At Asklespios Barmbek, Hamburg - German.
"Aku ingin pulang," Irene membalik tubuh, menatap Diego yang tengah duduk di sebelahnya. Lelaki ini sudah kembali, setelah sebelumnya meninggalkannya berdua dengan Dilan. "Aku sudah tidak apa-apa, Diego... Aku ingin pulang."
Sekitar jam sembilan malam Jasmine dan Sean menemani Irene sampai jam dua belas malam. Tapi Irene tidak bisa tidur, karena tidak ada Diego di dekatnya. Irene bisa tertidur hanya jika lengan Diego sebagai bantalnya--tidak bisa jika tidak begitu. Karena itu, Jasmine dan Sean menyuruh Dilan menemani Irene. Lalu sekitar jam empat pagi, Dilan juga sudah pulang. Irene lega. Tadi, ketika Dilan menemaninya, lelaki itu terus mengutak-atik ponselnya--membalas pesan, menerima telepon lalu bergumam tidak jelas setelahnya. Ketika Irene memanggil, Dilan marah. Katanya, dia menganggu perbincangannya dengan pacarnya yang bernama Milea. Irene hanya bisa berdecih, tahu itu alasan Dilan untuk mengabaikannya.
Diego tersenyum tipis sembari mengelus pipi Irene lembut. "Besok saja, jika kondisimu sudah lebih membaik aku akan meminta dokter-"
"Aku sudah tidak apa-apa, Diego! Kau saja yang tidak tau kalau aku ini sudah membaik!"

"Irene...." Diego bergumam tidak suka.
Irene mengerucutkan bibirnya. "Padahal aku ingin memasak sup rumput laut untukmu, membuatkan kopi kesukaanmu, memilihkan pakaian kerjamu dan menyimpulkan dasimu. Lalu, membantumu melepasnya begitu kau pulang."
"Kita masih memiliki banyak waktu. Jika tidak bisa besok, lusa kau boleh-"
"Baik. Tapi dengan terus disini, mungkin aku akan semakin sakit, Diego. Aku tidak bisa tidur. Tempat tidurnya keras. Punggungku sakit." rengek Irene, binar di matanya menatap Diego bak anak anjing.
Diego terdiam untuk sejenak, merengut dan memperhatikan ranjang queen size Irene. Sial. Padahal Diego sudah memeringatkan semuanya agar Irene nyaman. "Sialan mereka. Sebentar, aku akan meminta Christian mengurus-"
Mata Irene melebar. "Diego! Tidak perlu!" cegahnya cepat, segera duduk. Hendak merebut posel Diego ketika pusing lebih dulu menyerangnya, mungkin karena gerakannya yang terburu-buru. Irene meringis, memegangi kepala.
Diego langsung panik. "Kau ini! Sudah ku bilang kondisimu belum pulih benar. Sebentar, aku akan memanggil-"
"Tidak perlu, Diego. Sudah ku bilang, aku tidak apa-apa." Irene segera meraih lengan Diego, menahannya agar tidak pergi. "Aku hanya tidak suka disini. Kasurnya nyaman, seperti di rumah, tapi tidak ada lenganmu yang biasanya jadi bantalku." lirih Irene sembari mengalihkan pandangan, menyembunyikan wajah meronanya dari Diego.
Hening beberapa saat. Diego menatap Irene lama, menatapnya lekat. Lalu Diego meraih dagu Irene, Irene membalas tatapan Diego. Diego mengulurkan tangannya, menyentuh memar kebiruan di kepala Irene, pasti karena lemparan batu itu. Seketika rahang Diego menegang. Irene menelan ludah dengan susah payah, merasakan aura Diego yang tidak biasa--terlalu dingin, kelam, berbahaya. Apa yang Diego pikirkan? Namun, tatapan Diego melembut begitu dia mencium lebam di kepalanya.
"Maafkan aku... Aku gagal melindungimu." ucap Diego putus asa. Ia memeluk Irene erat, menenggelamkan wajahnya ke lehernya. "Aku berjanji setelah ini tidak ada lagi yang bisa menyakitimu, mereka yang melukaimu akan ku hancurkan. Semuanya akan hancur."
"Diego..." Irene kehilangan kata-kata.
"Apakah kau tau? Adakah yang paling membuatku sedih lebih dalam daripada rasa sedih saat kau sakit? Tak ada, sayang... tak ada." ucap Diego serak, makin mengeratkan pelukannya. "Aku kehilangan kendali saat melihatmu terluka. Ini menyakitkan. You are more meaningful than this world, Irene..."
Irene tertegun. Lagi, tangisnya jatuh. Kali ini bukan karena rasa sakit atau kecewa, tapi dadanya terlalu sesak menerima cinta Diego yang berlimpah. Lelaki ini sangat mencintainya.
"Diego, please... Jangan seperti ini." bisik Irene sembari menangkup wajah Diego agar menatapnya. "Diego.... aku sudah tidak apa-apa. Ku mohon berhenti membuatku merasa bersalah."
"Kau sama sekali tidak bersalah... aku yang bersalah." suara Diego terdengar parau. Irene mengigit bibir bawah, merasa tidak tenang dengan Diego yang selalu menunjukkan rasa frustasinya. Irene tidak menyukainya. Irene lebih suka melihat Diego yang marah-marah daripada memohon kepadanya seperti ini.
"Itu tidak benar. Kita berdua sama-sama salah." Irene mengulurkan jemarinya, membelai alis Diego, turun ke hidungnya. "Aku pernah mengecewakanmu dan kau juga pernah mengecewakanku."
"Mulai sekarang tidak lagi..." Diego reflek menutup mata, menikmati tiap sentuhan Irene.
"Pasti. Aku sudah tau, karena kau mencintaiku."
"Memang benar. Dari semua hal di dunia, kaulah yang paling aku cintai, Irene." gumam Diego sembari membuka mata.
Irene tersenyum. Terus mengelus wajah Diego, menatapnya dengan nadi berdenyut melihat cara Diego menatapnya--lembut dan muram. Irene menghapus air mata yang menempel di pipi Diego, lalu mengarahkan jemarinya ke kening Diego yang berkerut, menyentuhnya lembut, berusaha menghilangkan kerutan itu. Entah kenapa, dada Irene terasa sakit ketika Diego menyurukkan pipinya ke telapak tangannya. Dia tampak lelah, rautnya seakan dia tengah memikul dunia. Irene tidak pernah melihat Diego seperti ini... apa ini karena dia sakit?
"Diego... aku sudah tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir lagi," ucap Irene menenangkan, Diego makin menatapnya lekat. "Kau terlihat sangat lelah. Apa kau sakit?"
Tiba-tiba saja, tangan Diego yang bebas menangkap pergelangan tangan Irene, kemudian menempelkannya ke dadanya. "Disini," ucap Diego serak. "Kalau sampai aku kehilanganmu. Hal itu mungkin bisa membunuhku."
Sekali lagi. Untuk sekejap, Irene tidak bisa berkata-kata. Cinta Diego begitu besar... Kondisinya yang seperti ini pasti sulit bagi Diego juga.
"Tidak akan," bisik Irene muram. "Aku tidak akan kemana-mana, Diego...."
Irene menyusutkan jemarinya ke rambut Diego, meremasnya lembut. Sementara Diego mulai menunduk, menempelkan bibir mereka. Ciuman itu di mulai sangat keras, seakan Diego hendak menyalurkan semua kegelisahannya. Lalu, ciuman itu perlahan menjadi lembut, manis dan menggoda.
***
At Unknown Place.
Diego Alvaro turun dari mobilnya, lalu memasuki sebuah gubuk yang tidak terawat, penuh debu dengan sarang laba-laba dan beberapa serangga kecil menjijikan. Gubuk kumuh dengan pencahayaan remang-remang membuat suasana terlihat begitu mengerikan. Tempat yang sudah dia siapkan khusus untuk orang yang telah berani memporak-porandakan hidup kekasihnya selama ini.
Begitu Diego melangkah masuk, Lucas yang menyadari kedatangannya buru-buru menghampirinya.
"Lucas, kau boleh pergi." ucap Diego begitu Lucas sudah berdiri di depannya.
Lucas mengangguk, lalu menunduk dan pamit undur diri. Tugasnya sudah selesai. Setelah dia berhasil menangkap targetnya dan meyanderanya di tempat ini, akhirnya dalam waktu tiga jam tuannya itu datang.
Lucas pun pergi setelah sebelumnya ia melirik target Diego dengan tatapan seakan berkata "Bersiaplah merasakan neraka."
Diego menatap seseorang yang duduk di tengah ruangan sempit ini, kedua kakinya tampak terikat dengan tali tambang. Kedua matanya tertutup oleh kain hitam, meskipun begitu Diego mengetahui dengan jelas bahwa lelaki tua itu; Kenneth Samuel tengah ketakutan. Terbukti dengan tubuhnya yang bergetar.
"SIAPA ITU?!" bentak Kenneth dengan suaranya yang bergetar.
Kenneth semakin panik ketika mengetahui bahwa seseorang itu makin mendekatinya dengan langkah tenang.
"BERHENTI DISANA, SIALAN!"
"Aku bilang berhenti disana!" perintah Kenneth dengan nada arogan.
Nyatanya perintah Kenneth tadi tidak berarti apa-apa, karena setelah teriakan keras yang terselip ketakutan besar itu mengudara tetap saja membuat Diego berjalan mendekat. Diego kemudian berlutut di depan lelaki tua dengan keadaan mengerikan itu. Menatap Kenneth datar sembari menaikkan sudut bibirnya membentuk senyuman manis.
Sudah tua bangka, badan bengkok, rambut putih, ternyata tidak membuat Kenneth Samuel berhenti membalaskan dendamnya. Si tua ini telah berani menghancurkan irene-nya.
"Kau ingin tau siapa diriku, hah?!" tanya Diego dengan mata birunya yang berkilat tajam.
Diego mengusap kepala Kenneth dan memainkan rambutnya dengan lembut yang membuat sang empu bergidik ngeri. Usapan lembut dari tangan dingin Diego terasa membekukan, membuat tubuhnya bergetar hebat.
"Dan saat kau tahu siapa diriku yang sebenarnya, maka pada saat itu juga kau tak akan pernah bisa melihat dunia ini." desis Diego.
"Jangan menyentuhku, brengsek! Anakku Alvaro tidak akan tinggal diam melihatku seperti ini!" gertak Kenneth.
Kenneth yakin jika anaknya--Alvaro Samuel tidak akan diam saja jika orang asing berani menyentuhnya dan kenyataan yang tidak diketahui oleh Kenneth adalah fakta bahwa orang yang telah dia gertak ialah sosok yang juga telah mengurung anaknya seperti ini.
"Oh, benarkah?" tanya Diego meremehkan.
"Kurang hajar... berani sekali kau!" Kenneth berteriak kesal, dia hendak meludahi wajah Diego sebelum tawa Diego mengurungkan niatnya.
Diego tertawa keras, kepalanya sampai tersentak kebelakang saking lucunya. Yang tak ayal, tawa itu terdengar begitu kejam di telinga Kenneth.
"Jangan sekali-kali kau berteriak dihadapan ku lagi, orang tua." bisik Diego serak, mengancam Kenneth.
"Kau..." Kenneth hampir tersedak ludahnya sendiri ketika Diego kembali berbisik di telinganya.
"Do you want to play with me, Kenneth? Let me tell you, this game is very interesting."
Diego menempelkan pisau lipatnya pada dagu Kenneth. Dan seketika itu Kenneth langsung bergerak panik; sesuatu yang tajam dan dingin yang menyentuh kulitnya benar-benar membuatnya takut.
"Ja-jangan! Uang! Aku akan memberikanmu uang seberapapun yang kau inginkan!"
"Ssshh... sayangnya aku tidak membutuhkan uangmu. Aku hanya ingin mencuci tanganku ini dengan darahmu. Bukankah itu sangat seru, Kenneth?" Diego tersenyum jenaka.
"Tidak! Dasar gila!" maki Kenneth nyaris berteriak.
Diego tersenyum sinis. Lalu....
PLAK!
Tamparan keras melayang tepat dipipi Kenneth, membuat wajah pria tua itu tersentak kebelakang. Kenneth langsung meringis, ia ingin memegangi pipinya tapi kedua tangannya tidak bisa dia gerakkan.
"Bedebah! Berani sekali kau menamparku?!" marah Kenneth.
Diego meraih rambut di kepala belakang Kenneth, menariknya kuat--menjambaknya. "Kau pikir kau siapa?" tanya Diego sembari menggertakkan rahangnya.
Kenneth menahan napas, meneguk ludahnya. Entah kemana rasa marahnya tadi, Kenneth tidak tahu. Cekalan di kepalanya makin menjadi, terlalu kuat--Kenneth meringis.
"Le-lepaskan...."
"Menyakiti milikku. Membunuh ayahnya, menghancurkan keluarganya, menculiknya, menjualnya, menjerumuskannya." geram Diego, cekalannya makin kuat, kepala Kenneth serasa ingin lepas. "Seorang pendosa sepertimu, aku pastikan... kematian akan langsung menjemputmu."
"Ti-tidak!" rintih Kenneth.
Diego tersenyum miring. "Tapi sebelum itu terjadi, terlebih dahulu aku akan membuatmu merasakan neraka." Lalu, cekalan itu lepas. Diego membanting kepala Kenneth.
Kenneth semakin nelangsa.
"Dengar baik-baik..." ujar Diego dingin, tepat di telinga Kenneth. "Aku akan membalas semua perbuatanmu. Dia sudah kau hancurkan, tapi sekarang giliran dirimu yang akan hancur." bisik Diego. Rendah. Menikam. Mematikan.
Kenneth menggeleng cepat. Sungguh, Kenneth tidak pernah merasa terancam akan nyawanya seperti ini. Baru pertama kali... Ada seseorang yang berani melakukan ini kepadanya. Dia sama sekali tidak menduga, tapi, lebih dari semua itu, yang lebih membuatnya tercengang adalah kasus yang ia tutupi bertahun-tahun lamanya bisa diketahui oleh orang ini.
Sambil bersiul, Diego menarikan ujung pisaunya di seluruh permukaan wajah Kenneth. Benda lancip itu bergerak memutari wajah ketakutan Kenneth, membuat Diego menahan senyumnya.
Napas Kenneth tersenggal. Dia sangat ketakutan hingga tubuhnya tidak sedikitpun bergerak kala pisau itu mengelilingi wajahnya. Dingin. Tajam. Lancip. Kenneth meringis ngilu.
"Hentikan! Ku mohon hentikan!" napas Kenneth memburu, dia sangat ketakutan.
Berbeda dengan Diego, dia saat ini terlihat seperti seorang psikopat. Lelaki itu meraih rahang Kenneth dan mencengkramnya kuat, tangannya yang memegang pisau dia arahkan ke rahang Kenneth. Menempelkan ujung pisaunya, lalu menekannya. Hingga akhirnya pisau itu berhasil menancap di rahang Kenneth. Darah segar langsung keluar--mengalir deras, sementara jeritan keras milik Kenneth mengudara. Menciptakan alunan melodi yang terdengar indah di telinga Diego. Diego tertawa.
"Sepertinya aku harus memulai permainan ini denganmu, Kenneth."
Diego menurunkan pisau lipat yang sebelumnya menempel di dagu Kenneth kemudian mengarahkan pisaunya ke arah lengan lelaki tua itu yang terikat ke belakang. Menggores tipis kulit pucat itu yang membuat sang pemilik menjerit kesakitan.
Diego tersenyum mendengar jeritan dari lelaki tua di depannya.
"Berhenti! Sakit!"
Jeritan Kenneth semakin lama makin melemah karena di usianya yang sudah tua ini membuatnya tidak tahan dengan rasa sakit. Sebelum kesadarannya menghilang, dia sempat mendengar bahwa seseorang mengucapkan sesuatu.
"Ini baru awal. Masih banyak lagi yang akan ku lakukan padamu. Kau harus menderita, seperti yang kau lakukan pada Irene." ucapan Diego bagaikan dongeng mengerikan bagi Kenneth, sebelum kedua matanya tiba-tiba tertutup rapat.
✨Bersambung ke Chapter 38 : Burning Revenge [2]✨
***
Maaf ya gais gak bisa di gabungin, nantinya kepanjangan malah bikin cape bacanya:')
Jadi intinya, chapter 37-38 itu menceritakan tentang pembalasan dendam Diego kepada musuhnya. Terutama orang² yg udah menyentuh Irene-nya.
Asik Irene-nya wkwk. Memperjelas baget sihh, iya tau kok bang kalo Irene itu milikmu wkwkwk😆🤣🤣🤣
Jangan bosen ya baca Diego & Irene😘😭😍
Stay tune!! Tunggu chapter selanjutnya!
Tapi... Biar kalian penasaran, aku kasih spoiler deh haha🤣
✨Spoiler Diego & Irene | Chapter 38 : Burning Revenge [2]✨
Diego melempar pisaunya ke leher Alvaro Samuel. Mata Alva terbelalak ketika pisau itu menancapnya. Diego mengambil senapan dari Christian, lalu mengarahkan senapan itu ke arah Alva. Alva hanya bisa pasrah melihatnya, ia tak berdaya.
"Kau terlalu meremehkanku, Alvaro Samuel." Diego menatap Alva tajam, penuh permusuhan. "Karena ulahmu dan ayahmu yang bodoh itu, kau dan keluargamu tidak pantas untuk hidup."
Alva menelan ludah. Ketakutannya makin menjadi ketika suara keras dari senapan itu memecahkan keheningan. Alva semakin tersiksa ketika merasakan peluru menembus dadanya, tepat di area jantungnya. Alva tergeletak dan menekan dadanya. Nafasnya sangat tercekat, nyawanya serasa makin tercabut dari raganya. Darah mengalir hingga ke lantai.
***
Okee, sampai disitu yaa!! wkwkkw
Go follow Instagram :
@nainaarc
@diego.alvaro01
@bae.irene01
Biar kalian dapet spoiler lebih banyak dan jadwal updatenya! Akan di post di IGS!
okheyy
See u soon. Sayang kalian!!💕💕
With love, Ina.