Irene POV
Aku sama sekali tidak menyangka.
Jika kepura-puraanku berhasil menipu mereka. Diego, Christian, Dilan. Mereka seakan sudah percaya....
Setelah berpura-pura menjadi orang yang paling jahat, setelah berpura-pura menjadi orang yang paling egois, setelah berpura-pura menjadi orang yang paling tidak berterima kasih di dunia ini... ternyata sudah cukup membuat mereka semua percaya, jika aku memang akan pergi darinya. Dari Diego.
Diego Alvaro.... Aku sangat mencintaimu. Sangat...
Saat pertama kali aku melihat surat yang berisi ancaman itu... aku merasakan nyawa Diego saat itu dalam bahaya. Ya, waktu itu aku baru saja keluar dari ruang rawat, dari kejauhan aku melihat Diego dan Dilan berbicara serius, mereka membahas tentang isi surat itu. Aku bisa merasakan jika ada seseorang yang ingin mencelakai Diego. Hatiku langsung cemas, sesuatu dalam diriku berontak ingin melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya. Hidup Diego sama saja seperti hidupku.
Dan saat aku dengan berani mengikuti Diego dengan masuk ke ruang bawah tanah itu... Aku sempat melihat benda-benda yang sangat canggih. Aku berniat mendapatkan benda-benda itu, salah satunya sebuah jam tangan analog yang bisa merekam video, namanya Video Camera Analog Watch.

Lalu ketika aku keluar dari ruang bawah tanah, tepatnya ketika aku berlari keluar sambil menangis tiba-tiba saja seseorang yang sedang merekam sudah berada di ujung atas tangga. Aku terkejut, sama seperti orang itu. Dia seorang pria yang berpakaian pelayan. Aku berfikir... jika dia hanya seorang pelayan kenapa dia bisa berada di dalam sini? Apa dia tahu kode rahasia itu? Melihat dia disini sambil merekam tempat rahasi ini, dia lebih mirip seperti seorang mata-mata yang sedang mencuri informasi ketimbang pelayan biasa. Saat aku berpapasan dengannya aku tidak memasang wajah curigaku. Aku hanya diam, seakan cuek dan tidak mau tahu kenapa dia bisa berada disini. Dan ternyata benar... dia tampaknya percaya jika aku tidak curiga dengannya karena aku membiarkan dia pergi.
Lalu saat itulah aku memulai rencanaku.
Saat Lucas keluar lebih dulu dari ruang bawah tanah sebelum Diego, aku sempat memintanya mengambilkan benda-benda canggih yang aku perlukan. Lucas langsung pergi dan tidak menyaksikan pertengkaran kami, padahal jika dia melihatnya pasti dia akan sangat takjub dengan aktingku. Ya, pertengkaran hebat antara aku dan Diego beberapa saat lalu di depan pintu rahasia bawah tanah itu... hanyalah aktingku belaka. Semua yang aku katakan padanya adalah akting--dialog yang aku buat-buat.
Awalnya... Aku hanya kecewa pada Diego--tidak sampai berkeinginan untuk pergi darinya, tidak sama sekali! Tapi... ketika aku melihat pelayan yang menyamar itu ada disini--merekam pertengkaran kami, aku harus memulai rencanaku. Membuat pelayan yang menyamar itu mengira jika aku sedang bertengkar dan pergi dari mansion Diego. Padahal aku sama sekali tidak ingin pergi meninggalkan Diego, karena aku mencintainya. Karena aktingku itu aku berhasil membuat Diego melepasku, Diego membiarkan aku pergi dari segala pengawasannya padaku, dengan itu... kemungkinan aku akan bertemu orang yang mengincar Diego akan terjadi. Well, mungkin predikat sebagai aktris terbaik akan di berikan oleh Guinness World Records padaku. Haha, bagaimana tidak? Dengan membuat mereka semua percaya jika aku akan pergi meninggalkan Diego hanya karena alasan dia telah membunuh orang yang sudah membuat hidupku hancur. Bukankah kalian yang mendengarnya akan langsung membenciku? Aku membuat diriku sebagai seorang yang egois dan tidak tahu berterima kasih di mata mereka. Padahal yang sebenarnya adalah... aku hanya ingin mencari tahu siapa penjahat yang mengincar nyawa Diego.
Tujuan dari rencanaku adalah menyelamatkan Diego dari incaran musuh-musuhnya, terutama dari orang yang meneror Diego menggunakan surat ancaman itu. Aku sangat tahu jika mereka--musuh-musuh Diego sebenarnya mengincar diriku, mereka menganggap aku adalah kelemahan terbesar bagi Diego. Kalau benar... maka kelemahan ini akan menjadi kekuatan untuk Diego! Karena aku sudah keluar dari mansion Diego--yang merupakan hasil dari kepura-puraanku untuk meninggalkannya, mereka pasti akan langsung menangkapku. Dengan begitu... jam tangan yang bisa merekam video ini akan langsung terhubung dengan laptop Diego ketika musuh Diego sudah berada di depanku.
Perlindungan diri? Tenang saja, aku punya alat untuk menjaga diriku sendiri. Aku juga tidak sendirian menjalankan rencana ini.
Dan sekarang... Disinilah aku, berjalan santai di tengah-tengah jalan. Kota Berlin ternyata memang kota yang padat. Baru jam sepuluh malam masih saja banyak orang yang berkeliaran atau nongkrong di kafe. Ah, anak muda itu... Aku iri sekali. Meskipun sekarang aku sedang berbadan tiga tapi umurku masih sangat muda. Mereka menikmati masa muda mereka dengan bersenang-senang, kumpul bersama teman, makan bersama, pacaran... Aish! Sedangkan aku? Aku malah sedang menunggu untuk di mangsa oleh serigala.
Well, dimana orang-orang yang mengincarku? Lama sekali mereka datangnya....
Tapi, mengingat perbuatan Dilan tadi.... aku jadi menebak-nebak. Dia pasti tidak hanya sekedar menabrakku. Akupun meraba seluruh tubuhku. Aku tersenyum. Ternyata benar, Dilan menempelkan benda ini di punggung ku. Aku yakin pasti ini perintah dari Diego. Diego tidak mungkin membiarkan orang yang di cintainya berkeliaran di luar sana tanpa pengawasannya, aku mengenalnya. Aku mengambil alat pelacak itu, dan menaruhnya kembali di punggung ku. Biarlah dia tau dimana keberadaanku, dengan itu rencanaku akan lebih mudah.
Oh God! Ternyata sekarang aku sedang di ikuti. Ya, ada lima buah mobil hitam sedang melaju pelan di belakangku. Akhirnya mereka datang! Sudah ku duga... mereka akan menangkapku begitu aku keluar dari rumah Diego. Jebakanku berhasil!
Author POV
Langkah yang semula tenang, kini berubah cepat. Irene, gadis yang memiliki bakat akting itu mempercepat langkahnya.
Irene berlari cepat sembari mengangkat satu tangan dan menyentuh telinganya, memencet tombol untuk mengaktifkan earpiece yang memiliki warna yang sama dengan rambutnya--membuatnya tersamarkan, untuk terhubung dengan seseorang. "Bagus sekali. Mereka sudah datang, Lucas." ucap Irene pada Lucas.
Lucas duduk di kursi kemudi. Dia memperhatikan Irene dari kejauhan lewat kacamata Spy Sunglasses berwarna hitam, yang memiliki lensa kamera dengan resolusi 1,3 megapixels dan juga remote control kecil. Fungsinya, untuk menangkap gambar wajah seseorang yang menjadi target.
Lucas yang mendengar laporan Irene lewat earpiece di telinganya langsung menyalakan mobilnya, lalu pergi mendekati posisi Irene.
Sementara itu...
Irene menghentikan langkahnya ketika melihat lima buah mobil yang semula mengejarnya tiba-tiba mencegatnya dari depan, Irene sontak terkejut. Lima buah mobil itu berhenti satu meter dari tempatnya berdiri.
Irene menyeringai kecil ketika melihat orang-orang itu keluar dari mobilnya. Pakaian mereka sama, serba hitam. Begitu keluar, mereka menatap Irene bagai musuh. Deg! Irene tak bisa memungkiri detak jantungnya sudah sangat menggila. Melihat mereka yang berjumlah puluhan membuat Irene menelan ludahnya. Irene mengamati mereka satu-persatu dengan tatapan awas, sampai akhirnya matanya berhenti pada seorang pria berbaju putih yang baru saja keluar dari mobilnya.
Irene mengernyit. Pria itu berbeda dari yang lain. Apa jangan-jangan... dia adalah orangnya?
"Kenapa kalian menghalangi jalanku?!" teriak Irene dengan wajah kesal. Matanya memandang tajam ke arah pria berbaju putih itu.
Pria yang di kenali dengan nama Sean Astra Leonnel itu menarik sudut bibirnya ke atas. "Ternyata kau masih galak seperti dulu, Irene." katanya, sambil menjilati bibir bawahnya.
Irene yang melihat itu seketika jijik. Tapi dia langsung bingung. Wait... Kenapa pria itu mengetahui namanya?
"Darimana kau tahu namaku, hah?!" tanya Irene, ngegas.
Sean tertawa. "Menyedihkan sekali... Kau ternyata melupakan aku." katanya, lalu berjalan satu langkah mendekati Irene.
"Aku tidak kenal kau! Minggir! Jangan halangi aku!" ucap Irene kesal, lalu mengambil ancang-ancang untuk berlari.
Namun, baru saja Irene melangkah, lengannya tiba-tiba di cekal oleh Sean. Irene melirik Sean sinis.
"Apa kau melupakan pria yang dulu hampir memperkosamu di klub malam itu?" bisik Sean tepat di telinga Irene.
Irene yang mendengarnya langsung merinding, mendadak teringat akan sosok Sean. "Kau... Sean si penjahat kelamin itu?! Kau! Enyah dari hadapanku!" marah Irene sembari menghempaskan tangan Sean yang mencekalnya.
Irene mundur beberapa langkah lalu mengeluarkan lipstik merah dari balik jaketnya dan memoleskan lipstik itu di bibirnya sambil menyeringai, Sean dan anak buahnya yang melihat itu kebingungan.
"Kenapa? Aneh melihatku?" tanya Irene dengan nada mengejek, lalu setelah itu tanpa di duga-duga Irene langsung mengarahkan lipstik itu ke arah Sean.
Sean melotot. Menyadari lipstik itu bukan lipstik biasa, melainkan pistol.
Belum sempat Sean menghindar, Irene sudah lebih dulu menembakkan pistol lipstik itu tepat ke arah dadanya. Sean langsung ambruk, dia memegangi dada kirinya yang mengeluarkan darah.
"SIALAN KAU JALANG!" maki Sean dengan mata memerah. Melihat penembakan itu, semua anak buah Sean langsung mengangkat pistolnya dan mengarahkannya pada Irene.
Napas Irene memburu, dia ketakutan. Sontak dia langsung mengaktifkan jam tangannya dan mulai merekam peristiwa tersebut--berharap Diego menyalakan laptopnya dan melihat rekaman ini.
"Bawa wanita itu! Jika melawan tembak saja kakinya!" perintah Sean pada anak buahnya dengan nafas terengah-engah, menahan sakit.
Mereka menurut dan mencoba mendekati Irene, dan berhasil. Kini kedua tangan Irene di sudah tahan oleh mereka. Irene terkejut, tiba-tiba saja mereka merebut pistol lipstik miliknya dan melemparnya jauh.
"Lepaskan!" teriak Irene histeris, air matanya langsung jatuh.
Irene merasakan bahwa waktu berjalan begitu cepat. Dia melihat ke sekeliling, mencari sosok Lucas. Harapan Irene pada lelaki itu sangat besar, dan ternyata....
Irene tersenyum. Sepertinya keadaan berbanding terbalik. Ini akan segera berakhir. Karena setelah itu puluhan mobil hitam berplat nomor A L V A R O sudah berjejer di depan mereka. Puluhan orang keluar darisana--ralat. Ratusan. Mereka memakai seragam hitam dengan kacamata berwarna senada--memegang pistol--menghadang Sean dan anak buahnya.
"Lepaskan nona kami. Atau peluru ini akan menembus kepala Anda."
Orang-orang yang mencekal kedua tangan Irene langsung membatu. Lucas ternyata sudah menodongkan pistol di pelipis orang itu. Tatapan Lucas sangat dingin dan menyeramkan.
Irene merasa lega ketika pria yang mencekalnya melepaskannya. Pria itu mengangkat tangannya ke atas.
Sean yang masih terbaring di aspal langsung terkejut. Rasa takut sempat menghampirinya--tapi tak berlangsung lama, karena setelah itu semua anak buahnya juga menodongkan pistolnya ke arah Lucas.
Melihat perlawanan dipihak Sean, sontak kedua kelompok yang berjumlah sangat banyak itu saling menodongkan pistol. Hal itu juga tak luput dari perhatian orang-orang yang berlalu lalang di jalan itu--bahkan ada beberapa warga yang teriak ketakutan. Anak buah Lucas dan Anak buah Sean--mereka saling beradu pandang sengit seraya menodongkan pistol mereka.
Suara hening penuh ketegangan dan suara jantung yang berdebar keras menjadi alunan musik di telinga mereka.
Sementara di itu di tempat lain....
Pria bermata biru safir itu berdiri di depan jendela besar di tengah kacaunya ruangan, punggung tangannya berdarah. Lampu di matikan, hanya sinar dari rembulan yang menyinari dirinya dan ruangan gelap di belakangnya. Kertas-kertas yang berisi catatan penting berserakan di lantai, pecahan kaca, meja hingga beberapa kursi sudah hancur tak terbentuk. Ruangan Diego benar-benar seperti ketimpa pesawat raksasa.
"Meskipun aku tau dimana kau berada... rasanya sama saja. Aku tetap tidak bisa bertemu denganmu." gumam Diego di antara sinar bulan, bibirnya bergetar. "Aku sangat mencintaimu, tapi kau membenciku." Diego tersenyum miris, mengepalkan tangan. Tubuhnya yang ramping dan keras terasa lemah, tanpa Irene.
"Maaf, tuan." ucap Christian yang baru saja masuk ke dalam ruangannya.
Christian berdiri di belakang Diego dan menundukkan kepalanya. Mata Diego menerawang ke luar, memandangi kota Berlin yang berkelip dari ketinggian. Deru napas berat terdengar. "Ada apa?"
"Lucas dan anak buahnya sedang melakukan misi, tuan. Dia memintaku untuk mengatakan jika tuan harus membuka laptop milik tuan sekarang juga." ucap Christian, makin menundukkan kepalanya--ketakutan.
"Misi?" Diego membalikkan tubuhnya, memandang Christian dengan bingung. "Aku tidak memerintahkan dia untuk melaksanakan misi malam ini. Jadi dia melanggar perintahku?"
Christian menggeleng. "Bukan, tuan. Misi yang di berikan tuan tidak akan pernah di langgar olehnya. Ini misi yang berbeda, tuan."
"Tanpa sepengetahuanku? Berani sekali...." geram Diego, lalu dengan cepat Diego langsung meraih laptonya dan menyalakannya tak sabaran.
Diego di kejutkan dengan sebuah tulisan di depan layar itu. Sebuah perangkat asing tiba-tiba sudah terhubung dengan laptopnya, dan yang melakukanya adalah.... Irene?
"IRENE?!" teriak Diego dengan mata membulat, sorotannya terlihat khawatir. Dia melihat rekaman siaran langsung di laptopnya. Ada Irene dan Lucas di tengah jalan dan di kepung banyak orang, juga ada seseorang yang tengah berbaring di aspal-- memegangi dadanya yang berdarah. Wait.... ratusan anak buahnya juga ada disana?!
"KURANG HAJAR! IDIOT! BRENGSEK! BABI!" gerutu Diego kesal.
"Christian!" panggil Diego yang membuat Christian hampir terjungkal saking kagetnya.
"I-iya tuan?"
"Siapkan mobil dan senjata milikku!" perintah Diego yang langsung di angguki oleh Christian.
Dalam hati Diego bersumpah, dia akan melenyapkan orang yang berani menyentuh Irene-nya.
To be continued.