Mobil sport berwarna biru metalik itu baru saja memasuki pekarangan mansion. Diego Alvaro muncul darisana.
"Tuan..." sapa Christian dan Lucas bersamaan, namun Diego tidak membalas. Hanya melirik sekilas dan berlalu begitu saja--masuk ke dalam dan langsung ke lantai atas menuju kamarnya. Christian dan Lucas merasa cemas, bukan karena sapaan mereka yang tidak di balas melainkan raut wajah Diego seperti ingin membunuh orang. Rahang tegas yang menegang itu sangat mengerikan dengan kilatan biru di mata Diego. Sangat tajam mengalahkan belati.
Diego sendiri kini berjalan tergesa. Kini kepalanya di penuhi oleh wanita itu, Bae Irene.
Pria itu berdiri di tempatnya, memandangi seorang wanita yang tampak cantik meski tengah membelakanginya. Diego menatap Irene memuja. Tapi dia langsung terkejut ketika ponsel yang di gunakan Irene tiba-tiba saja jatuh.
Krak!
"Irene...." gumam Diego yang tengah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu sudah memperhatikannya sejak telpon itu di angkat. "Sweetheart? Are you okay?" suara Diego terdengar lembut ketika lelaki itu mendekat. Diego meraih tubuh Irene yang hampir jatuh.
"Diego... Aku takut," ucap Irene dengan wajah ingin menangis.
Takut? Diego mengernyitkan keningnya.
Diego tiba-tiba saja merasa tidak enak. Seperti ada yang mengganjal di hatinya mendengar lirihan dan wajah Irene. Dia tidak tenang.
"Dia... dia mengancamku, Diego..." kali ini bulir air mata Irene benar-benar jatuh.
Hanya sedikit, tapi cukup membuat rahang Diego menegang. Oh God! Dia tidak suka ini. Diego lebih suka melihat Irene marah daripada melihat raut wajah sedihnya seperti ini. Wait... tadi Irene mengatakan 'mengancam?'. Sialan. Siapa yang berani cari masalah dengan wanitanya?!
"Don't cry, baby. I'm here. Don't worry...," bisik Diego pelan, lalu menarik Irene ke pelukan. Mengecup keningnya. "Sekarang katakan... siapa yang mengancammu?"
"Dia seorang pria. Aku bertemu dengannya di rumah sakit saat Lucas di rawat ketika aku mencari antingku yang hilang. Lalu aku bertemu dengannya lagi di supermarket. Dia mengajakku makan siang dan aku menolaknya. Aku pun pergi darisana. Tapi.... saat di jalan..." Irene menjeda ucapannya. Terbatuk. Jemari Irene mengusap air matanya yang jatuh. Irene hanya diam--membiarkan Irene menumpahkan semua emosinya.
"Ada pencuri yang mau mencelakaiku, Diego. Aku sangat ketakutan. Aku berharap kau datang menolongku tapi kau sama sekali tidak datang..." sekali lagi Irene menjeda ucapannya--menghapus air mata, tak kuasa melanjutkan. "Pria itu justru yang menyelamatkanku. Tapi... Dia.. dia malah..." isakan Irene makin menjadi.
Diego menelan ludahnya berkali-kali.
"Dia mengancam akan membawaku pergi darimu, Diego! Dia menyukaiku! Aku sudah menolaknya dan berjanji tidak akan pernah bertemu dengannya lagi... Tapi.... Dia baru saja mengirimkan pesan dan menelpon padaku.... Dia mengancamku, Diego! Dia benar-benar melakukannya!"
"Aku takut dia akan mengambilku darimu, Diego! Tidak... itu tidak boleh terjadi...." Irene menggeleng, menutup mata--tangisnya makin keras.
Irene terus menangis, membuat kilatan marah di mata biru Diego makin terlihat. Damn! Diego tau pria itu. Raka Mikhailova! Memangnya siapa lagi kalau bukan dia?!
"Irene...."
Irene baru membuka matanya ketika tiba-tiba saja tubuhnya sudah di atas ranjang dan Diego berada di atasnya. Sontak, hal itu membuat Irene terkejut. Mata Irene yang awalnya memerah dan berair kini malah terbuka lebar melihat kilat di mata biru Diego. Gairah dan amarah terpancar di kilatan itu. Lengan kokoh Diego sudah mengurungnya di kanan dan kiri.
Air mata Irene kembali jatuh. Bukan karena sedih atau takut akan ancaman Raka, tapi karena melihat sosok Diego yang berbeda. Tubuhnya yang keras dan dingin menjulang. Mengerikan sekaligus mengagumkan. Irene terlalu takut menghadapi Diego yang seperti ini.
Irene hanya bisa tersenyum, membiarkan air matanya mengalir. Diego menatapnya dalam-dalam. Ada sorot tajam sekaligus memuja yang bisa Irene lihat. Lelaki itu seakan mengatakan sesuatu lewat tatapannya.
Tangan Irene lantas bergerak naik, jemari lentiknya menyentuh lengan Diego, menjelajahi tiap ototnya yang terpahat sempurna sembari menggumamkan dalam hati betapa dia mencintainya. Diego membalas perbuatan Irene itu dengan mendekatkan wajah mereka sebelum mengecup kelopak mata Irene yang masih di banjiri air mata dengan bibirnya.
Mata Irene terpejam. Merasakan sensasi panas napas Diego di permukaan kulitnya. Diego terus menciumnya dengan lembut, bahkan kelewat lembut hingga terkesan hati-hati, seolah Irene adalah hal yang sangat rapuh. Awalnya di kelopak mata kanan, setelah itu ke kelopak mata. Naik ke kening... turun ke hidung... sebelum bibir Diego benar-benar mendarat di bibirnya.
Irene reflek menautkan kedua tangannya di punggung Diego. Bibir Diego terasa hangat ketika menyatu dengan bibirnya. Diego begitu lembut... lelaki itu mengusap kepalanya sembari menikmati ciuman ini, sentuhan Diego di perutnya membuat Irene merasa disayangi. Irene merasa dia sangat dicintai. Tuhan... semua ini membuat Irene kembali ingin menangis. Perlakuan hangat Diego membuatnya sejenak melupakan masalahnya. Diego sama sekali tidak membiarkan dia merasa menderita hanya karena ancaman itu. Mendadak Irene tidak bisa berpikir, apalagi ketika Diego tidak membiarkan sama sekali ada bagian dari bibir Irene yang terlewat. Diego mencium setiap sudut bibirnya, bahkan menautkan kedua lidah mereka hingga membuat Irene mengerang.
Namun sentuhan dan ciuman Diego mendadak hilang. Irene merasa kehilangan. Diego tiba-tiba saja berhenti. Sekarang laki-laki ini tengah menatapnya.
"Dia tidak akan pernah bisa mengambilmu dariku. Ingat itu," bisik Diego sembari menatap Irene serius. "Kau tenang saja, Irene. Lelaki yang mencintaimu ini bukanlah lelaki biasa. Aku ini berbahaya," Diego mengepalkan tangannya erat. Bayangan akan darah sudah memenuhi kepalanya. "Orang itu pasti mati. Aku berjanji padamu." ucap Diego.
Diego melepaskan pelukannya, bergerak mundur--turun dari ranjang, lalu melangkah menjauhinya. Lelaki itu bahkan sudah berjalan ke arah pintu--hendak keluar. Meninggalkan Irene dengan kebingungan yang menguasai.
"A-apa? Mati?" Irene menatap Diego nanar.
Akhirnya setelah itu Diego benar-benar pergi.
•••
Sementara itu....
"Kak... Kau habis darimana? Kenapa wajahmu memar?"
Itu pertanyaan Mi Lover. Wanita yang baru saja berganti wajah itu menatap Raka yang baru saja masuk ke kamarnya. Raka hanya tersenyum membalasnya, dia lalu mendekati Mi Lover yang tengah berbaring di atas ranjang dan duduk di sebelahnya.
"Biasa. Urusan laki-laki." ucap Raka, tersenyum.
Mi Lover ikut tersenyum ketika Raka mengelus rambutnya dengan sayang. "Sampai berkelahi seperti ini? Kak... Aku tidak mau kau kenapa-napa."
"Tenang saja, sayang. Kau hanya perlu memikirkan dirimu sendiri. Tentang balas dendammu... Kau benar-benar mau melakukannya?"
Mi Lover tersenyum sinis sembari mengepalkan satu tangannya yang bebas. Dia langsung teringat dengan Diego dan wanita sialan itu.
"Tentu saja, Kak. Rencanaku pasti berhasil. Apalagi kali ini akan lebih mudah karena wajahku sudah berubah. Mereka tidak akan mengenaliku. Terutama Irene."
"Oh My God! Kau ini benar-benar luar biasa." seru Raka takjub. Raka sudah tau rencana yang dibuat oleh adiknya, yang tentu saja dia ikut andil dalam rencana ini.
Raka tidak percaya jika Mi Lover akan melakukan sesuatu yang nekat. Apalagi sampai berurusan dengan pria yang terkenal kekejamannya di dunia bisnis dan dunia hitam. Hitam? Dunia hitam berarti dunia yang penuh kelicikan dan persaingan. Dimana yang lemah akan mati dan yang kuat akan bertahan hidup. Tapi untuk ukuran adiknya yang masih terbaring lemah di atas kasur yang empuk ini... apakah bisa?
•••
Di ruang penyimpanan alat senjata.
Diego Alvaro terlihat sedang memasuki ruangan itu. Ada Lucas, Christian, dan Hans yang setia berjalan di belakangnya. Mereka bertiga sudah berpakaian serba hitam, memakai kaca mata hitam dan sebuah earpiece yang terselip di telinga. Sejenis alat komunikasi rahasia. Eits! Jangan lupa! Mereka juga sudah mengenakan baju anti peluru di tubuh mereka. Tidak terlalu mencolok untuk dicurigai, tampilan mereka malah lebih terlihat kasual. Orang-orang yang melihat mereka tidak akan menduga bahwa mereka sedang mengamati, mengintai, dan mengincar musuh-musuh mereka.
Diego mendekati sebuah lemari besi raksasa yang berada di sudut kiri ruangan. Dia lalu membukanya.
Begitu di buka mereka semua bisa melihat apa saja ada di dalam lemari itu. Berbagai jenis pistol tersedia, bubuk racun, alat pembuat kabut, hingga isi peluru yang ujungnya sangat tajam. Bagaikan saja jika peluru mengerikan itu sampai tertembak di kepalamu. Dan disaat itulah... Kau akan tamat.
"Tuan, Rika Mikhailova baru saja sampai di rumahnya." lapor Christian.
"Pancing dia ke tempat kita." perintah Diego sembari mengambil salah satu senjata dari beberapa yang sudah disimpan olehnya selama bertahun-tahun.
Lucas mengangkat suara. "Baik, Sir. Akan saya lakukan. "
"Tapi kalian tidak boleh lupa kata-kataku," Diego menjeda ucapannya sembari mencium ujung pistolnya. "Dia akan mati, tapi hanya ketika di tanganku, bukan kalian. Karena itu kalian tidak boleh membantuku menghadapi Raka. Hanya aku yang akan menghukumnya sendiri, jangan keroyokan."
"Baik, Sir..." jawab Lucas.
"Jangan sampai ada terlewat. Habisi semua yang menghalangi kalian." ucap Diego.
To be continued.