At ALVARO'S Mansion. New York - USA | 2:48PM
"Lovelyn?" suara panggilan laki-laki terdengar dari arah belakang, Mi Lover lantas menoleh, membulatkan mata kemudian mengangkat tangan--menunjuk laki-laki itu. "Dilan?!"
"Well.... Long time no see, Lovelyn." ucap lelaki bermata biru yang kini sudah duduk disampingnya.
Dia Dilan Alvaro, adik kandung dari Diego Alvaro yang juga sama menjadi teman kecilnya seperti Diego. Mereka duduk berhadapan, sementara tangan Dilan terlihat terulur, berani mencubit pipi Mi Lover dengan gemas.
"Akh! Dilan!" rutuk Mi Lover, merengut, kemudian memegangi pipinya sembari menatap Dilan kesal.
Dilan tertawa ringan. "Kau keberatan?"
Mi Lover lantas menggeleng--teringat masa kecil mereka. Dulu juga selalu begini--tiap mereka bertemu, Dilan senang sekali mencubit pipinya sebelum mereka bermain--lalu setelah itu Dilan akan mengajak teman-temannya ikut termasuk Diego dan bermain bersama. Ternyata Dilan masih sama. Tunggu.... Mi Lover juga baru sadar--jika sekarang Diego seringkali meninggalkannya, bahkan menolak saat di ajak bicara. Mi Lover merasa Diego sedikit berubah.
"Tentu saja tidak. Cubit saja pipiku sampai merah, dan setelah itu kemarahan Diego akan menunggumu." goda Mi Lover sembari menatap Dilan remeh.
Dilan mengendus, wajah tampannya terlihat kesal. "Jangan mengatakan apapun kepadanya!"
Mi Lover menahan tawa, hendak mengeluarkan suara ketika Christian mendekat--lalu melirik arlojinya. Sadar jika dia sudah lama menunggu kedatangan Diego.
"Nona muda..." sapa Christian, menundukkan kepala lalu berdiri di samping Mi Lover.
"Tuan Diego menyuruh Anda menunggunya di lantai atap, lima belas menit lagi pesawat akan berangkat. Silahkan, Nona...." ucap Christian dengan nada sopan, namun ketika matanya bertemu dengan Dilan, dia langsung mengedipkan mata--terkejut--tidak menyangka jika adik dari atasannya itu berani datang kemari setelah membuat Diego marah.
"Baiklah, aku segera kesana." jawab Mi Lover sembari bangun dari duduknya, berdiri lalu melambaikan tangannya pada Dilan sebelum pergi. "See you, Dilan!" katanya.
Dilan mengangguk, tersenyum tipis. Lalu balas melambai.
"Hai, Christian. Apa kabar?" sapa Dilan tiba-tiba, nada suaranya terdengar santai sementara matanya menatap Christian remeh.
Christian membalasnya dengan senyuman. Tipis. Namun menyejukkan dan terlihat tampan. "Saya baik. Seperti biasa, Tuan muda." ucap Christian ramah.
"Mereka mau kemana?" tanya Dilan pelan, mendekatkan tubuhnya dengan Christian--sengaja mengikis jarak agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain.
"Liburan ke Swiss, kami baru saja menyiapkan semuanya." jawab Christian sembari menunduk--menghormati Dilan.
Dilan mendengus, membuang wajah. "Dasar kejam! Dia sama sekali tidak pernah mengajakku jalan-jalan!"
Christian hendak tertawa, tapi dia menahannya. "Asalkan sikap Tuan muda berubah pasti Tuan Diego akan mengajakmu kemana-mana. Termasuk liburan." ucap Christian dengan tenang.
Dilan berdecak, lalu menjauhkan diri dari Christian. "Yeah... terserah. Biarlah dia puas bermain-main dengan wanita itu, lalu disini... aku akan bersenang-senang."
Dahi Christian mengerut. "Maksud Tuan?"
"Jika si kejam itu tidak ada, aku yang akan berkuasa disini. Semuanya harus mematuhiku. Apapun. Termasuk kau juga." ucap Dilan, menyeriangi.
Christian terdiam cukup lama--tampak berpikir. "Saya tidak tau harus bicara apa, Tuan muda. Tapi jika niatmu datang kemari untuk itu, aku khawatir jika Tuan Diego akan sangat marah." ucap Christian lagi--masih menunduk.
"Kak Diego tidak ada di rumah ini. Swiss sangatlah jauh, dia pasti sangat lama--apalagi Lovelyn sampai ikut." Dilan menyeriangi lagi, tiba-tiba teringat dengan sosok gadis cantik yang dia ketahui tidur sekamar dengan kakaknya. "Oh iya, Chris. Sepertinya aku harus memberikan salam pertemuan pada kekasih kakakku itu, ada dimana dia?"
Christian lantas mengangkat kepalanya, menatap Dilan tak percaya. "Maksud Tuan.... Nona Irene?"
***
Irene berdiam di balkon cukup lama--hingga suara gemerisik di dalam kamarnya membuatnya masuk. Rupanya pelayan--jumlahnya mungkin belasan--berjalan keluar masuk dari luar menuju pintu di dalam kamar Irene yang dia ingat sebagai walk in closet. Beberapa dari mereka tengah membawa gantungan baju dorong berisi banyak pakaian, yang lain membawa box-box berukuran besar.
"Semua barang-barang Anda sudah datang, Nyonya. Kami sedang membereskannya, beberapa masih ada di bawah." ucap pelayan wanita yang tadi.
Irene mengernyitkan alis, merasa heran dengan perkataan pelayan wanita itu. Dia bilang semua ini adalah barangnya? Lalu... siapa yang menyiapkan semua ini? Irene tidak menduga.
Mengabaikan pertanyaannya Irene lebih memilih untuk mengikuti mereka, ia masuk kedalam walk in closet besar yang berwarna senada dengan kamar. Beberapa pelayan terlihat membawa keluar barang lama--menggantinya dengan barang-barang baru, mulai dari pakaian, sepatu, tas hingga--peralatan make up bermerek terkenal. Irene tidak tahu jumlahnya--tapi yang jelas perlengkapan pria milik Diego nyaris tergeser.
Cukup lama Irene berdiri disana--mengawasi mereka. Hingga tiba-tiba saja para pelayan itu keluar--meninggalkan Irene sendirian.
"Kau suka?" sudah bisa ditebak, itu karena Diego. Kedua lengan Diego sudah memeluk Irene dari belakang--sementara bibirnya mengecup leher Irene.
Irene memejamkan mata. "Tidak." ucapnya.
"Tidak?"
"Aku tidak suka. Untuk apa kau membeli semua ini? Seharusnya kau membebaskanku."
"Membebaskanmu?" Diego menarik wajahnya, menatap Irene serius lewat pantulan kaca.
Irene menggigit bibir bawahnya. "Aku ingin pulang, Diego! Aku ingin pulang!" ucapnya menahan jeritan.
"Kau akan tinggal disini!"
"Tidak, Diego! Kau tidak bisa memaksaku tinggal di tempat yang bukan tempatku."
"Bukan tempatmu?" Diego tersenyum sinis, lalu mencekal pundak Irene. "Lalu dimana tempatmu? Di club malam itu?"
"Diego! Sudahlah.... jangan membuat semua ini sulit!"
Irene tahu... Mansion ini membuatnya nyaman--dan itu hanya karena Diego menemani tidurnya--memeluknya hangat seakan kenyamanan terbesar berasal darinya. Mansion Diego juga memang mewah--bahkan kelewat mewah. Tapi ini bukan tempatnya. Mi Lover yang akan menjadi nyonya di tempat ini. Sekarang saja Irene sudah merasa rendah--dia tidak mau merasa lebih rendah lagi dengan terlihat jelas sebagai simpanan Diego.
Tapi yang paling membuatnya lebih rendah adalah.... dia pelacur Diego. Dia ada disini hanya untuk memuaskan Diego. Tidak lebih.
"Katakan, berapa kali kau akan memakaiku sampai kau melepaskanku?" Irene berhenti sejenak menghembuskan napas pelan. Rahang Diego mengeras. "Atau begini saja, aku akan melayanimu sampai kau bosan. Setelah itu lepaskan aku. Apa itu belum cukup?"
"Irene....." Diego menggeram rendah, mata birunya berkilat. Jemarinya kembali meraih dagu Irene, sementara tangannya yang lain meraih pinggang Irene, membawanya mendekat.
"Baik. Kau sendiri yang mengatakannya," bisik Diego, terdengar geram. "Jadi intinya kau akan selalu siap. Kapanpun. Sampai aku bosan. Lalu aku bisa melepasmu. Begitu?"
Irene menahan napas. Tidak tahan dengan kedekatan mereka.
"Dengan catatan, aku tidak tinggal bersamamu." ucap Irene, menahan kesal--makin menatap Diego tajam.
"Alright." bisik Diego, tepat di telinganya. "Buktikan kata-katamu. Kapanpun aku mau, jangan beralasan."
Irene mengangguk. Tapi kemudian....
"Okay. I want you. Now!" ucap Diego. Pelan. Penuh dengan emosi.
Irene terbelalak. "A-apa?"
To be continued.
HOPE YOU LIKE IT GUYS!!😆