Chereads / Diego & Irene / Chapter 40 - Chapter 40 : The Wolves

Chapter 40 - Chapter 40 : The Wolves

SELAMAT MEMBACA!

SEMOGA SUKA!💕

•••

Diego masih diam di tempatnya, enggan beranjak. Matanya masih setia memandangi punggung Irene yang menjauh, sampai gadis itu menghilang dari pandangannya. Diego mengepalkan tangan. Sialan. Kenapa keadaan menjadi seperti ini?

Diego merasakan dadanya sesak. Dia kelelahan. Rasa penat, marah, kecewa, sakit--dia rasakan di waktu yang bersamaan. Kepalan di tangannya makin erat, ralat--kelewat erat. Buku jarinya sampai memutih. Binar di mata birunya berkilat tajam. Diego benar-benar emosi.

"Christian, kau temui dia. Bicara padanya; buat dia tetap disini. Hentikan keputusannya itu." perintah Diego pada Christian. Christian mengangguk dan menundukkan kepalanya, menghindari tatapan Diego yang benar-benar menakutkan.

Diego berbalik, hendak pergi ke balkon ketika Dilan tiba-tiba saja lewat di depan matanya. "Dilan, tunggu dulu." pinta Diego yang membuat Dilan menghentikan langkahnya.

"Kenapa?" tanya Dilan.

"Tempelkan ini di punggung Irene, cepat." perintah Diego--kelewat dingin. Dilan bergidik, langsung mengambil benda kecil itu dari tangan Diego.

"Baiklah. Sepertinya kali ini aku akan berjasa bagimu untuk membantu masalah rumah tangga kalian." oceh Dilan, dia terkekeh, berbanding terbalik dengan Diego yang menatapnya tajam.

Diego menghembuskan napas kasar, menahan umpatan. Diego kemudian berjalan menuju balkon--mengabaikan Dilan, atau emosinya benar-benar meledak.

•••



"Nona Irene." Irene baru sampai di ujung bawah tangga--sudah siap dengan masker dan jaket hitam musim dinginnya--hendak pergi ketika Christian memanggil dari pintu utama mansion. Sapaan Christian menghentikan langkah Irene. Irene langsung menoleh, menghadap Christian, menghapus air matanya. "Apa? Jika kau ingin menghentikan aku itu percuma saja, Christian." ucap Irene ketus lalu berbalik lagi, hendak pergi.

Christian menunduk hormat. "Apa keputusan anda benar-benar sudah di pikirkan dengan baik, nona?" ucapan Christian berhasil membuat Irene kembali berhenti.

Irene mengernyit, menghadap Christian. "Jika hanya itu yang kau tanyakan maka jawaban ku adalah ya. Aku tidak main-main dengan ucapanku." ucap Irene.

"Tunggu dulu, nona," tahan Christian cepat. Lagi. Irene berhenti. Menarik napas tajam, Irene menatap Christian jengah. "Ada apa?!" tanya Irene kesal.

Christian menunduk lagi. "Tuan Diego memerintahkan saya untuk tidak membolehkan anda pergi dari mansion, nona."

Irene melenguh. "Hentikan! Katakan padanya aku tidak akan mengubah keputusanku!"

"Tapi ini perintah Tuan Diego, nona." katanya. "Saya sangat mohon nona bisa berpikir dengan matang tentang keputusan yang nona ambil. Saya khawatir Tuan Diego akan sangat marah." ucap Christian lagi, masih menunduk. Irene menghelas napas, mendadak tidak tahan berlama-lama disini.

"Dan dia akan membunuh seseorang lagi?" tanya Irene, melirik Christian sinis.

Christian menggeleng, tersenyum tipis.

"Lalu?" desak Irene.

Christian berdehem. "Tuan Diego bukan orang yang suka membunuh, nona. Kemarahan beliau memiliki pengampunannya sendiri." jeda Christian, masih menunduk. "Tapi, saya belum pernah melihat Tuan Diego melakukan semua hal yang bisa membahayakan nyawanya sendiri untuk anda yang baru dia kenali dalam beberapa hari. Beliau seperti menemukan seseorang yang berharga dalam hidupnya." ucap Christian. Irene mengangguk, mendadak ingin tahu.

"Tuan Diego tidak seperti dulu lagi. Saya melihat banyak perubahan dalam dirinya. Beliau jadi mudah untuk di ajak bicara dan sesekali tertawa, dia juga sangat terbuka kepada saya. Tidak seperti dulu, Tuan Diego susah di dekati, misterius--sangat tertutup." ucap Christian sembari tersenyum kecil. "Keadaan mental beliau membaik saat nona masuk ke dalam kehidupannya. Tapi yang tetap saya yakini--beliau sangat mencintai anda, nona. Termasuk bayi yang ada di dalam kandungan anda"

"Sepertinya untuk itu kau salah, Chris." ucap Irene, tersenyum miris.

Christian menggeleng. "Saya sendiri melihat perubahan emosinya beberapa minggu ini. Ketika anda mengatakan akan menggugurkan kandungan anda Tuan Diego langsung bertekuk lutut di bawah kaki nona--hal yang sebelumnya mustahil untuk dia lakukan. Beliau tidak pernah memohon kepada siapapun sampai merendahkan dirinya seperti itu, nona."

Irene mengernyit heran. "Tunggu! Chris? Bagaimana kau bisa tau tentang hal ini?"

Christian menunduk lagi, tersenyum tipis. "Seperti yang saya katakan, nona. Tuan yang menceritakannya sendiri. Beliau begitu terbuka kepada saya semenjak anda hadir dalam hidupnya."

"Sudahlah, Chris! Aku bosan mendengar kalimatmu yang terus memuji-muji tuanmu itu." ucap Irene jengah, lalu bergegas pergi dengan tergesa. Hendak menuju pintu namun suara Christian terdengar lagi.

"Maaf nona, jika alasan anda untuk pergi karena anda tidak menyukai sikap tuan Diego yang membalas para penjahat itu dengan hukuman mati maka keputusan anda benar-benar salah, nona."

Langkah Irene sontak terhenti--mematung di tempatnya berdiri. Suara Christian yang terdengar jelas membuat Irene fokus pada ucapan Christian berikutnya.

"Jika sekarang anda baru memutuskan untuk pergi, kenapa anda tidak melakukannya dari dulu? Bukankah nona pernah melihat Tuan Diego membunuh Tuan Jackson di depan mata anda sendiri? Kenapa dulu anda tidak pergi dan meminta tinggal?"

Mendengar itu, membuat Irene mengingat bayangan kelam dalam hidupnya. Ini menyakitkan. Sangat. Tangan Irene berkeringat, jantungnya berdetak tak karuan. Peluh juga langsung membasahi keningnya. Wajahnya berubah pucat, bibirnya mengering, tubuhnya menggigil. Kaki Irene bahkan mendadak lemas, seakan beban terberat langsung menimpa di pundaknya. Peristiwa mengerikan itu... benar-benar membuatnya trauma.

Irene langsung berbalik, matanya memerah menahan tangis. Mengepalkan tangan, Irene menatap Christian dengan tajam. "Tanyakan saja pada tuanmu yang jahat itu!" teriak Irene, air matanya langsung jatuh. Irene menarik rambutnya frustasi. "Dulu aku memang pernah melihatnya membunuh seseorang. Dia membunuh orang yang paling aku benci di dunia ini. Dia membunuh orang yang tidak akan pernah ku maafkan di dunia ini. Tapi aku tidak merasakan hal yang sama, aku justru sangat senang Diego membunuh Jackson. Tapi kali ini berbeda, dia membunuh orang yang sudah aku maafkan kesalahannya. Dia membunuh wanita yang pernah berarti dalam hidupnya." jeda Irene sembari menghapus air matanya kasar, dia benar-benar emosi.

"Jika dia tega membunuh Mi Lover yang menjadi teman kecil dan cinta pertamanya, lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana?! Dia bisa membunuh wanita yang mengisi hatinya selama puluhan tahun, sedangkan aku? Aku hanya orang baru dalam hidupnya. Jika aku melakukan kesalahan apa dia akan membunuh ku juga? Apa dia akan tega membunuhku sama seperti Mi Lover, Chris?"

Christian mengangkat kepalanya, menatap Irene walau dia sangat takut. Dia menggeleng cepat sembari bergerak satu langkah mendekati Irene. "Tidak seperti itu, nona... Anda benar-benar berbe-"

Ucapan Christian terhenti karena Irene sudah lebih dulu berlari meninggalkannya tepat sebelum dia selesai bicara. Wanita itu berjalan dengan cepat, nyaris berlari. Punggungnya terlihat naik turun. Christian yakin jika Irene sedang menangis. Untuk yang pertama kali, tugasnya gagal. Dia memang tidak bisa berbuat apa-apa jika kondisi sudah begitu rumit. Mau bagaimana lagi? Untuk membujuk seorang wanita hamil benar-benar hal yang paling sulit dia lakukan. Terlalu mengandalkan perasaan. Wanita memang seperti itu.

Irene langsung menghilang di belokan pintu.

•••

"Akh!" Irene meringis, memegangi lengannya yang tertabrak oleh sesuatu yang keras. Irene langsung melihat ke belakang. Aish! Ternyata Dilan.

Logat bahasa Indonesia Irene keluar. "Kau ini jalan pakai mata gak sih?!" Irene merengut sebal pada Dilan sembari mengelus lengannya. Dilan hanya terkekeh sendiri. "Maaf kaka ipar. Aku tidak sengaja." ucap Dilan sembari tersenyum jenaka, walau dia tidak tahu apa yang Irene katakan. Tapi dia bisa melihat dari raut wajahnya Irene terlihat kesal.

Tidak mau membuang waktu, Irene kembali melangkahkan kakinya.

"Wait... Kaka ipar mau kemana malam-malam begini?" tanya Dilan sembari menaikkan alis, menghentikan Irene. Irene kembali menghadapnya. Raut wajahnya makin kesal. "Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku bukan Kaka iparmu." Irene merengut sebal.

Lagi-lagi Dilam terkekeh. Itu membuat Irene terheran sendiri, kenapa lelaki yang satu ini sangat berbeda dengan Die--Ah, lupakan! Dilan itu aneh, sedikit-dikit tertawa. Irene jadi bisa menebak, sepertinya lelaki itu tidak mempunyai beban dalam hidupnya. Uh.... enak sekali.

"Oke oke.... Kak Irene, kau mau kemana malam-malam begini? Perlu aku antar?" tawar Dilan.

"Tidak!" tolak Irene cepat, tertawa guyon. Mana mungkin dia menerima tawaran Dilan untuk mengantarnya pergi jauh dari tempat ini. "Aku hanya ingin keluar sebentar saja. Di luar udaranya sangat sejuk."

"Tapi angin malam tidak baik untuk kesehatanmu, apalagi kau sedang hamil. Oh! Apa aku harus meminta kak Diego untuk menemanimu disini?" tanya Dilan yang membuat mata Irene langsung membulat.

Irene melotot. "Jangan!" tolaknya cepat. "Dia sedang sibuk di dalam, kau tidak boleh mengganggunya." Irene berkata sembari memasang wajah pura-pura khawatir. "Lebih baik kau masuk kedalam, siapa tahu dia membutuhkanmu." ucap Irene sambil tersenyum.

Hening sebentar, Dilan tampak menimang-nimang perkataan Irene. Seulas senyum tiba-tiba terlihat samar di bibirnya. "Ya, itu memang benar. Dia membutuhkanku." ucap Dilan.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Nanti aku akan kembali." ucap Irene, membohongi Dilan.

Dilan mengangguk, membiarkan Irene melangkahkan kakinya lagi, berjalan keluar dari mansion. Irene lalu benar-benar pergi.

Dilan tersenyum miring, perintah kakaknya berhasil dia lakukan. Karena tanpa Irene sadari, Dilan telah menaruh GPS tracker--sejenis alat pelacak di punggung Irene ketika lelaki itu pura-pura menabraknya. Well, mau Irene pergi kemanapun Diego pasti akan tahu. Dilan mendesah, mengetahui jika Diego benar-benar tidak pernah bisa melepaskan matanya dari Irene.

Sementara disisi lain...

Seorang pria berpakaian pelayan yang berdiri di depan pintu utama tampak mengamati. Pria itu mengeluarkan ponselnya, melakukan panggilan.

"Dia sudah pergi, tuan." ucapnya pada seseorang lelaki di seberang sana.

Lelaki itu tersenyum puas. "Bagus. Lanjutkan tugasmu setelah ini." ditempatnya berada, lelaki itu melangkah menuju kursi kebesarannya lalu duduk disana. Menyilangkan kaki, potret Irene ada di genggamannya.

Gadis itu memakai gaun hitam yang cukup panjang, namun mengekspos pundaknya yang putih. Di matanya Irene terlihat sangat cantik. "Dia sangat pantas menjadi koleksiku. Cantik. Okay, kau suruh anak buahmu mengikutinya. Kau tetap pantau keadaan disana."

"Baik, tuan."

To be continued.