Chereads / Diego & Irene / Chapter 27 - Chapter 27 : Why Did He Come Back To Me?

Chapter 27 - Chapter 27 : Why Did He Come Back To Me?

"Tumben kau sudah bangun?" Diego bertanya, menyeriangi sembari mengancing vest rompi kerjanya--baru keluar dari walk in closet. Tampak segar.

Irene membalik tubuh--menatap Diego sebal. Hanya mengenakan baju tidur putih tipisnya--rambutnya tergerai. "Memangnya aku tukang tidur?"

Diego terkekeh, menghampiri Irene dan mengulurkan dasinya. "Tidak. Aku hanya sering memperhatikanmu." Diego mengedipkan mata--menggoda Irene.

Irene mengernyitkan hidung. "Jangan merayuku!" ucap Irene, sembari melirik dasi Diego. "Well... Apa ini?"

"Pakaikan!"

Irene menatap lama dasi itu, lalu menggeleng. "Tapi aku tidak bisa."

"Bisa atau tidak pakaikan!" tukas Diego--menarik Irene berdiri.

Irene berdecak sebal--membuang wajah, lalu secepat mungkin mengambil dasi Diego--memakaikannya. Diego menahan tawa, Tapi binar geli dimata birunya masih bisa Irene lihat.

Lain halnya dengan Irene. Wanita itu... gugup.

Irene berusaha mengaitkan dasi hitam keleher Diego secepat yang ia bisa. Pipinya bersemu merah karena wajah Diego begitu dekat dengan wajahnya. Aroma maskulin khas pria dewasa memenuhi indera penciuman Irene, yang saat ini menjadi wangi kesukaannya.

Aku lupa bagaimana caranya—gumam Irene dalam hati.

Selama ini, ia hanya pernah melakukannya sekali, itupun pada saat ia mengikuti upacara pertama kali di sekolahnya. Itu sudah lama sekali--dan sekarang, ia harus melakukannya atas perintah Diego.

"Mendekatlah." Diego menarik pinggang Irene agar merapat dengan tubuhnya.

Irene semakin dibuat salah tingkah. Dalam sekejap waktu, Irene menahan napas seolah lupa bagaimana caranya untuk menghirup oksigen.

"Ka-kau ganti parfum?" tanya Irene, suaranya terbata-bata. Irene lantas menutup mata--merutuki dirinya. Sial. Diego selalu berhasil membuatnya kehilangan kendali.

"Aku ganti parfum. Gara-gara parfum itu kau tidak mau dekat denganku. Jadi aku buang." ucap Diego serak, matanya masih menatap Irene.

"Seriously?" tanya Irene tidak percaya--masih berusaha memakaikan dasi.

"Yeah, aku tidak mau kita pisah hanya karena parfum." gumam Diego, menatap Irene lekat lalu mengulurkan tangannya--menarik dagu Irene. Irene mengerutkan alis--menatapnya bingung. "Irene... kau tau diriku. Mana mungkin aku bisa jauh darimu." bisik Diego serak, lalu mengecup bibir Irene.

Irene menahan napas. Lagi. Irene ingin protes, tapi sayangnya dasi itu belum juga terpasang. Oh God..... kenapa susah sekali?!

Irene melakukannya cukup lama hingga membuat Diego kehabisan kesabaran, "Sepertinya kau kesulitan, Irene."

Diego meraih tangan Irene. Menggenggam tangan Irene yang dingin dan tegang. Diego mengetahui jika Irene sangat gugup saat ini, terlihat dari wajahnya yang memerah dengan bulir keringat yang membasahi kening gadis itu.

"Sini aku ajari." Diego menggerakkan tangan Irene dengan begitu lihai, hingga dasi hitamnya terikat dengan sempurna.

"Yeay, selesai!" Irene berseru dengan gembira. Akhirnya dengan bantuan Diego, Irene bisa mengikat dasi keleher Diego dengan sempurna. Diego tersenyum tipis melihat tingkah Irene yang menggemaskan, wajahnya yang berseri-seri dan pipinya yang merona membuatnya tergoda. Belum lagi dengan payudara milik Irene yang padat bertubrukan langsung dengan dada bidangnya.

"Kau senang?" Diego tersenyum geli.

Senyum lebar Irene berganti dengan tatapan kagum, ditatapnya wajah tampan Diego tanpa cela.

Diego malah menyeriangi, dua tangannya memegang pundak Irene. Wajahnya mendekat. "Kenapa kau menatapku dengan tatapan menggoda seperti itu, Irene?" bisik Diego tepat ditelinga Irene. Irene merinding.

Diego dengan cepat mengambil satu langkah maju, Irene yang masih belum sepenuhnya sadar, kalah satu langkah. Diego menarik tangan Irene dan melingkarkan sepasang tangannya ke pinggang Irene. Merapatkan tubuh gadis itu dengannya. Ia merasakan payudara Irene yang ukurannya terlihat lebih besar dari sebelumnya menggesek dada bidangnya.

"Bu-bukan begitu.... maksud Irene...." Irene mencoba melepaskan diri, namun Diego semakin mengeratkan pelukannya.

"Tubuhmu bergetar...." Diego membisikkan kalimat intimnya kepada Irene. Diciumnya berkali-kali leher putih dan bersih milik Irene yang harum. "Katakan, kau masih ingin melanjutkan yang tadi pagi, hm?" bisiknya serak.

"Nghh... tidak..." Rangsangan bertubi-tubi itu berhasil membuat Irene memejamkan mata untuk menahan desahan yang hendak lolos dari mulutnya.

Diego menatap Irene puas, bibirnya menahan senyum--menyadari jika ucapan dan reaksi di tubuh Irene bertolak belakang.

"Akh!" Irene memekik dengan suara bergetar. Tangannya berkeringat karena Diego tiba-tiba mengangkat tubuhnya ke atas meja.

"Apa maumu?!" tanya Irene panik, matanya melebar.

"Menurutmu?" Diego meletakkan tangannya di pinggiran meja, di antara tempat duduk Irene saat ini. Diego menatap wajah Irene yang menggoda juniornya. Satu tangan Diego menjauhi meja, lalu mendarat jatuh di paha Irene.

"Diego!!" pekik Irene--menatap Diego horor, lalu buru-buru turun, langsung mendorong tubuh Diego keluar kamar. Diego terkekeh geli, Irene makin kesal. Irene akhirnya memilih untuk menutup pintu kamarnya--tapi gagal. Kaki Diego menahannya. Diego lalu mengambil satu langkah maju, menangkup wajah Irene dengan kedua tangan--mencium keningnya.

"Good bye, Honey." bisik Diego--mengelus puncak kepala Irene lalu pergi dari sana.

Irene merasakan jantungnya berpacu, dia masih berdiri di ambang pintu--terus menatap hingga Diego menghilang di ujung lorong. Usai Diego tidak terlihat, barulah Irene beranjak. Bukan kembali ke kamarnya, melainkan ke balkon belakang--tempat dia bisa melihat backyard mansion dari atas dengan jelas. Helicopter Diego sudah terparkir di bawah sana, tak lama kemudian Diego terlihat--berbicara dengan Christian--lalu kembali menghilang ketika Helicopter mengudara.

***

"Astaga, Luna, tadi itu hampir saja! Bisa-bisanya kau salah memberikan jenis kopi pada Tuan besar."

Irene baru sampai di pintu dapur--hendak mengambil minum ketika dia mendengar pembicaraan pelayan. Rupanya seorang maid paruh baya sedang menasehati maid yang lebih muda.

"Maafkan, Luna... Luna benar-benar tidak sengaja."

"Lain kali jangan ceroboh. Pagi ini sepertinya mood Tuan besar sedang bagus, karena itu kau bisa selamat. Bayangkan jika tidak, kau bisa langsung dipecat."

"Jadi Diego suka memecat orang?" tanya Irene sembari melangkah masuk. Maid tadi langsung terkesiap--begitu pula dengan satu pelayan yang lain. Mereka berdua menunduk takut-takut. Irene terkekeh, "Tidak usah takut. Aku tidak menggigit." canda Irene--sengaja mencairkan suasana.

"Mrs. Alvaro...." sapa maid tadi. Irene mengerutkan kening--merasa jengah dengan panggilan semua orang. Mrs. Alvaro? Memangnya dia istri Diego?

"Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?"

"Tidak ada, terimakasih. Aku hanya ingin mengambil minum." Dibanding memusingkan panggilan pelayan tadi, Irene lebih memilih melanjutkan langkah ke arah lemari es. Tanpa di sangka-sangka satu maid langsung mendahuluinya, bahkan satu maid yang lain sudah mengambilkannya gelas.

"Anda ingin minuman apa, Nyonya?"

"Astaga... kalian ini..." Irene menghela napas, menatap mereka heran. "Aku bisa sendiri!"

Luna dan Maid yang lain tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Itu memang tugas kami, Nyonya. Anda jangan segan-segan." ucap Luna. "Lain kali Anda hanya perlu memerintahkan salah satu dari kami. Tidak perlu kemari. Kami akan dengan senang hati melayani Nyonya." kali ini maid yang lebih tua berbicara.

"Seperti di jaman kerajaan saja." gerutu Irene.

Luna, maid muda itu tersenyum lebar, wajahnya berseri-seri--baru menyadari jika Irene adalah orang yang baik. Memang semua orang yang ada di mansion ini begitu menakutkan, galak, dan suka memerintah, bahkan orang yang berkerja disini terlihat begitu misterius dan sulit didekati. Terutama Christian dan Lucas, Luna tidak pernah sekalipun melihat mereka tersenyum kecuali kepada Tuan besar Diego, Tuan muda Dilan dan Nyonya Mi Lover--si Nenek Lampir. Luna memang menyebutnya seperti itu, tapi jangan salahkan dia--memang Mi Lover sendiri yang membuatnya memberi nama panggilan itu. Dia seperti nenek lampir sungguhan--sering marah dengan meledak-ledak hingga membuat siapapun yang mendengarnya ingin sekali menyumbat mulutnya menggunakan bokong panci.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Kami malah senang jika Anda Ratunya." balas Luna--agak bersikeras.

"Siapa yang kalian sebut sebagai Ratu?" suara wanita tersedengar, Irene dan dua maid itu menoleh--ternyata Mi Lover. Wanita itu datang dari arah ruang utama.

"Nyonya Mi Lover...." sapa Luna bersama maid paruh baya itu. Mi Lover tidak membalas--hanya melirik mereka sinis--mengernyit--bukan karena mereka tapi kehadiran Irene disini.

Mi Lover menatap Irene, tersenyum sinis. "Jadi kalian menganggap wanita tak tau malu itu sebagai Ratu?" tanya Mi Lover kepada dua maid itu--wajahnya terlihat tak percaya.

Kedua maid itu menggeleng, menunduk takut sembari menyembunyikan tangan mereka di belakang tubuh--seakan takut untuk menghadapi tatapan Mi Lover yang menusuk.

"Keluar!" perintah Mi Lover, suaranya menggelegar.

Para maid pun buru-buru keluar, Irene juga sama. Tapi suara sinis Mi Lover mengehentikannya. "Aku tidak menyuruhmu keluar, jalang."

Langkah Irene terhenti, membuat Mi Lover tersenyum senang. Sementara Irene menahan diri, menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata--panggilan itu menyiksanya--tapi dia tidak boleh meledak.

Irene membalik tubuh, menatap Mi Lover datar. "Apa maumu, Mi Lover?"

Mi Lover mengambil bangku, lalu duduk dan mengambil gelas yang berisi air yang sudah dituangkan maid untuk Irene--meminumnya. Lalu menatap Irene remeh. "Aku? Kau tanya apa keinginanku, begitu?"

"Jauhi Diego. Pergi dari kehidupannya. Itu saja." ucap Mi Lover dingin, sedingin mata birunya yang menatap Irene.

Aku juga. Aku ingin pergi dari Diego, tapi rasanya sangat sulit... karena aku mencintainya. Batin Irene.

Irene menunduk, menarik napas panjang--sekaligus menguatkan diri agar tidak menangis--sadar diri. Irene tau--dia bukan siapa-siapa disini, dia hanya orang asing.

"Kenapa diam? Perlu aku meneriakimu dan mengusirmu seperti binatang?!" teriak Mi Lover, mengepalkan tangan--amarahnya langsung naik, tak tahan dengan keterdiaman gadis sialan itu.

Irene mengangkat kepala, balas menatap wajah Mi Lover yang menatapnya nyalang. "Tidak usah." lirih Irene, matanya berair. "Tanpa kau menyuruhku pergi, aku pasti akan pergi. Kau jangan khawatir." Irene tersenyum--menyembunyikan kesedihannya.

Mi Lover tertawa sinis, menaruh gelasnya kembali--berdiri--lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Irene. "Bagus. Tapi kalau kau kembali, aku pastikan...." Mi Lover menggantungkan kalimatnya--menikmati tampang Irene yang menyedihkan. Menggeram rendah--mengancam Irene dengan kata-katanya. "Kau akan mati di tanganku."

Lalu Mi Lover melangkah maju, berjalan angkuh menuju pintu--hendak keluar. Tapi dia berhenti sebentar--tepat di samping Irene. "Aku tidak pernah main-main, Irene. Pergi darisini sebelum Diego kembali." bisik Mi Lover tepat ditelinganya, lalu pergi darisana.

Air mata Irene jatuh, kakinya mendadak lemas. Irene jatuh bersimpuh di lantai dapur. Dia menangis--merasakan dadanya yang sakit.

***

"Nyonya Irene." Sapa Christian, menundukkan kepala--sudah berdiri disamping Irene. Irene sontak terkejut, dia buru-buru menghapus air matanya. Baru keluar dari dapur. "Anda mau kemana?"

Irene memasang senyum terbaiknya, dia berdehem. "Jalan-jalan sebentar."

"Anda habis menangis?" tanya Christian--memastikan, matanya menyipit.

Irene tergelak, dia tertawa sejenak. "Eh, tidak! Barusan aku kelilipan, sedikit sakit... jadi mataku begini." ucap Irene penuh senyuman--mencari alasan. Tidak mungkin dia menceritakan semua ini--Mi Lover dan ancamannya.

Christian terdiam--berpikir sejenak. Tadi Mi Lover pergi ke dapur, dan Irene juga keluar darisana. Itu artinya, mereka ada didalam--berdua. Tapi, kenapa Irene menangis?

"Baiklah, mungkin aku salah." ucap Christian sembari tersenyum tipis. "Jika saya boleh tau, tujuan Nyonya kemana? Perlu saya antar berjalan-jalan?"

"Tidak... tidak usah...." Irene menggeleng cepat. "Aku sudah memesan taksi."

"Tapi, Nyonya-"

"Jangan menghalangiku, Christian... aku tidak akan lama. Lagipula aku hanya jalan-jalan ke daerah sekitar."

"Baiklah, Nyonya. Hati-hati dijalan." ucap Christian, menundukkan kepala begitu Irene melangkah pergi. Lalu berbicara dengan orang dalam telepon.

***

Three hours later...

At Pennsylvania Station. NY - USA | 03:00 PM.

"Thankyou, Sir..." ucap Irene kepada supir setelah dia turun dari taksi, tersenyum--lalu membayar ongkosnya.

Irene berada di depan gerbang stasiun. Mata coklatnya menerawang jauh--menatap orang-orang yang berlalu lalang membawa koper mereka. Tatapannya berhenti tepat pada seorang ibu hamil, ibu-ibu itu bersama dengan seorang pria--mungkin suaminya. Wajah mereka dipenuhi senyuman--tampak bahagia. Suaminya membawa barang-barang, sedangkan ibu hamil itu membawa seorang anak kecil--sepertinya berusia lima tahun--mereka pergi memasuki stasiun. Irene menatap mereka lama, entah mengapa dia jadi ingat dengan keluarganya. Ayah, ibu, dan adik laki-lakinya--Irene merindukan mereka.

Irene akhirnya memutuskan untuk berjalan masuk--sekaligus memantapkan hatinya untuk pergi--menjauh dari kehidupan Diego.

Irene tidak membawa tas besar ataupun koper--karena dia memang tidak bersiap-siap. Ini terlalu mendadak. Irene hanya membawa uang dan beberapa kartu kredit. Ini bukan dari Diego--ini miliknya, dia sudah lama menyimpannya.

Setelah mengambil tiket, Irene menunggu giliran kereta, dia duduk di bangku panjang yang berjejer, sementara tangannya memeluk tubuhnya--dingin--ternyata salju belum juga berhenti.

"Kau membutuhkan jaketku, Irene?" suara pria dari arah belakang terdengar, membuat Irene mengernyitkan alisnya. Irene langsung berdiri--membalik tubuh lalu melihat orang itu.

"Al... Alva?" Irene menutup mulutnya, dia terkejut. Sangat. Sosok pria yang dahulu menjadi cinta pertamanya kini tengah berdiri dihadapannya--menatapnya.

"Yeah, it's me. Aku kembali padamu." gumam Alva dengan senyum diwajahnya.

"Ta-tapi... kenapa?" Irene merasakan suaranya bergetar, ditatapnya lagi wajah tampan Alva dengan lekat.

"Karenamu. Karena wanita milikku bersama dengan pria lain, aku benci itu." sekilas tatapan Alva menggelap, tapi dia dengan cepat merubahnya. "And i will get my princess again."

Mendengar nada serius dari Alva membuat Irene takut--entah apa yang akan terjadi jika Diego mengetahui semua ini. Lelaki itu ternyata masih mencintainya.

To be continued.

ALHAMDULILLAH... 2000 KATA LEBIH!

Ina semangat nih nulisnya, kalian juga harus semangat like dan komen donggg... bener tidacks?? hehe😆