At Zurich ALVARO'S Hospital - Swiss | 8:00 AM.
-Messenger-
From : My Prince
*Maafkan aku Mi Lover. Aku tidak bisa menemanimu di rumah sakit, kau tetaplah bersama Lily. Aku akan pulang sekarang, ada urusan yang tidak bisa aku tinggalkan. Jangan khawatir, Lucas akan menjagamu disini. Dia yang akan mengantarmu pulang.
See you,
Diego Alvaro*.
Mi Lover membuka pesan itu dan membacanya, ternyata dari Diego. Lagi. Pria itu meninggalkannya, namun kali ini rasanya lebih sakit. Diego tidak seperti dulu--yang akan selalu bersamanya walau lelaki itu tengah kesusahan, yang selalu menemaninya dalam kesedihan. Tapi disaat dia bersedih justru pria itu yang meninggalkannya. Diego-nya yang dulu sudah mati. Dia berubah, dan karena itu Mi Lover sangat bingung, sedih, kecewa--semuanya menjadi satu. Terlebih lagi melihat adiknya yang terbaring lemah seperti ini membuatnya terpukul.
Mi Lover mengusap wajahnya dengan kasar. Disinilah ia, di rumah sakit ternama berlantai dua puluh milik keluarga Alvaro. Sudah setengah jam adiknya pingsan dan belum ada tanda-tanda jika wanita itu akan bangun. Tekanan darah wanita itu tinggi dan ia tidak pernah tahu jika adiknya menderita penyakit itu. Ketika dokter menanyakan apakah adiknya mengetahui penyakitnya dan rutin meminum obat, Mi Lover tidak mampu menjawab. Mi Lover bahkan tidak pernah melihat adiknya itu meminum sebutir obat apa pun.
Dokter Velix--dokter yang memeriksa adiknya--mengatakan jika tekanan batin yang dialami adiknya sudah banyak membuat kondisi tubuhnya menurun. Oh astaga! Mi Lover kembali mengusap wajahnya sebelum menghembuskan napas kasar. Benarkah adiknya semenderita itu?
Suara erangan kecil terdengar, membuat Mi Lover menoleh ke arah ranjang dan menemukan adiknya yang bergerak-gerak gelisah. Tangan adiknya terangkat dan ia memijat pelipisnya.
"Kau mau minum?"
Wanita itu membuka matanya dan mendapati Mi Lover yang duduk di tepi ranjang. Tak lama setelah dia mengangguk, Mi Lover menuntunnya untuk meminum air putih dari gelas di atas nakas.
"Bagaimana perasaanmu, Lily?"
Dia Lovelyn D'Mikhailova, adik kandung Lovelyn Mikhailova--Mi Lover--yang dipanggil dengan nama Lily. Sejak kecil sampai sekarang, semua orang memanggilnya dengan Lily. Wajahnya begitu cantik, hidung kecil dengan mata besar; mirip Mi Lover. Mereka kembar identik, wajah mereka nyaris sama jika tidak ada tanda lahir di dada Mi Lover. Tanda itulah yang membedakan mereka.
Lily tidak memanggil Mi Lover dengan sebutan kakak, karena mereka dilahirkan di hari yang sama; dan hanya berbeda waktu sekitar tiga puluh menit ketika dilahirkan.
Lily menunduk dan menautkan jemarinya kemudian ia berkata dengan muram. "Yeah, maybe. Apa menurutmu aku akan baik-baik saja setelah semua ini?"
Tak ada jawaban. Mi Lover hanya tersenyum sambil meraih tangan Lily, menggenggamnya erat kemudian mengelusnya perlahan. Membiarkan Lily mengeluarkan semua kekesalannya.
"Mengapa kalian semua pergi meninggalkan ku? Pertama Papa, kedua Mama, kau dan terakhir si Alva sialan itu!" Lily berkata dengan putus asa. Ia menggeleng dan melanjutkan, "Aku seperti orang yang sebatang kara. Tinggal sendirian di mansion, Papa dan Mama pergi ke Italy dan sekarang... kau malah pergi ke Swiss! Kau selalu pergi dariku, Mi Lover!"
"Maafkan aku, Lily." Mi Lover menatap Lily dengan perasaan bersalah. "Aku kira Alva akan menjagamu selagi Papa, Mama dan aku tidak ada. Tapi ternyata dia-"
"Alva membuatku kesal! Dia benar-benar keterlaluan!" Lily mencengkram selimut dengan erat, matanya berkabut. "Aku mungkin tidak akan pergi sejauh ini jika dia tidak mengecewakanku!"
"Alva kenapa, Lily? Apa yang dia lakukan?" Mi Lover menatap adiknya penasaran.
Lily mengepalkan tangan, amarahnya langsung naik. "Dia tidak menghargaiku, Mi Lover! Dia... dia menyebutkan nama gadis itu di depanku. Dia mengungkit nama gadis itu!"
"Gadis? Gadis apa? Siapa?"
"Alva membohongiku. Dia masih mencintai mantannya. Aku baru tahu jika sampai saat ini Alva masih mencari gadis itu, dan-" Lily pun menangis, sesenggukan, air matanya membanjiri wajahnya. "Dia berencana akan kembali pada mantannya."
"Irene sialan!" teriak Lily memaki.
Mi Lover tampak terkejut, dia diam beberapa saat sebelum mengatakan, "Irene? Maksudmu... mantan Alva bernama Irene?"
Lily mengangguk sembari memejamkan matanya erat-erat, bibirnya bergetar. "Alva akan pergi meninggalkan aku... dia... dia akan kembali pada gadis itu..." Lily terus menangis, dia memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepalanya.
Hati Mi Lover serasa di iris. Dia seperti ikut merasakan apa yang di rasakan oleh adiknya. Ternyata karena orang yang sama, jalang itu... Irene mengambil Diego darinya dan sekarang... jalang itu mengambil pacar adiknya. Mi Lover tidak bisa menerima ini. Dia tidak boleh diam. Dia harus melakukan sesuatu.
***
At ALVARO'S Mansion, Manhattan. NY - USA | 05:00 PM.
Ayunan itu bergoyang ke depan dan ke belakang, bergerak pelan ketika seorang gadis di atasnya sedikit menekan tungkainya pada tanah yang berumput. Sesekali ia meraih batu kecil didekat kakinya, melemparnya ke arah danau buatan berukuran kecil dan menciptakannya riuk air yang indah.
Dilan menggulung lengan kemejanya dan melepaskan dua kancing pertamanya. Ia mengusap rambutnya, membuat surai hitam itu terlihat lebih berantakan. Matanya memicing ke arah Irene yang duduk dalam keheningan kemudian berjalan ke arahnya.
Irene sedikit menoleh ketika mendengar suara gemerisik rumput yang terinjak. Sudut matanya memperhatikan ketika Dilan berdiri di sampingnya.
"Irene?" Dilan membuka suara, menatap Irene. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?" tanyanya.
"Kau sendiri mau apa datang kesini?" tanya Irene kembali, sedikit ketus. Irene hanya malas berbicara dengan orang yang memiliki hubungan dengan Diego Alvaro. Termasuk Dilan Alvaro yang saat ini berbicara kepadanya.
"Berkeliling halaman, tapi sebenarnya aku hanya ingin melihat gadis yang katanya sangat cantik itu. Christian bilang dia ada disini." kata Dilan sembari memasukkan satu tangannya ke dalam saku.
Irene tersenyum, sekilas, kemudian kembali mengayunkan tubuhnya. Membiarkan semilir angin menerpa rambutnya, sementara Dilan memperhatikannya.
"Kakak mengatakan padaku jika kau tidak boleh sendirian. Dia bahkan membentakku ketika dia tau kau ada diluar tanpa penjagaan. Jadi, boleh aku menemanimu disini?"
Irene tersenyum kecut, sorot matanya terlihat kosong ketika mengatakan. "Kenapa pria itu peduli kepadaku? Apa dia tidak pernah berpikir bagaimana perasaanku setelah dia-" Irene meneguk ludah kasar sebelum melanjutkan dengan suara gemetar. "Membuatku menjadi pelacurnya."
Dilan mendengus. "Jangan bertanya tentang itu kepadaku." gumamnya rendah. "Lovelyn tunangannya, tapi dia masih mengikatmu disini. Itu yang aku tidak habis pikir."
"Begitulah kenyataannya," Irene menarik napas dalam dan memejamkan matanya. "Dia hanya menjadikanku sebagai pelacurnya. Aku hanya mengisi tempat sampai pemilik yang sebenarnya datang." Irene mengepalkan tangan, berusaha menahan campur emosi di dadanya, meminta untuk dikeluarkan.
"Dia tidak mencintaiku. Dia mencintai Mi Lover."
Setelah mengatakan itu, Irene tidak bisa menahan lebih lama air matanya. Dia menangis, sementara tangannya memegangi dadanya. Tepat dihatinya. Rasanya sakit. Sangat sakit.
***
"I'd climb every mountain, and swim every ocean... Just to be with you, and fix what I've broken. Oh... Cause I need you to see... That you are the reason..."
Irene memejamkan mata, nyanyian lullabynya mulai hilang. Cukup lama--hingga kantuk menelan kesadarannya. Lalu, Irene merasakan tubuhnya terayun, mata Irene mengerjab berat--wajah Diego hanya berjarak beberapa senti saja. Lelaki itu menggendongnya.
"Diego....." gumam Irene pelan.
"Sstt... tidurlah, Irene." bisik Diego, mengecup keningnya. Irene tersenyum--mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya ke dada Diego. Mimpi yang indah, seakan Diego sudah kembali dan datang untuk dirinya. Irene tidak ingin terjaga.
Sayangnya, tak lama mimpi itu berubah menjadi mengerikan. Irene tiba-tiba saja berada di tempat gelap--dengan suara keras dari dobrakan pintu didekatnya. Gudang dengan pencahayaan kurang, dan seorang pria bermuka hitam di depannya, menatapnya tajam, tapi Irene langsung menjerit ketika sebuah tangan mulai meraba tubuhnya. Bayangan jika dia akan menjadi korban pelecehan. Bayangan yang sama dengan yang selalu datang ke mimpi buruknya. Irene terus menjerit, hingga tenggorokannya sakit dan matanya berair.
Irene tahu mereka akan mengambil kesuciannya, karena itu Irene menjerit--mencari bantuan--tapi tidak ada yang menolongnya. Hanya jeritan pasrah mengetahui dirinya akan dinodai. Lalu, suara dobrakan keras bertubi-tubi. Cekalan tangan di tubuhnya terlepas. Irene bebas, tapi tubuhnya terlalu lemas. Dia akhirnya berlari, hingga suara teriakan serta makian mengudara--memekakkan telinga. Sampai di titik terlemah, tubuhnya terkulai, nyaris menghantam tanah ketika sebuah lengan kekar menangkapnya, memeluknya--mendekapnya hangat.
"It's alright. I'm here." Irene masih terisak, mengangguk ketika suara itu berbisik di telinganya--dan semuanya gelap.
***
Irene terbangun, langsung duduk. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar, keningnya berkeringat dingin--terlampau shock dengan mimpinya yang amat nyata. Masih dengan jantung yang berdegup, Irene mengusap wajahnya kasar dan menatap ke sekeliling. Ini kamarnya dengan Diego, padahal seingatnya--hal terakhir yang ia lakukan adalah menikmati kesendiriannya dengan duduk atas sofa di tengah teras. Irene meraih gelas berisi air putih di atas nakas--meminumnya. Lalu menaruhnya lagi.
Irene melihat ke samping, mencari Diego--sisi di bagian Diego kosong. Sementara jam menunjukkan pukul satu malam.
"Diego..." panggil Irene, menyibak selimutnya--turun dari ranjang lalu berjalan menuju pintu balkon yang terbuka sedikit. Diego mungkin disana.
"Diego, kau merokok?" gumam Irene pelan--masih mengantuk. Jemari Irene mengucek matanya.
"Lakukan semua hal yang bisa dilakukan, Lucas. Apapun."
Irene menghentikan langkah, hanya beberapa langkah dari pintu--mengernyit. Dia mendengar perbincangan Diego dengan seseorang. Wait, semalam ini? Dengan siapa?
"Tetap intai dia. Jika dugaanmu benar, tangkap saja langsung. Habisi jika perlu." ucap Diego dingin.
"Baik, Sir...."
Irene tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya, karena itu Irene mendorong pintu--keluar, dan mendapati Diego berada pojok balkon, dia berdiri sendirian, mengenakan mantel gelap tebal. Sepercik cahaya terlihat di sudut bibirnya. Diego merokok dalam gelap. Irene mengedarkan pandangan--berusaha mencari keberadaan orang lain. Tapi tidak ada.
"Kau tidak tidur?" suara serak Diego terdengar. Irene menoleh--menatap lelaki itu. Diego sudah mematikan rokoknya.
"Kau tadi berbicara dengan siapa?" tanya Irene.
"Kau bermimpi?"
"Tidak, tapi...." Irene mencari-cari, tapi dia tidak menemukan siapapun selain mereka di balkon ini. Irene mencoba melirik ke bawah sekalipun ngeri--padahal mustahil seseorang bisa meloncat dengan tinggi balkon seperti ini. Salju pun sudah mulai menumpuk lagi.
"Irene..."
Belum sempat Irene memeriksa lebih, lengan Diego tiba-tiba saja sudah memeluknya dari belakang--mendekapnya. Wajah Diego tenggelam di lekukan lehernya, memberi Irene gigitan kecil-kecil. "Kebetulan sekali kau bangun," bisik Diego serak. "Aku menunggumu, dari semalam."
"Apa ada yang mengganggumu selama aku pergi, Irene?" Diego menciumi bahu dan tengkuk Irene secara bergantian. Termasuk menghirup aroma mawar pada tubuh Irene yang menggoda.
"Aaahh... tidak ada..." Irene mendesah saat tangan Diego masuk melewati gaun tidurnya. Tangannya yang berotot menjamah kulitnya dan akhirnya menangkup payudaranya yang sekal, meremas-remasnya dengan kuat.
"Aahh.. jangan Diego!" Irene memekik, memegang pergelangan tangan Diego dan tanpa sadar ikut meremas tangan Diego karena begitu kerasnya pria itu meremas payudaranya.
Diego menggeram, dia membalik tubuh Irene--menarik Irene kasar ke tubuhnya. Kaki Irene terangkat dari lantai, Diego menangkup bokongnya, mengangkatnya--menyandarkan Irene ke dinding. Irene mengerang, lebih keras, membiarkan Diego menyerang bibirnya dengan gairah yang liar--lidahnya mendesak dalam, seakan memperingatkan Irene akan gairahnya yang besar.
"Diego...." desah Irene begitu ciuman mereka terlepas.
To be continued.