Chereads / Diego & Irene / Chapter 36 - Chapter 36 : Love You Endlessly

Chapter 36 - Chapter 36 : Love You Endlessly

Irene bergelantungan di tepi tebing dengan sebelah tangan yang telah di genggam erat oleh Diego.

"jangan lepaskan tanganku, Irene!"

"Diego..."

Irene menelan ludah. Ia mengangguk dengan bibir yang gemetar. Irene tidak sanggup membendung air matanya yang telah menetes deras di wajahnya. Lebih dari itu, melihat ekspresi Diego saat ini... Semakin membuat hatinya sedih.

Jangan melihatku seperti itu, Diego!

Takut. Itulah ekspresi yang kini terlihat di wajah Diego. Ekspresi yang pertama kali diperlihatkan lelaki itu untuknya.

Apa kau mengkhawatirkanku?

"Jangan lihat ke bawah, Irene!" Diego tahu Irene memiliki pobia terhadap ketinggian atau dalam dunia kedokteran bisa disebut acrophobia.

"I-iya..." Irene menganggukkan kepalanya seraya melemparkan pandangan memelas di wajahnya.

Diego semakin frustasi melihatnya.

"Jangan takut,"

Separuh tubuh Diego telah berada di ujung tebing. Tangan kirinya yang bebas mulai mencengkram bebatuan yang runcing di bagian ujungnya, dan tentu saja sukse membuat goresan luka di tangannya.

Perlahan tubuh Irene terangkat ke atas. Dengan satu hentakan keras, mereka jatuh bersama dengan Irene yang menindih tubuh Diego.

"Kau tidak apa-apa?" Diego mendorong tubuh Irene ke samping dan terkejut melihat Irene yang sudah menutup kedua matanya.

Irene pingsan.

"Irene!" Diego berteriak panik.

Irene tidak sadar sama sekali.

"Astaga, sayang. Ku mohon bertahanlah." bisik Diego lalu menelpon Christian untuk membawakan mobilnya kemari, dia ingat jika mobilnya terparkir di tempat sejauh dua ratus meter darisini. Dia tidak mungkin membopong tubuh Irene sejauh itu--akan sangat lama. Diego harus cepat menolongnya.

Sementara disana Christian mengangguk cepat dan segera membawa mobil Diego mendekati ujung tebing itu.

Diego menoleh ke belakang dan menatap wajah pucat Mi Lover dan Lily bergantian yang berdiri kaku di tempat.

Kalian berdua akan menerima pembalasanku! Lihat saja nanti!

Begitu mobilnya sampai, Diego langsung membopong tubuh Irene cepat--membawanya masuk ke mobil.

Diego merangkul tubuh Irene, mencari-cari luka di tubuhnya sementara Christian menginjak pedal gas keras.

"Kau terluka..." Diego memegang kepala Irene yang tergores kecil dan masih mengelus darah.

Rahang Diego mengeras ketika melihat luka lain di tubuhnya.

"Irene..." bisikan Diego yang terdengar amat pelan itu tersirat ketakutan yang begitu dalam yang lelaki itu rasakan saat ini. Irene terus diam di pangkuan Diego, sama sekali tidak merespon. Untungnya denyut nadinya masih berpacu keras dan cepat. Tanpa Diego sadari air mata sudah membasahi pipinya, Diego menarik Irene ke arahnya--memeluknya erat. "Berhenti membuatku takut. You'll never understand how scared I am losing you."

Setiap detik yang terlewat terasa lama. Diego merasa seperti ada di neraka.

Karena itu, begitu mobil sport itu memasuki pelataran rumah sakit dan berhenti tepat di pintu masuk, Diego bergegas membopong Irene keluar. Para dokter dan perawat sudah siap, segera menangani Irene di salah satu ruangan khusus. "Maafkan kami. Anda tidak boleh ikut masuk, Mr. Alvaro."

"Tapi-" Diego terhenyak, ingin memprotes tapi dia tidak bisa berpikir lagi--semuanya kacau. Diego menghembuskan napas gemetar. "Baik. Bawa dia kembali padaku." ucap Diego sebelum pintu itu di tutup.

Mengepalkan tangan, Diego duduk di kursi depan ruangan itu, pandangannya menerawang entah kemana.

Diego baru menoleh begitu dia mendengar derap langkah kaki. Sean, Jasmine dan Dilan berjalan cepat menghampirinya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Sean khawatir.

Diego tidak menjawab, hanya membuang pandangan dan menatap ke depan. Wajahnya begitu dingin, tangannya mengepal keras hingga buku jarinya memutih sementara tatapannya begitu tajam. Penampilannya juga berantakan; Kemeja putih Diego tampak kusut dan sudah di gelung sampai siku, dasinya tidak terikat rapi, sementara jasnya sudah di sampirkan entah kemana. Saat ini Diego terlihat sangat siap membunuh orang.

"Diego... bagaimana Irene?" kali ini Jasmine yang berbicara. Wanita itu sudah duduk di samping Diego dan meraih tangannya. Meremasnya pelan. "Astaga, nak. Tubuhmu bergetar. Tenanglah. Mau ibu ambilkan minum dulu? Kau terlihat sangat berantakan."

Diego tetap diam, hanya menghela napas panjang dan mencium tangan ibunya yang menggenggamnya erat. Memejamkan mata, berusaha untuk tenang. Diego bergerak menyenderkan kepalanya di pundak Jasmine. Menangis. "Irene... aku tidak tau apa yang terjadi padanya. Aku takut, ibu..." lirih Diego dengan air mata yang menetes.

Jasmine terhenyak, dia kehabisan kata-kata. Diego adalah sosok yang kuat, tidak pernah menangis dan jarang sekali menunjukkan sisi lemahnya seperti ini. Diego... anaknya benar-benar berbeda. Dia rapuh, tanpa Irene-nya.

Jasmine menarik Diego, memeluknya erat. "Sstt... anak ibu tidak boleh menangis. Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Percayakan semuanya pada Tuhan. Berdo'a kepada-Nya. Kita tau jika Dia sangat baik." bisik Jasmine sembari mengelus punggung Diego, lalu mengecup kepalanya.

Diego mengangguk. Tapi tetap saja, dia tidak bisa menenangkan dirinya. Sialan. Bagaimana dia bisa tenang jika dia belum tahu kondisi Irene di dalam?

"Kak Diego, apa Irene terluka parah?" tanya Dilan.

Diego tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan sembari mengambil napas panjang.

"Lalu, siapa melukainya?"

"Diamlah. Jangan tanya pelakunya. Atau kau bisa aku habisi sekarang." ucap Diego--kelewat dingin.

"Huh? Maksudmu? Aku hanya bertanya siapa-"

"Tidak bisakah kau diam?! Kakakmu sedang kacau dan kau malah banyak bertanya seperti ini. Jangan mengganggunya!" Sean menyahut ketus, sama seperti Diego, mata Sean juga memerah.

Dilan menatap Sean kesal. "Aku hanya ingin tahu."

"Sudahlah!" sahut Sean lagi.

Dilan mendengus sebal. Tapi, akhirnya mereka semua duduk di kursi masing-masing tanpa bersuara. Hening. Hanya ada suara jarum jam. Tiba-tiba suara ucapan seseorang beserta langkah kaki terdengar di lorong itu. Christian mengucapkan perintah lewat mikrofon di telinganya.

Begitu Christian sampai di depan Diego, Diego berdiri, menatapnya tajam. "Kenapa mereka bisa berada disini?"

"Mi Lover sudah sampai disini sejak sehari yang lalu. Penyamar itu yang menjemputnya. Mereka ternyata menyewa mata-mata untuk mengawasi pergerakan nona Irene. Lucas dan anak buahnya sudah berhasil meringkus mereka, tuan muda."

"Bagus. Ada lagi?"

"Mi Lover dan Lily sudah dibawa ke ruang bawah tanah. Kami mengurungnya di ruangan yang sama dengan ruangan Alvaro Samuel."

"Baik. Lakukan semuanya seperti yang ku katakan. Jika mereka melawan, siksa saja."

Christian menangguk dalam. Lalu, tiba-tiba mereka menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka. Seorang dokter keluar--menghampiri mereka. Diego langsung menghadap dokter itu.

"Bagaimana kondisi istriku?" tanya Diego langsung. Diego benar-benar takut, apalagi wajah dokter itu tampak datar.

"Mrs. Alvaro sangat shock, mentalnya terguncang, apalagi dia juga sedang hamil. Tubuhnya sangat lemah, aku takut janinnya tidak kuat--itu akan semakin memengaruhi kondisi ibunya."

Diego menarik kerah dokter itu.

"Aku mempekerjakanmu untuk menyelamatkan dia!" sentak Diego sembari mengeratkan cekalannya. Dokter itu kaget, begitupun yang lain.

"Kami tengah mengusahakan semampu kami, Sir."

"Diego..." Jasmine meraih lengan putranya. "Tenanglah. Irene pasti akan baik-baik saja."

"Damn it!" Diego melepaskan cekalannya, tapi tatapannya masih menyorot tajam. "Dimana istriku? Aku ingin melihatnya."

Dokter itu menunduk dalam. "Mrs. Alvaro ada di dalam, masih belum sadar. Kami masih mengobservasinya. Kami juga sudah menyuntikkan obat penenang. Ketika dia sadar nanti, tolong jangan bebani pikirannya. Itu akan beralih buruk untuk kondisinya dan bayi anda."

Menghembuskan napas keras, Diego memasuki ruangan itu dengan lunglai. Hanya dia. Dokter hanya mengijinkan satu orang saja.

Diego mendapati Irene tengah tidur di atas ranjang yang berada di tengah-tengah ruangan. Tampak tidak berdaya, tapi cantik seperti putri tidur. Menggeser kursi, Diego duduk di samping tubuh Irene kemudian menggenggam tangannya erat, mencium punggung tangannya. "Aku pikir... aku kehilanganmu lagi," bisik Diego serak. Matanya yang memerah tidak sekalipun meninggalkan Irene.

"Sweetheart, bangunlah. Ayo kita pulang. Aku tidak suka melihatmu disini." ucap Diego frustasi. Ponsel Diego terus bergetar. Pesan, panggilan ponsel. Banyak sekali yang harus Diego lakukan, tapi untuk saat ini dia hanya ingin bersama Irene. Menemaninya.

"Diego..." tiba-tiba Irene tersadar, berucap lirih sembari memijit keningnya. Diego buru-buru berdiri, menekan bel dokter kemudian mencium pipi Irene berkali-kali. "Jangan menciumku!"

Diego menarik napas tajam, kebingungan. "Irene... ada apa?"

"Menjauhlah!" Irene berteriak histeris, tangisnya langsung pecah. "Kau! Kau sudah membuangku! Kau yang menyuruhku untuk pergi, tapi kenapa kau malah kembali?!"

"Aku sama sekali tidak menginginkan itu! Kau salah paham, Irene! Demi Tuhan! Bisakah kau tenang dulu?"

"Kau sengaja! Aku yakin kau sengaja! Kau membuatku hamil dan setelah itu kau akan meninggalkanku. Apa sebenarnya maumu?! Merendahkanku lagi? Apa kau belum puas?!"

"Irene...."

"Aku memang sedang mengandung anakmu! Itupun terpaksa! Tapi kali ini tidak. Aku tidak mau anak ini! Sepertinya aku harus menggugurkannya agar kau tidak seenaknya lagi!" teriak Irene, menangis putus asa. Dia langsung bangkit, melepaskan infusnya dan berdiri.

Topeng Diego terlepas, menunjukkan seberkas kepanikan. "No! Jangan... Demi Tuhan! Jangan bunuh mereka. Mereka tidak bersalah," ucap Diego serak sembari berlutut di depan Irene.

Irene terkesiap. Diego yang biasanya tidak pernah menunjukkan ekspresi gentar tampak pias, memohon putus asa. Irene melakukan penolakan, berusaha mendorongnya menjauh, tapi Diego mencengkramnya dengan segala upaya. Sesuatu dalam benak Irene berteriak, dia menarik napas gemetar.

"Akulah yang bersalah. Aku yang sudah menyakitimu, membuatmu sengsara. Bayi-bayi kita, aku juga yang menyakitinya."

"Aku terlalu egois. Kau boleh marah." Bibir Diego melengkung meringis. "Seharusnya aku tidak perlu menghukummu. Aku menyesal, Irene..."

"Demi Tuhan, Diego!" Irene menunduk menatap Diego, berusaha mencari kata-kata untuk memperbaiki hubungan mereka. "Bagaimana bisa kau-"

"Satu kali aku di lahirkan. Satu kali aku akan mati. Dan satu orang yang aku cintai seumur hidupku hanyalah kau. Tidak ada tempat untuk orang lain. Semua yang ada padamu aku mencintainya."

"Diego. Please," bisik Irene sembari menangkup kepala Diego untuk menatapnya.

Diego menggeleng. "Tidak. Jangan memohon. Aku minta maaf. Aku yang salah. Aku yang selalu memaksamu." bisik Diego sembari menarikan jemarinya yang lain di perut Irene, menatapnya pasrah. "Kali ini cukup katakan yang kau mau. Aku tidak akan memaksa. Aku akan melakukan apapun, asal bayi-bayi kita-"

"You!" tukas Irene serak. Ikut bersimpuh di lantai sembari mengalunkan tangannya di pundak Diego. Mencari keseimbangan. Sesak. Air mata Irene bahkan makin merebak. "I want you! All of you!" Irene mencintai Diego apa adanya, bukankah itu cukup?

Irene sama sekali tidak mencintai Alva ataupun lelaki lain... karena hatinya sudah sepenuhnya milik dia, Diego Alvaro.

"Irene..."

"Aku tidak mau ada orang lain! Kau untukku saja!" Lagi, tangis Irene kembali pecah. Diego tersentak, balik memeluknya dan menariknya ke pangkuan.

Irene melembut dalam pelukan Diego.

"That's right," gumam Diego di telinga Irene. Mendekapnya erat. Memberikan kehangatan dari tubuhnya yang ramping dan keras. "I'm yours. Only yours."

"Jangan pernah menyuruhku untuk pergi lagi! Aku tidak mau!" Demi Tuhan, hati Irene sakit. "Aku mencintaimu, Diego. Menjauh darimu sama saja seperti kehilangan separuh jiwaku, kau akan menyiksaku."

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," gumam Diego sembari mengelus punggung Irene. Mereka berpelukan lama. Usapan Diego di punggungnya menenangkan Irene. Irene menghirup aromanya, menikmati aroma kulit Diego yang menggoda. Keinginan untuk menempelkan wajahnya di leher Diego sangat besar. "Berhentilah menangis. Aku tidak punya kekasih yang cengeng seperti kau."

Irene merengut, memukul pundak Diego. Tangisannya mulai berhenti. "Aku tidak cengeng!"

Diego menyeringai tipis, lalu menempelkannya bibirnya lembut ke bibir Irene. "Dokter akan memeriksamu." ucapnya setelah mengecup Irene. Sekilas. Hanya belaian halus. Ringan. Menggoda Irene.

Irene yang baru saja memejamkan mata langsung cemberut. Merasa kehilangan. Irene ingin lebih. Dia butuh lebih dari ini.

"Diego!" suara Irene memohon, mengerang keras. Matanya menatap Diego penuh gairah.

"Sayang, please... Ini di rumah sakit. Bukan di mansion kita." tukas Diego sembari mengelus kepala Irene yang di perban. Tersenyum miris.

"Aku tidak peduli. I want you, Diego! Do it now!" erang Irene kesal lalu bergerak mencium Diego. Diego kaget, tapi dia dengan cekatan menangkap tubuh Irene yang menubruknya.

Gila memang! Tapi Irene tidak peduli, hanya saja dia sangat membutuhkan Diego.

Diego membalas ciumannya. Bahkan, Diego-lah yang akhirnya mendominasi ciuman mereka.

"Your lips make me lose my mind, more dangerous than anything. You know..." bisik Diego di dekat bibirnya. "Enough to kill me. Enough to kill us."

Irene mengerang. Ciuman Diego beralih ke pundaknya, menggigitnya disana. "But I'm willing to die with you."

Irene memejamkan mata, membiarkan Diego menyelinapkan lidah di dalam mulutnya. Membelainya lembut. Menggodanya lebih dan lebih. Tidak terkesan terburu-buru. Membuat Irene semakin ingin. Dia ingin lebih. Irene butuh lebih dari ini. Selalu lebih.

Mengerang pelan, Irene memiringkan kepala. Membuat ciuman itu makin intens. Lidah keduanya saling membelai. Saling memburu. Pelukan Diego mengencang, menarik Irene lebih dekat. Lalu, tangan Diego mulai menyelinap ke balik baju Irene--membelai punggungnya hangat. Irene melengkungkan tubuh, makin mencengkram pundak Irene. Dia butuh kelanjutan dari sentuhan Diego di kulit telanjangnya.

"Diego!" bujuk Irene, menatap Diego pasrah. Bergairah. Irene butuh Diego.

Reaksinya menyulut Diego, membuat mata Diego ikut berkilat menginginkan. Irene tersenyum kecil ketika Diego menariknya bangun, menggendongnya dalam sekali hentakan, kemudian membaringkannya di ranjang.

Mata mereka saling bertatapan. Lengan Irene terus melingkari pundak Diego, sementara jemari Diego sudah menyusuri rambut hitamnya. Irene menutup mata ketika jemari itu menarik rambutnya lembut. Rasanya seperti dia tertawan dalam genggaman Diego, tapi Irene menyukainya.

"Diego...."

"Sial. Kau akan menyiksaku lagi," erang Diego dengan gigi bergemelatuk. Seakan tersiksa. Jemarinya membelai turun, menyentuh pusat diri Irene. Namun, Irene membuka mata, bergegas menahan tangan Diego, menggeleng kencang sembari menatap Diego keras kepala.

"Tidak mau," bisik Irene, mendadak pipinya merona.

Diego mengangkat alis, lalu menarik diri. Irene panik, langsung menahan lengan Diego. Untuk pertama kali, Irene sangat menginginkan kedekatan fisik mereka dengan putus asa.

"Bukan berhenti. Aku mau kau," Irene meringis. Merasa geli dengan dirinya sendiri. "Tapi aku tidak mau jari dan bibir." cicit Irene sembari menutup mata. Malu. Ini bukan Bae Irene! Kenapa bisa-bisanya dia berkata seperti ini?

Detik demi detik yang terlewat terasa menegangkan. Irene mendengar suara geraman Diego. Lalu, "Tidak," ucap Diego. Irene membuka mata, sementara Diego berusaha melepas pegangan. "Nanti saja. Setelah babies sudah kuat. Kasihan mereka."

"Diego, please...." nada membujuk dalam suara Irene mulai mengikis pertahanan Diego, apalagi binar di mata coklatnya menatap Diego bak anak anjing. "Ini mau babies. Kau hanya perlu hati-hati."

Hell, jelas-jelas mereka masih berada di Rumah sakit. Rumah sakit! Bercinta di rumah sakit? Jangan bercanda...

Diego menyeringai, ia mulai meraba paha irene. Membelainya pelan, bergerak menyentuh dirinya lebih dalam. Jemari Diego menari-nari hingga ke pangkal pahanya, menggesek intinya keras. Menggoda. Irene terbakar, ia mengerang. Diego sangat ahli. Lelaki itu menyentuhnya mesra. Penuh damba.

"Diego.... please!" mohon Irene sembari melengkungkan badan. Keningnya berkeringat.

"Tidak sekarang, sayang. Dokter baru saja sampai." tukas Diego bersamaan dengan pintu yang terbuka. Beberapa tim dokter masuk. Irene masih menatapnya, tatapan melas menghiasi wajahnya--jemarinya bahkan masih mencengkram lengan kemeja Diego.

"Kau.... Dasar bedebah sialan!" maki Irene kesal ketika Diego berhasil melepaskan cekalannya.

Sontak makian Irene itu membuat para dokter yang sedang mendekati Irene langsung diam. Mereka terpaku ditempat dengan bibir menahan senyum.

Diego sendiri malah tersenyum kecil sembari menatap wajah Irene yang frustrasi bercampur kesal. Well, jarang sekali wanita itu menginginkannya.

"Sudahlah, sayang... Kita masih bisa melakukannya lain kali. Jangan terburu-buru--kasihan babies kita." ucap Diego serak, dia mengecup kening Irene lama sebelum beranjak beberapa langkah ketika para dokter itu memeriksa Irene lagi.

Diego terus memerhatikan Irene, menghembuskan napas lega melihat wajah Irene yang tidak sekesal tadi. Wanita itu bahkan sudah berbincang santai dengan para dokter--sesekali mengukir senyum dan melirik padanya. Diego balas tersenyum, sebelum invisible earpeace di telinganya membunyikan signal panggilan.

Dari Lucas.

Diego segera berjalan menjauh, berdiri di balkon kamar dan menekan tombol untuk menghidupkan mikrofon di pergelangan tangannya.

"Ada apa?"

Jawaban Lucas terdengar di seberang. Diego mencengkram pagar pinggiran balkon. Kelewat erat. Buku tangannya memutih.

"Secepatnya kau harus tangkap dia," bisik Diego tajam. Pandangan Diego lurus ke depan--tajam--tanpa kedip. Rahangnya menegang. "Sekali dia menyentuh milikku. Seketika itu kau harus membuatnya tidak bernyawa. Tidak ada opsi lain. Ini perintah."

Diego menggertakkan giginya, menarik napas tajam.

"Satu lagi. Soal tiga orang itu, biar aku yang turun tangan. Kau urus dia."

To be continued.

Hola!!

Semoga chapter ini memuaskan ya...

Jangan lupa follow Instagram :

@nainaarc (akun Ig author)

@diego.alvaro01

@bae.irene01