Diego menyalakan mesin mobil Bugatti Chiron biru miliknya. Senjata yang dia beli secara resmi di Israel juga sudah ada di dalam saku celananya; pistol revolver. Menggertakkan gigi, Diego menginjak pedal keras-keras, mengemudi dengan gila--nyaris celaka, sampai kecepatan mobilnya melebih batas maksimal; tapi dia tidak peduli. Diego melaju dengan kecepatan 464 kilometer per jam--nyaris melewati batas kecepatan mobil paling cepat itu sendiri.
Semua mobil yang menghalangi jalannya di klakson dengan keras--marah, dia menikung mobil-mobil sialan itu sembari membanting stir--tidak peduli jika mobilnya ini terguling sekalipun. Yang Diego pedulikan hanyalah Irene-nya.
"LUCAS!" Diego tanpa basa-basi langsung membentak Lucas ketika earpiece di telinganya sudah terhubung dengan Lucas.
"Jaga Irene dengan baik! Atau aku tidak akan pernah mengampunimu!" perintah Diego tegas, lalu mematikan sambungan.
"Kenapa kau suka sekali bermain-main denganku, Irene?!" gumam Diego tak percaya.
Sementara itu...
Degup jantung Irene berpacu melihat dua kubu pria saling menodongkan pistol. Di depannya, ada Lucas yang sedang berdiri tegap melindunginya. Lalu di belakangnya, ada ratusan pria berbaju hitam berlogo ALVARO juga ikut menodongkan pistol mereka ke arah Sean dan anak buahnya yang hanya berjumlah puluhan.
Irene bisa merasakan jika di saat-saat seperti ini Lucas perlu menggenggam tangannya untuk melindunginya, tapi Lucas sama sekali tidak menyentuhnya. Lucas hanya berbisik kepadanya sembari menatap ke depan dengan pandangan tajam.
"Nona, Irene. Tetap di belakangku, jangan bergerak." Lucas berkata dengan masih menodongkan pistolnya ke depan.
Irene mengangguk. "Aku mengerti." katanya dengan nada gemetar. "Tapi.... Apa Diego akan kemari?"
Lucas melirik Irene lewat kacamata hitamnya. "Sebentar lagi tuan akan datang, nona." ucap Lucas yang membuat Irene menghembuskan napas.
Sean yang berusaha untuk berdiri, tampak kesusahan. Tapi dia langsung di bantu oleh seorang wanita yang memakai gaun seksi berwarna merah. Irene yang melihat itu sontak terkejut.
"Marry? Kau kah itu?" tanya Irene yang membuat wanita itu menoleh ke arahnya.
Marry merangkul Sean yang mulai melemah karena luka tembakan Irene. Marry menangis sambil menatap Irene. "Dasar wanita jahat! Kenapa kau menembaknya?!" Marry kembali menatap Sean, namun Sean tidak melepaskan matanya dari Irene.
"Aku... aku melakukannya demi menjaga diri. Maafkan aku." ucap Irene sembari mengigit jarinya, menatap wajah Marry yang memerah karena marah.
Marry tiba-tiba membaringkan Sean di atas aspal, dia lalu mengeluarkan pistol di balik gaunnya dan menodongkan pistolnya ke arah Irene.
"Aku akan membunuhmu! Kau akan mati!" teriak Marry
DORR!
Semua orang terkejut, ternyata tembakan lain menyusul. Marry panik, dia belum sempat menembak tapi dia yang justru tertembak. Marry langsung jatuh, dia meringis kesakitan sembari menyentuh kaki kanannya yang berdarah. Sialan! Siapa yang berani menembaknya dari belakang?!
"Di-diego Alvaro?" Marry melihat ke arah belakang dan membulatkan matanya. Menelan ludahnya kasar, matanya menangkap sosok pria yang dia kenali sebagai orang yang paling berkuasa. Dia... dia adalah Diego. Ternyata dia?!
"Diego..." gumam Irene tak percaya, dia menutup mulutnya.
"Siapapun yang mencelakai milikku akan aku siapkan peti mati." ucap Diego rendah, mengancam. Matanya menghunus tajam ke arah Marry yang tepat berada di bawah kakinya.
Irene menyembunyikan wajahnya di balik punggung Lucas--tidak sanggup melihat Diego yang terlihat seperti iblis, lelaki itu terlalu menakutkan untuk di tatap.
Karena marah, Diego dengan kejam menginjak kaki Marry yang terluka dengan sepatu kerasnya. Marry langsung berteriak kesakitan.
Melihat Diego yang kemari, seluruh anak buah Diego makin mengerahkan tenaganya untuk mengawas. Anak buah Sean dan Diego, mereka semua makin mengeratkan genggaman pistol mereka.
"Tolong.... Maafkan saya, tuan..." ringis Marry sembari menyentuh kaki Diego yang menginjaknya, menarik kaki itu dari tubuhnya.
Diego semakin marah, dia makin menguatkan injakkannya pada kaki Marry. Marry tidak berhenti berteriak dan menangis, dia semakin nelangsa.
Irene yang tidak tega melihat Marry yang di siksa oleh Diego langsung memanggil lelaki itu.
"Diego!" panggil Irene.
Diego mengalihkan matanya. Melihat Irene yang menyembulkan kepalanya di balik punggung Lucas sambil menatapnya. Tersenyum, Diego langsung pergi mendekati Irene.
Marry yang terlepas dari siksaan Diego bernapas lega. Tapi, karena dia sangat licik, wanita itu meraih kembali pistolnya yang sempat terjatuh.
"Kau baik-baik saja? Apa kau terluka?" tanya Diego sembari menangkup wajah Irene, matanya menatap tubuh Irene dari atas ke bawah. Irene menggeleng. Diego tersenyum lega lalu mencium kening Irene dengan lembut.
Sementara disana, Sean yang makin melemah sudah tak sadarkan diri. Lalu Marry, dia diam-diam mengarahkan pistolnya ke punggung Diego yang membelakanginya.
"TAMATLAH RIWAYATMU!" teriak Marry, dan pistol itu terlepas.... menembak sasaran.
Karena aksi Marry yang mendadak itu, semua anak buah Diego yang masih menodongkan pistolnya ke arah masing-masing lawan langsung bergerak menghentikan peluru itu. Terkejut.
PRANG!
"Lucas?!" Irene berteriak dengan wajah shock, dia melihat Lucas yang tiba-tiba memasang badannya tepat di depan punggung Diego--menghalangi peluru.
Lucas tertembak, tapi dia tidak terluka. Peluru itu justru memantul dan berbalik arah setelah menyentuh dadanya.
Marry melotot. Wajahnya tampak pucat, menyadari tembakannya itu malah membuat nyawanya benar-benar dalam bahaya. Karena setelah itu... Lucas langsung melangkah ke arahnya, tatapannya seram dan menakutkan. Lucas benar-benar terlihat ingin membunuh orang.
"Lucas memakai baju besi. Kau tenang saja." bisik Diego, berusaha menenangkan Irene. Irene sampai menahan napas karena terkejut.
"Lucas. Bereskan mereka!" perintah Diego, dan Lucas langsung mengangguk.
Seketika itu.... tembakan peluru tak terhindarkan. Asap buatan langsung memenuhi kedua kubu itu--berkabut, yang membuat orang lain atau warga tidak bisa melihat apa yang terjadi di balik kabut tebal itu. Irene tersentak, tiba-tiba Diego menggendongnya dan membawanya keluar menembus kabut itu.
Anak buah Sean langsung panik, mereka menembak tanpa arah, pandangan mereka hanya ada warna putih. Namun Lucas dan anak buah Diego yang memakai kacamata khusus dapat melihat dengan jelas tanpa gangguan dari kabut itu, yang ternyata kabut itu tak lain adalah bagian dari rencana mereka. Hebat sekali.
Dan dalam hitungan detik, Sean dan anak buahnya berhasil di ringkus. Tapi ternyata Marry berhasil kabur. Wanita itu menyeret tubuhnya--tidak bisa berdiri, masuk ke dalam mobil dan menyalakannya tergesa.
Diego yang menyadari itu menggeram. Dia pun langsung menurunkan Irene dan mengeluarkan pistolnya. Mengarahkan pistol itu arah mobil yang di kendarai Marry yang sedang melaju dan menembaknya tepat ke arah ban mobil. Sontak, hal itu mengakibatkan mobil Marry langsung oleng dan terguling. Beberapa detik kemudian, mobil itu meledak--menimbulkan suara yang sangat keras.
Irene langsung menutup telinganya, terkejut.
"MARRY!" teriak Irene, bayangan api yang amat besar tampak di bola matanya. Irene menatap api yang membakar mobil Marry.
"Dia sudah mati." gumam Diego. Lalu tersenyum puas.
Irene menatap nanar ke arah Diego. Hatinya berkecamuk. Pembunuh berdarah dingin ini ternyata adalah orang yang sangat dia cintai.
Setelah itu, Diego menyuruh Irene untuk masuk ke dalam mobilnya. Saat Diego baru membuka pintu mobilnya, dia di kejutkan dengan suara seseorang yang memanggilnya dari belakang, ternyata salah satu anak buahnya.
"TUAN! LUCAS TERKENA RACUN!"
Diego melotot. Terkejut. Dengan cepat, Diego langsung berlari ke arah orang itu. Irene yang ikut mendengarkannya langsung shock, ikut berlari mengikuti Diego.
Lucas terbaring di atas aspal. Beberapa orang mengelilingi tubuhnya.
"Lucas! Ada apa denganmu?! Bangun! Ku bilang bangun!" teriak Diego panik, dia meletakkan kepala Lucas di atas pahanya.
"Lucas..." lirih Irene gemetar.
"Maaf, tuan. Sepertinya Lucas di suntik oleh Marry dengan racun ular. Kaki hingga pahanya sudah membiru." ucap Hans, anak buah Diego.
Diego mencengkram kerah Hans. Semua orang terkejut.
"KALAU KAU TAU DIA TERKENA RACUN KENAPA KAU BANYAK BICARA?! CEPAT BAWA DIA KE RUMAH SAKIT!" teriak Diego marah.
"Baik, baik... segera ku lakukan, tuan muda." ucap Hans dan langsung menelpon ambulance.
Diego yang mendengar percakapan Hans pada sambungan telpon semakin marah. "Bilang pada dokter yang bodoh itu! Mereka semua akan berhenti dari kedokteran jika nyawa Lucas tidak selamat!"
Sementara di tempat lain, semua dokter yang mendengar ancaman itu langsung bergerak kocar-kacir menyiapakan semua peralatan dengan keringat dingin.
Bibir Diego berkali-kali menggumamkan nama Lucas. Matanya menatap Lucas dengan frustasi. Kemejanya di gelung sampai siku, sementara dasi dan jasnya sudah hilang entah kemana--Diego tampak berantakan.
Melihat itu, membuat Irene tersentuh. Dalam hatinya dia percaya. Jika Diego bukan hanya melindungi orang yang berarti dalam hidupnya, tapi dia juga memikul tanggung jawab yang besar pada orang-orang yang berjasa dalam hidupnya. Diego.... saat ini, kepanikannya seperti ayah yang sedang kehilangan anak lelakinya.
Satu jam kemudian....
At Immanuel Hospital (Wannesee site). Berlin - Germany | 12:00 AM. (Tengah malam)
"Apa dia bisa selamat?" tanya Christian pada salah satu dokter wanita dari sembilan dokter yang lainnya. Tinggal Dokter ini saja yang masih berada di ruang rawat Lucas. Christian sudah ada di rumah sakit sejak Lucas dan rombongan tiba, dia yang menyiapkan semuanya.
"Keadaannya akan membaik tiga minggu ke depan. Racun dari ular itu sudah kami keluarkan sepenuhnya, tinggal menunggu perkembangan dari organ dalam yang sudah kami perbaiki." ucap Dokter itu, namanya Ruby. Usia 24 tahun, masih muda dan tinggi semampai.
Ruby melihat ke depan, lalu matanya stuck ke arah Diego. Lelaki itu terlihat tampan meski tengah membelakanginya. Tanpa sadar, Ruby tersenyum sendiri sembari menatap Diego. Tapi senyumannya itu langsung pudar ketika melihat Irene yang memeluk Diego dari samping.
Hal itu tentu saja tidak luput dari penglihatan Christian. Ck! Yang benar saja... Apakah dokter itu menyukai tuannya? Jika benar, maka siap-siap saja dia akan langsung di depak oleh nona Irene. Memikirkan itu, membuat Christian terkekeh sendiri.
"Diego... Lucas akan baik-baik saja. Kau jangan khawatir." ucap Irene sembari mengusap lengan Diego. Diego hanya mengangguk, matanya menatap Lucas yang terbaring dengan alat bantuan pernapasan yang menempel di hidungnya.
"See? Dia bahkan tampak damai ketika tidur seperti ini. Ada dokter yang akan selalu menjaganya. Ayo kita pulang..."
Tersenyum tipis, Diego menurut. Dia mengikuti Irene yang berjalan di depannya sembari menganggandeng tangannya.
"Irene...." panggil Diego yang membuat Irene berhenti. "Sekarang jelaskan!" ucap Diego, nadanya terdengar menuntut.
Irene mengangkat alis, kebingungan. "Kau mau aku jelaskan apa?"
Diego tiba-tiba meraih pinggang Irene, menarik tubuh ramping itu mendekatinya. Diego mengunci pergerakan Irene dengan memeluknya erat, membuat hidung mereka saling bersentuhan. Jantung Irene memompa keras, jarak yang begitu dekat ini membuatnya gugup.
"Katakan semua yang kau sembunyikan dariku. Terutama rencanamu dengan Lucas. Jelaskan padaku atau besok pagi kau sama sekali tidak bisa berjalan lagi!"
Irene menelan ludah. Oh Tuhan....
To be continued.