalu membalas pelukan Diego.

Selesai memeluk Diego, dengan perasaan yang menggebu-gebu, Irene mencium bibir penuh milik Diego yang telah lama menjadi candunya. Begitu merah dan seksi.

"Kau hebat." erang Diego tertahan. Irene menciumnya dengan lihai. Well, sepertinya wanita ini sudah berubah. "Bagus, seperti itu." Diego tersenyum senang ketika Irene memiringkan kepalanya--memperdalam ciuman mereka. Diego kini menekan bibir Irene, melumatnya dengan gairah yang meliputi seluruh tubuhnya. Irene melenguh, kini Diegolah yang mendominasi ciuman mereka.

"Diegoohh...." Irene mendesah di sela-sela ciumannya. Tangannya yang semula berada di atas dadanya, kini terangkat dan meraih kemeja Diego--meremasnya dengan kuat.

Tanpa melepaskan ciumannya, Diego mengusap rambut Irene yang tergerai, sementara satu tangannya yang lain kemudian turun untuk menyentuh dada Irene.

Diego menangkup dadanya--meremasnya sambil terus memperdalam ciuman mereka. Menggerakkan lidahnya dengan liar menyusuri setiap rongga mulut Irene hingga bagian terdalam.

Diego menghentikan aktifitasnya sejenak ketika oksigen Irene semakin menipis, namun tangannya masih aktif meremas bukit kembar Irene, hingga desahan itu lolos dari mulutnya.

"Aku tau kau bermaksud lain, Diego." Irene menatap Diego sayu, yang di balas senyum smirk dari Diego.

"Kau memang mengenalku, Irene..." Diego melepaskan tangannya dari dada Irene, lalu turun ke bawah menuju pangkal pahanya yang di tutupi gaun tipis miliknya. Diego kemudian menggesekkan tangannya di bagian sensitif milik Irene.

"Ahh, jangan lakukan sekarang..." dengan suara yang terengah lemas, Irene merasakan tubuhnya di dorong Diego hingga terbaring di atas sofa. Lalu, Diego turun ke bawah dan menyibak gaunnya.

"Tidak bisa." ucap Diego serak, mata birunya sudah berkilat menginginkan. "Bukan aku yang memulainya. Tapi kau." Irene menelan ludah, Diego tampak menjulang di atasnya--menatapnya bak santapan lezat. "Jadi jangan salahkan aku."

Diego tersenyum puas saat Irene tidak menolak, bahkan wanita itu sudah mendesah karena sentuhannya. Oh God! Ini gila. Irene nyaris kehilangan akalnya begitu Diego menarik celana dalamnya dan mendekatkan kepalanya di antara kedua pahanya--bibir basah milik Diego mengecup intinya.

"Disini begitu rapat." gumam Diego di bawah sana. Astaga... lelaki itu berbicara tepat di depan intinya, membuat Irene menggeliat. Napas Diego terasa hangat disana.

Diego menaikkan kepalanya dan mensejajarkan wajah mereka. Menatap wajah Irene yang cantik. "Biarkan aku masuk." bisik Diego serak.

Irene mengigit bibir bawahnya, kemudian mengangguk. Dia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Diego sudah berhasil masuk, bergerak dalam-dalam dengan kelembutan posesif yang mengguncang jiwa. Peluh Diego mengucur, seiring dengan gerakan yang berubah cepat dan keras. Irene mengejang, merasakan getaran nikmat yang Diego berikan. Diego selalu berhasil menguasainya--tapi Irene sangat rela.

•••

Keesokan harinya.

"Kau sudah siap?" tanya Diego pada Irene begitu membuka pintu kamar.

Diego tersenyum, berjalan menghampiri Irene yang sedang berkaca--tampak kesulitan menarik resleting baju di bagian punggungnya.

"Sini ku bantu." Diego berdiri di belakang Irene dan meraih resleting itu, kemudian menatap punggung Irene yang putih dan harum. Mata Diego berkilat.

Indah sekali! Batin Diego.

"Terimaka-" Irene tidak melanjutkan kata-katanya. Irene menahan napas, jemari Diego menyentuh kulitnya--menari-nari disana, meninggalkan jejak panas.

"Hentikan! Cepatlah, Diego... Kau jangan menggodaku!" teriak Irene kesal. Diego menyeriangi, bukannya menurunkan resleting itu Diego malah makin agresif menyentuh Irene.

Irene menatap wajah Diego lewat pantulan cermin. Sialan. Lelaki ini malah menyeringai sambil terus menggerakkan jemarinya disana.

"Jika kau tidak hentikan aku berjanji besok kau akan tamat di tanganku." ancam Irene, balas menatap Diego dari cermin dengan tajam.

Diego terkekeh, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memutuskan kontak matanya dari Irene dan fokus kepada baju Irene, lelaki itu menarik resleting baju milik wanita itu.

Akhirnya resleting itu terpasang dengan benar, tapi Diego tidak kunjung beranjak. Dia menyelipkan tangannya di punggung Irene, lalu memeluk tubuhnya. Jemari Diego mengelus tepat di perut Irene. Irene tidak memprotes, hanya menahan senyum dan bersandar di tubuh Diego sembari bermanja-manja.

"Semakin hari kau ini makin galak ya?" bisik Diego dengan nada menggoda. Irene membuka mata, menatap Diego lewat pantulan, tersenyum manis.

"Kau yang membuatku seperti ini. Kadang-kadang kau ini menyebalkan. Seperti tadi, ada seorang setan cabul yang berani mengelus punggungku. Padahal aku sudah bilang 'hentikan', menyebalkan bukan?" sindir Irene. Dia menahan tawa, tapi begitu mata mereka bertemu di cermin--Irene berusaha memasang tampang wajah sepolos mungkin.

Diego berdehem, lalu memilih membuang muka. "Dia hanya tergoda dengan dirimu. Suruh siapa kau pamer tubuhmu itu padaku?"

Irene menganga, berbalik dalam pelukan Diego dan mendongak menatapnya bingung. "Wait... kau mengatakan aku sedang pamer? Oh Jesus... Kau ini benar-benar!" rutuk Irene kesal lalu melepaskan pelukan Diego, berjalan keluar dari kamar.

"Irene!" teriak Diego keras, tapi Irene mengabaikannya dengan terus berjalan, hingga akhirnya wanita itu menghilang di belokan.

Diego menatap kepergian Irene. Meringis kecil sembari menggeleng pelan. "Dasar wanita... cepat sekali marahnya. Terlalu bawa perasaan." gumam Diego tak percaya.

Setelah itu, Diego bergerak menyusul Irene ke lapangan in door--tempat dimana para bodyguardnya latihan menembak.

Irene baru sampai ketika Lucas dan Hans meletakkan pistol mereka di atas meja perak.

"Nona? Kenapa nona kemari?" sahut Lucas yang kini menatap wanita kesayangan tuannya itu.

Hans menoleh, ikut menatap Irene dengan tatapan heran. Untuk apa wanita hamil datang ke tempat ini? Bagaimana jika tuan muda tahu dan memarahinya? Astaga...

"Aku ingin latihan menembak. Bolehkan?" tanya Irene antusias, matanya berbinar-binar kala melihat senjata mematikan berwarna hitam itu.

Lucas dan Hans mengedipkan matanya berkali-kali, tidak percaya dengan kalimat yang di lontarkan wanita itu. Mereka saling melempar pandangan, lalu menggeleng. A-apa? Latihan menembak?

"Tapi nona, jika tuan muda tau-"

"Aku sudah minta izin padanya. Dan dia mengizinkanku. Jangan khawatir." potong Irene cepat.

"Oke... for the first. Apa yang harus ku lakukan?" tanya Irene dengan nada senang yang keluar begitu saja, wanita itu tidak henti-hentinya menampilkan senyumnya.

"Astaga... Nona bersemangat sekali." gumam Lucas tak percaya. Baru kali ini dia melihat seorang wanita yang berani seperti ini.

Karena tidak mendapat jawaban, Irene memilih untuk langsung berjalan menghampiri mereka, lalu mengambil sebuah senjata setelah menyuruh Lucas dan Hans untuk menyingkir dari depannya. Hell, kenapa mereka menghalanginya sih?

Kini pistol jenis TrackingPoint sudah berada di tangan Irene, senjata yang terkenal akan teknologi khusus yang membuat penembak hampir tidak mungkin luput dari sasaran. Di dalamnya sudah di sematkan teknologi precision-guided yang mampu mengkalkulasikan kemungkinan gagal atau tidaknya sebuah tembakan yang di lepaskan ke arah target. Pistol itu juga di pakai oleh Lucas saat latihan tadi.

Irene menatap body dari pistol yang ada di tangannya, dia begitu semangat. Biasanya seseorang yang baru pertama kali menyentuh pistol akan bergetar ketakutan, namun Irene berbeda. Wanita itu malah mengelus-elus pistol itu sambil berdecak kagum.

"Hans... sepertinya nona kita bukan wanita sungguhan." gumam Lucas tak percaya, dia tidak melepaskan matanya sedikitpun dari Irene--mengawasi pergerakannya.

"Kau benar." balas Hans, menatap Irene yang kini tengah memposisikan dirinya sejajar dengan sasaran.

Irene mengangkatnya pistol itu, meskipun terasa berat. Dia mengambil jarak sekitar lima meter dari sasaran tembak.

"Kalian! Tolong ajari aku cara memegangnya dengan benar. Kemari!" perintah Irene.

"Ck! Aku tidak menyuruh kalian untuk memelukku!" gerutu Irene kesal begitu merasakan sepasang tangan yang memeluk pinggangnya, dengan cepat dia menyingkirkan tangan itu dari tubuhnya. Lalu, tanpa mengalihkan matanya dari pistolnya itu, Irene mencoba untuk memegang pistol itu dengan hati-hati.

Irene perlahan mengangkatnya, tangannya yang satu menahan bagian bawah moncong pistol dan tangannya yang lain ia letakkan di bagian tarik peluru. Dia menyelipkan satu jarinya di bagian pelatuk pistol.

"Bukan seperti itu caranya memegang pistol, sayang." suara Diego terdengar dekat di telinga Irene bersamaan dengan sepasang tangan yang memeluk pinggangnya. Irene sontak terkejut, dia melirik Diego.

"Kau... sejak kapan kau disini?" tanya Irene kaku.

"Saat kau melemparkan tanganku tadi." jawab Diego cepat.

Irene tertawa kecil. "Jadi tadi itu kau? Kenapa tidak bilang?" tanyanya lagi, dia membiarkan Diego memeluk tubuhnya.

"Aku hanya ingin melihat apa yang akan di lakukan wanitaku ketika dia di peluk lelaki lain selain diriku. Dan kau menolaknya mentah-mentah. Bagus sekali." Diego tersenyum puas.

Irene yang mendengar itu memutar bola matanya. "Yeah, begitulah." gumamnya, menatap tangan Diego yang kini ikut berada di atas tangannya. "Kalau aku tidak menolak kau pasti sudah melenyapkan orang itu. Geez! Aku tidak suka melihat darah." ringis Irene pelan, tangan Diego kini tengah memindahkan posisi tangannya.

Diego tersenyum. "Kau memang mengenalku." gumam Diego, terselip rasa senang di dalam suaranya. Irene bisa merasakan itu.

"Sebelum menggunakan pistol, kau harus gunakan alat pengaman dulu." ucap Diego lagi, tiba-tiba saja lelaki itu memasangkan sebuah headphone ke telinga Irene dan kacamata pelindung untuk Irene.

"Caranya seperti ini," dengan cermat Irene mendengarkan kata-kata Diego--meskipun suaranya sedikit mengecil karena headphone yang ia gunakan. Irene memperhatikan gerakan tangan Diego yang membenarkan genggamannya. "Sejajarkan bagian depan dan belakang pistolmu, lalu buka dengan lebar tangan kananmu antara jari telunjuk dan ibu jarimu. Masukkan jarimu ke handel pistol ke antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kananmu. Dengan ibu jarimu pada satu sisi dari pegangan, jagalah jari tengah, jari manis dan kelingkingmu menggenggam secara aman di sekeliling sisi lainnya tepat di bawah pengaman pelatuk."

Irene mengangguk. "Setelah itu?"

"Tekukkan tangan kirimu untuk menampung tangan menembakmu ke dalamnya. Seperti ini..." Irene mengangguk lagi, merasakan tangan Diego yang memperkuat genggaman pistolnya. "Sejajarkan kedua ibu jarimu untuk mendukung dan akurasi."

"Kau juga harus tahu posisi berdirimu." titah Diego, Irene mengangguk lagi. "Kedua kakimu harus selebar bahumu. Condong sedikit ke depan dengan lututmu ditekuk, pastikan kau seimbang dengan benar."

"Arahkan posisi pistolmu ke sasaran." ucap Diego, dia memikul tangan Irene ke arah sasaran. "Saat hendak menembak, fokuskan matamu ke pembidik depan. Jangan tekan pelatuknya dengan tiba-tiba, tapi tekan perlahan. Saat kau membuang napas langsung tembakkan pelurumu, ingat itu."

Irene mengangguk lagi. "Aku akan mengingatnya."

Diego tersenyum. Lalu melepaskan pegangannya, mengambil jarak untuk membiarkan Irene menghadapi pistolnya. "Kita lihat bagaimana kau akan menembak." lalu setelah itu...

DORR!

Tembakan Irene mengenai sasaran. Sontak Irene langsung berteriak senang dan melompat-lompat. Persis seperti anak kecil ketika memenangkan perlombaan.

"YEAYY! AKU KENA!" masih melompat-lompat, Irene berteriak heboh.

"Hentikan! Kau bisa jatuh!" Diego menatap Irene tidak suka, lantas lelaki itu langsung menangkap tubuh Irene--membuat gadis itu terdiam di pelukannya.

"Diego...."

"Ck, Irene! Kalau kau sampai jatuh bagaimana?!" Diego berkata kesal.

Irene mendongak di pelukan Diego. Mata coklat keemasannya berbinar--seolah membujuk Diego. "Jangan marah, Diego. Lain kali aku akan hati-hati."

"Janji?" Diego masih menatap Irene tajam.

"Janji." ucap Irene, tersenyum lalu bergerak memeluk Diego. Diego kian melembut, melihat sekarang saja lelaki ini tengah mengecup kening Irene dengan lama.

To be continued.