Author Note : Untuk lokasi di Chapter sebelumnya, yaitu Chapter 32 : Lure The Devil (memancing iblis) seharusnya berada di Jerman, bukan di NY USA😂 Ina typo gengss wkwk.
OK, HAPPY READING!
At ALVAROS Mansion. Berlin - German | 09:00 AM.
"Ah...Sakit...." Irene merintih kesakitan. Pipinya mulai terasa perih dan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
Gadis itu terlihat tengah meringkuk di atas lantai, wajahnya ia benamkan dilekukan kakinya. Sakit. Irene mengusap pipinya, pipinya berkedut akibat pukulan Diego beberapa waktu yang lalu. Irene yakin jika pipinya pasti sudah membiru.
Ketika Irene bangun dari pingsannya, ia ternyata masih berada di atas lantai--posisi yang sama ketika dia terjatuh akibat pukulan Diego. Well, ternyata Diego tidak peduli dengannya. Lelaki itu ternyata sama sekali tidak peduli apalagi memanggilkan dokter untuknya. Bahkan ketika Diego mengetahui Irene pingsan dilantai pun, Diego ternyata tidak memindahkannya ke atas kasur. Lelaki itu membiarkannya, cukup membuat hati Irene teriris. Sesak. Kecewa. Irene berpikir... Apakah Diego begitu marah padanya?
"Lihat aku, Irene."
Irene menatap ke atas dan melihat laki-laki jangkung dengan mata biru safir tengah menatap dingin kepadanya. Diego Alvaro.
"Ma-maaf.... Irene...." Irene berusaha agar suaranya berhenti bergetar, namun gagal. Bahkan air matanya tanpa ia sadari telah mengalir deras di pipinya.
Diego berjongkok dan menatap Irene dengan wajah tanpa ekspresi yang tidak pernah ia tunjukkan pada Irene.
Tatapan itu... Irene merasa takut. Sangat takut. Dengan kepala tertunduk Irene mencengkeram kimononya dengan kuat. Apa kali ini ia akan mendapatkan hukuman dari Diego? Irene sama sekali tidak berniat mengkhianati lelaki itu, namun....
"Kenapa menangis?" Diego mengangkat dagu Irene hingga kedua mata itu bertemu.
Diego mengusap kedua pipi Irene yang basah. Lalu kembali membelai kedua pipinya dengan sapuan jemarinya yang lembut. Irene memejamkan mata--menikmati sentuhan Diego. Sejenak Irene merasa tenang, tapi ketenangannya itu tidak berlangsung lama. Karena setelah itu Irene langsung memekik, Diego malah mencengkram rahangnya.
"Diego.... sakit," rintih Irene, merasakan tangan Diego yang menekan kuat pipinya.
"Aku tidak suka melihat pria lain menciummu, Irene." Dan cengkraman itu makin kuat, membuat Irene sampai memukul-mukul tangan Diego.
"Ap...Apa...Maksudmu?" Di antara wajah biru dan air mata yang berlinang, Irene berusaha mengeluarkan suaranya. Dia berusaha mengangkat kepalanya hanya untuk menatap Diego yang kini tengah menatapnya tajam.
"Apa kau suka mantanmu menciummu seperti itu?" tanya Diego dingin.
"Ti-tidak..."
Lalu cengkraman itu lepas--Diego melepaskannya. Irene menghela napas, merasa lega. Tapi kelegaannya tidak bertahan lama karena kata-kata Diego selanjutnya berhasil membuatnya takut.
"Kau harus dihukum, Irene."
Irene merinding. Kata-kata Diego, pandangan matanya, bahkan helaan napasnya--semuanya, menakutinya. Rasanya seperti bukan Diego.... Diego Alvaro yang berada didepannya ini bukan lagi Diego yang dia kenal. Pria ini... Begitu menakutkan.
"Ta...Tapi Irene tidak selingkuh darimu..." lirih Irene seraya menggigit jarinya.
"Oh ya? Begitukah?"
Diego berdiri, dan ia mencengkram lengan Irene dan menariknya kasar agar ikut berdiri bersamanya. Irene semakin nelangsa, dan air matanya hampir tak pernah berhenti ketika Diego kembali berkata-kata,
"Sudah lama aku tidak mencambuk sesuatu, Irene."
"Cam...cambuk?"
Diego menarik tengkuk Irene dan mendekatkan wajah gadis itu hingga tidak ada jarak di antara mereka. Lalu dengan tarikan nafas singkat dan senyum mautnya, Diego...
***
Pintu kamar yang terkunci, lampu utama yang dimatikan. Hanya ada cahaya dari lampu tidur, membuat ruangan besar itu menjadi termaram. Pagi hari yang cerah kini malah terlihat gelap, Diego menutup semua gorden kamarnya. Kemudian pria itu berjalan mendekati laci, dia mengambil sesuatu dari dalam sana--sebuah cambuk berwarna hitam.
Irene menelan ludah dengan susah payah saat berdiri dihadapan pria bermata biru itu. Oh Lord.... Tatapan Diego benar-benar menakutkan, sangat. Tatapan seram yang belum pernah Irene lihat selama ini, bahkan untuk bergerak sedikit saja, Irene tidak berani.
Diego menatap Irene lekat, sorot matanya seakan mampu menembus iris coklat milik Irene. Diego sudah siap dengan cambuk yang melilit kuat ditangannya, pria tampan bagai iblis itu tengah menunggu apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik yang berdiri didepannya ini.
"Demi membuatmu puas, aku rela cambuk itu menembus daging ku." ucap Irene sembari meneteskan air mata, tersenyum, lalu dengan tangan yang gemetar Irene melucuti pakaiannya satu persatu hingga membuat tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang melekat ditubuhnya.
Diego menyeringai dingin saat Irene berjalan kaku kearahnya, berjalan mendekatinya. Diego tahu jika wanita dihadapannya ini pasti ketakutan setelah apa yang dia lakukan tadi pagi.
"Kau mau menghukumku kan, Diego?" tanya Irene dengan mata yang berkaca-kaca, menelan ludahnya susah payah sebelum mengatakan, "C'mon, punish me. Now." ucap Irene dengan suara bergetar.
Diego menarik sudut bibirnya, menyeringai. Lalu ia membalikkan tubuh Irene, mendorongnya hingga membuat Irene tengkurap diatas meja besar yang sudah Diego siapkan. Posisi Irene kini tengah membelakangi Diego dengan tubuh yang menungging--tubuh bagian atasnya tengkurap, sementara kakinya berdiri tegak--seperti huruf L yang terbalik.
"Aku takut, Diego." lirih Irene gemetar, memejamkan mata.
Sama sepertimu, aku juga takut untuk melakukan ini. Tapi sayangnya kau terlalu lancang, Irene. Lanjut Diego dalam hati.
Diego melilit kembali cambuknya, membuat lilitan tali yang terbuat dari rotan yang lentur itu semakin kuat untuk melayangkan cambukannya.
Diego menarik napas, menatap langit-langit ruangan sembari mengepalkan tangan. Cinta sialan! Lagi-lagi wajah Irene yang menatapnya penuh cinta kembali membayangi matanya. Membuatnya lemah dalam artian sebenarnya. Lagi-lagi wajah itu, senyum itu, tatapan itu-- semuanya, membuat Diego semakin geram. Kenapa tiba-tiba ia malah merasa ini tidak benar? Kenapa disaat-saat seperti ini dia malah tidak ingin melakukan hukumannya?! Kenapa dia merasa tidak sanggup?!
"Shit!" umpat Diego, lalu dengan cepat ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan....
Trash!
Satu cambukan mengenai bokong Irene. Irene sendiri langsung meringis, napasnya seketika memburu. Pukulan dari cambuk itu... rasanya sakit sekali.
"One." gumam Irene, menghitung cambukan yang diberikan Diego.
Trash!
"Two." gumam Irene lagi, kembali meringis.
Trash!
"T-three." suara Irene terbata. Merasakan sakit dan perih secara bersamaan untuk yang ketiga kalinya.
Trash!
"Fo-four." Irene mengigit bibirnya, menahan rasa sakit yang luar biasa. Ini menyakitkan.
Trash!
"Fi-five....." dan seketika itu bibir Irene langsung berdarah--karena begitu kuatnya Irene menekan bibirnya untuk menahan rasa sakit dari cambukan itu. Tapi rasa sakit dibibirnya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan rasa sakit dibokong dan pinggangnya. Irene akhirnya tidak bisa lagi meredam tangis yang memaksa keluar dari mulutnya. Irene terisak semakin dalam, ia tidak kuat...
Trash!
"Akh, Six." Lalu ringisan Irene semakin keras-- nyaris menjerit, hingga berhasil membuat Diego mendadak melemparkan cambuknya ke arah sembarangan. Diego berhenti, lelaki itu membuang cambuknya.
"Ke-kenapa kau berhenti, Diego?" tanya Irene lirih, suaranya terdengar lemah.
"Pergilah!" perintah Diego sembari membalik tubuhnya. Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Irene karena dia memang tidak ingin mengatakan apapun kepadanya.
Irene tertegun, dia mengira jika hukuman cambuk itu pasti sangat banyak. Tapi ternyata hanya dilakukan sebanyak enam kali. Oh Tuhan.... meskipun hanya enam kali tapi Irene merasakan cambukan itu seperti berpuluh-puluh kali, sekali cambukan itu mengenai kulitnya, disaat itulah Irene hanya bisa menahannya sakitnya kuat-kuat. Itu ia lakukan agar Diego tidak melihatnya sedang menangis. Irene tidak boleh terlihat lemah dihadapan pria itu... Tidak boleh.
Irene tersenyum. "Pergi?" ulang Irene dengan miris, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Diego. "Kau masih sangat marah kepadaku, dan sekarang kau malah menyuruhku pergi. Jadi kau berniat menghukumku sampai disini saja?"
Diego mengabaikan ucapan Irene dan memilih untuk duduk di kursi kebesarannya.
"I'm so sorry..." ucap Irene dengan pandangan mata penuh rasa bersalah.
"I know I hurt you, but is it too late now to say sorry?"
Diego langsung mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak berniat menatap Irene apalagi merespon pertanyaannya.
Well, lagipula untuk apa? Toh nyatanya mereka berdua dengan sadar sudah saling menyakiti. Dan kenapa juga wanita ini sok menatapnya dengan pandangan yang seperti itu? Apa wanita sialan ini masih berani mengajaknya bicara?!
"Diego...."
Irene menatap Diego, melihat lelaki yang begitu ia cintai tengah duduk dihadapannya dengan matanya yang menatap ke arah lain. Bukan Irene. Irene menatap Diego sedih, sementara air matanya langsung jatuh. Keterdiaman Diego nyatanya membuat Irene kembali tersenyum miris. Haha, lucu sekali. Memang apa yang Irene harapkan? Sungguh, melihat Diego yang seperti ini nyatanya membuat hati Irene sakit. Bodohnya dia. Seharusnya memang dari awal Irene memang harus melenyapkan perasaannya kepada Alvaro. Dia seharusnya tidak membiarkan Alva kembali memasuki hidupnya. Sekali lagi, Irene seharusnya melawan Alva ketika lelaki itu berniat melepaskan bajunya. Alvaro sialan! Irene memang bersalah.
Irene menghela napas pelan, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Sangat sulit sebenarnya, menyadari betapa besar keinginannya untuk menangis.
Padahal Irene sudah terluka.... tubuhnya, perasaannya, hatinya....semuanya. Bahkan rasa sakit akibat cambukan itu tidak dapat lagi Irene rasakan. Sakit hatinya mengalahkan semuanya.
Dia ingin Diego, demi apapun yang diinginkan Irene hanya Diego. Terutama Baby twins....
"Aku memang bersalah, aku membiarkan lelaki itu mendekatiku, menciumku. Aku benci mengakui ini, tapi aku benar-benar sangat mencintaimu." ucap Irene pelan dengan pandangan mata menerawang. Kalimatnya membuat Diego kembali menatapnya. Sekali lagi dengan tatapan datar, tanpa mau mengatakan apa-apa.
"Kau juga sudah menghukumku... apa kau masih tidak ingin memaafkanku sekali saja?" tanya Irene lagi sembari menghapus setitik air matanya dengan ujung jari.
Jangan menangis, Irene... Tidak sekarang... Jangan menangis sekarang.
Irene menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan dirinya. Tangannya memeluk tubuhnya yang telanjang, menutupi dadanya.
"Baiklah, seperti yang kau mau." ucap Irene lagi. Irene sepertinya harus benar-benar mengakhiri ini. Lihat saja, sedari tadi sepertinya hanya dia yang bermonolog sendiri tanpa Diego menanggapi.
"Diego... Aku pergi." ucap Irene, kali ini disertai isakannya.
To be continued.
Huhu... Ina padamu IreneðŸ˜
Jangan lupa LIKE KOMEN+SHARE KE TEMEN KALIAN YA!