Irene sudah menunggu, duduk dengan kaki menyilang. Melirik Diego sebentar--ternyata Diego tengah bicara dengan Lucas diluar. Irene sempat melihat wajah Diego yang terlihat marah ketika Christian mengatakan sesuatu kepadanya. Memangnya... apa yang dikatakan Christian?
Irene membuang pandangan ke arah jendela ketika Diego bergegas masuk dan ikut duduk disampingnya. Wanita itu menatap jalanan kota Berlin begitu mobil melaju--tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Pemandangan diluar terlihat sangat indah--dan Irene baru pertamakali menginjakkan kakinya di Kota ini. Bangunan-bangunan tua yang khas, salju yang bertumpuk tipis, hingga hangatnya kerlipan warna lampu di menara Fernsehturm yang mereka lalui--membuat Irene tersenyum.
"Apa kau tidak ingin bertanya kita akan kemana, Irene?" tanya Diego serak--merasa sedikit kesal. "Ayolah, Irene... Jangan diam saja, katakan sesuatu." ucap Diego, mata birunya memandang Irene hangat.
Irene tersenyum tipis. "Baiklah. Memangnya kita akan kemana?" tanya Irene antusias.
"Mansion Alvaro. Seluruh keluarga ku tinggal disana. Aku mau memperkenalkanmu dengan mereka." ucap Diego sembari merengkuh pinggang Irene, lalu mengecup keningnya.
"A-aku... Keluargamu?" gumam Irene, mendadak merasakan kegelisahan didalam dirinya. "Apa kau sungguh melakukan ini, Diego?"
"Tentu saja. Kau ibu dari anak-anakku. Mana mungkin aku tidak memperkenalkan calon istriku pada mereka." ucap Diego--kelewat santai. Sementara degup jantung Irene menggila. Irene berusaha menguraikan pelukan Diego--khawatir Diego bisa merasakannya, tapi pelukan lelaki itu makin erat. "Kenapa? Kau tidak mau aku peluk?" tanya Diego.
Irene menggeleng, menoleh--menatap Diego geli. "Tidak. Sama sekali tidak." ucap Irene sembari menangkup wajah Diego. Namun tatapannya menyorot Diego sendu. "Tapi, bagaimana jika mereka tidak mau menerimaku? Aku takut, Diego..." lirih Irene.
Diego menarik napas dalam, merasakan hal yang sama. "Itu juga yang aku takutkan. Tapi aku akan mengusahakannya." bisik Diego, lalu menarik Irene untuk duduk dipangkuan. "Rasanya seperti disurga. Aku kembali ke rumah--bersamamu. Bersama babies." bisik Diego.
Irene tersenyum, menggenggam tangan Diego yang mengelus perut ratanya. "Apa kau sebegitu senangnya, Diego?" tanya Irene, lalu menyandarkan kepalanya di dada Diego--berusaha mencari posisi yang nyaman.
"Aku sangat senang. Nobody can describe how much you mean to my life." Diego mengeratkan pelukannya, kemudian membenamkan wajahnya ke ceruk leher Irene. Mendekatkan tubuh mereka hingga Irene bisa merasakan helaan napas hangat di lehernya. Familiar. Nyaman. Menenangkan--menghilangkan keraguan Irene pelan-pelan.
Irene tersenyum--memejamkan mata, lalu menarik tangan Diego--mengecupnya. Benak Irene menghangat, mungkin semua ini adalah yang terbaik.
Tapi... Seperti apa reaksi keluarga Diego kepadanya? Bagaimana dia harus bersikap nanti? Bagaimana dia harus bertatap muka dengan orang tua Diego setelah mengetahui kehamilannya ini?
Lalu Mi Lover? Tunangan Diego yang sah. Sejak pertama bertemu dengan Diego--Irene tidak pernah melihat lelaki itu memakai cincin di jemarinya. Apakah mereka sudah lama berpisah? Tapi... kenapa Diego masih sempat memperhatikan wanita itu?
Kepala Irene mendadak berat. Penuh. Dia menyandarkan pelipis di dada Diego, membiarkan kantuk menyergapnya lagi--perlahan, semuanya kembali gelap.
***
ALVAROS Familiy Mansion. Berlin - German | 09:00 AM.
"Sweetheart.... Bangunlah." bisik Diego, mengelus kepala Irene dengan lembut. Irene mengerjap, sadar karena suara Diego membangunkannya.
Memijit kening, Irene menatap Diego yang kini tengah menggendong tubuhnya. "Diego! Turunkan aku!" pekik Irene, matanya melotot.
Diego terkekeh, lalu mengecup kening Irene dengan gemas. "Sekarang kau baru bangun, tapi saat aku gendong kau malah semakin nyenyak. Sepertinya kau ini suka sekali aku gendong." bisik Diego, binar dimatanya memandang Irene geli.
"Aku tidak memintamu untuk menggendongku!" ucap Irene tidak terima.
Diego tersenyum, menyeringai, lalu berjalan ke arah kiri--melewati air mancur yang berada ditengah-tengah halaman mansion. Dia kemudian menurunkan Irene, sementara wanita itu langsung berdiri sembari memegang dadanya. Mendongak keatas--melihat kemegahan Mansion keluarga Alvaro.
Oh God.... Irene tidak pernah melihat rumah sebesar ini. Tiang-tiang kokoh menjulang tinggi, undakan tangga yang tersusun indah, halaman yang luas, air mancur raksasa--hingga warna klasik yang melapisi dinding dari bangunan menakjubkan itu. Irene terpana beberapa saat--bukan karena dia udik, melainkan ditempatnya berasal belum pernah dia melihat bangunan yang lebih mirip dari istana daripada rumah pada umumnya.
"Irene!" suara Diego membuyarkan lamunan Irene. Irene mendongak, membalas tatapan Diego. Dia tidak menyadari jika Diego sudah lebih dulu berjalan--sekitar beberapa langkah darinya. Tangannya melambai, memanggil Irene. Mau tidak mau Irene mengikutinya, berjalan disebelah Diego.
Namun sayangnya kegelisahan Irene kembali seiring jarak ruang utama mendekat. Mereka hanya kurang beberapa langkah, percakapan antara orang-orang disana juga sudah terdengar sayup-sayup... Irene menghentikan langkah, keberaniannya menguap. Diego ikut berhenti didepannya--membalik tubuh.
"Diego... Sebaiknya aku tidak-"
"Ayo!" potong Diego cepat--tidak memedulikan ucapan Irene. Lelaki itu tidak mengatakan apapun selain merangkul pinggang Irene dan menghelanya masuk.
Jantung Irene memompa keras, terlebih ketika pembicaraan yang sempat Irene dengar menghilang. Ruangan itu mendadak sunyi. Irene yakin pandangan semua orang sudah terarah kepadanya, sementara dia hanya berani menatap lantai--belum siap melihat tatapan dari orang tua Diego. Namun....
"Oh Jesus.... Anakku Diego, kau benar-benar datang?" sapaan hangat Jasmine Eleanore Poetri membuat Diego melepaskan rangkulannya. Wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu bangkit dari duduknya, tersenyum--berjalan memutari meja ke arah Diego.
"Kenapa kalian datang lama sekali? Aku sudah tidak sabar ingin melihat menantuku!" seru Sean Morgan Alvaro dari kursinya, menatap Diego dan Irene bergantian lewat mata birunya yang jernih.
Diego mencium pelipis Jasmine setelah mereka berpelukan, tersenyum, membalas tatapan Sean. Lalu melirik Irene sebentar sebelum berkata. "Calm down, Dad! Dia sudah ada bersama kita."
Jasmine sendiri kini tengah mencuri pandang kepada Sean. Menatap suaminya dengan wajahnya yang kebingungan. Tapi Sean malah menempelkan telunjuknya dibibir--memintanya untuk diam.
"Nak Irene.... Kau kah itu? Kemarilah, Daddy ingin melihatmu lebih dekat." Sean mengatakan ini sembari menatap Irene hangat.
Irene menggeleng, matanya berkaca-kaca. Tidak menyangka akan mendapat respon seperti ini. Irene segera melangkah mendekati Sean setelah dia melirik Diego yang menganggukkan kepalanya--membolehkannya. Diego menatap lekat setiap langkah Irene tanpa cela, hingga wanita itu sudah sampai di depan Sean.
"Menantuku." gumam Sean dengan binar bangga, menatap wajah Irene yang bersinar--mungkin itu karena dia sedang mengandung cucunya. Ya, Sean memang sudah mengetahui kehamilan Irene sebelum Diego menjelaskan semuanya tadi malam. Sean punya banyak mata-mata, termasuk untuk mengawasi tingkah putra sulungnya itu.
Soal Lovelyn.... Mi Lover, seseorang yang sudah dia anggap seperti putrinya sendiri--sekaligus merangkap sebagai tunangan putranya--kini Sean sama sekali tidak ingin melihat wanita itu lagi. Wanita itu ternyata ular--yang kapan saja bisa menyerang putranya, Diego Alvaro.
"Bagiamana keadaanmu, Nak Irene?" tanya Sean, wajahnya yang selalu terlihat tegas itu kini menatap Irene lembut.
Irene tersenyum, mengusap kedua matanya yang hampir saja meneteskan air mata kemudian berkata. "Aku sehat, bahkan aku sangat kuat. Bukankah begitu, Diego?" tanya Irene--mendadak ceria. Diego menatap Irene dari kejauhan, terkekeh, tidak menyangka dengan sikap Irene yang cepat sekali berubah--mirip seperti anak kecil yang sedang bertanya pada temannya. Lucu. Hormon hamil memang begitu.
"Jangan tanyakan kondisinya, Dad!" seru Diego dari tempatnya berdiri, melirik Irene sebentar sebelum menatap ayahnya lagi. Menyeringai. "Dia memang sangat kuat ketika diranjang, aku saja kewalahan."
Irene langsung melotot, menggeleng--menunjuk wajah Diego dengan jarinya sementara ruangan itu dipenuhi tawa Sean. "Tidak! Bukan aku, Dad! Itu Diego!" ralat Irene cepat, menatap Diego kesal--sementara pipinya sudah memerah. Sialan! Kenapa lelaki itu malah membahas hubungan intim mereka?!
Diego balas menatap Irene, tersenyum miring. "Aku? Yang benar saja. Kau sudah gila?"
Irene menggeram. "Jangan berbohong! Aku tidak pernah melaku-"
"Memang begitu." potong Diego cepat, berjalan mendekati Irene dan menurunkan jari yang diacungkan Irene, lalu menyeriangi. Mengabaikan pandangan semua orang terhadap mereka.
"Ayolah, Irene... Kita baru melakukannya lima kali. Kau mengenalku, mana mungkin itu cukup." ucap Diego. Sontak itu membuat Sean kembali tertawa--sementara Irene mendadak tidak bisa berkata-kata.
***
"Kau sudah menyuruhnya datang kesini?" tanya Sean Alvaro sembari membenarkan posisi duduk bersandarnya di atas ranjang.
"Sudah. Dilan juga barusan menelpon, katanya dia sudah dijalan." ucap Jasmine Eleanore Poetri sembari mengulurkan segelas air putih kepada Sean.
"Baiklah... Bersama siapa?" tanya Sean sembari meraih gelasnya, dia juga langsung menenggak beberapa obat yang turut Jasmine berikan ketika kalimat Jasmine selanjutnya nyaris membuatnya tersedak.
"Mi Lover menemaninya. Mereka datang berdua."
"Apa? Mi Lover?" ulang Sean. Tidak hanya nada suaranya, pandangan matanya ketika menatap Jasmine juga menyiratkan rasa ketidak-percayaannya. Well, itu membuat Jasmine tersenyum.
Jasmine lantas duduk disebelah Sean, menaruh gelas bekas Sean di atas nakas sebelum menggenggam tangan Sean erat.
"Dilan dan Mi Lover akan datang kesini. Oh Sean.... Aku sangat merindukan mereka. Akhirnya aku bisa melihat mereka lagi."
"Tapi kenapa dia harus ikut?!" erang Sean sembari memberikan tatapan melototnya. Dia juga menghempaskan tangan Jasmine yang turut membuat Jasmine terkejut.
"Tentu saja dia ikut. Dia adalah putriku, Sean!"
"Sejak kapan wanita ular itu menjadi putrimu?" tanya Sean cepat--menghujami Jasmine dengan tatapan dinginnya.
Jasmine menelan ludah, sadar jika suaminya itu tidak menyukai perkataannya barusan. Ayolah.... Jasmine sangat menyayangi Mi Lover sejak wanita itu masih anak-anak. Jasmine sering sekali mencemaskan keadaan Mi Lover ketika anak itu baru pertamakali menaiki tangga, dengan kasih sayang dari keibuannya--Jasmine menuntun Mi Lover disetiap langkah undakan tangga. Mi Lover adalah putrinya. Anaknya. Sama seperti Diego dan Dilan--kasih sayangnya kepada Mi Lover juga sama besarnya. Tapi... Ada apa dengan suaminya ini? Biasanya Sean lah yang lebih pengertian kepada Mi Lover daripada dirinya.
"Kenapa kau memanggilnya seperti itu?" Jasmine berucap pelan, menatap Sean dengan pandangan bingung.
"Anak itu tidak sebaik yang kau kira, Jasmine. Kita benar-benar berhasil diperdaya olehnya. Kau tau?"
Sontak hal itu membuat Jasmine menggelengkan kepalanya, mengernyit. Wait... Diperdaya?
"Aku tidak mengerti Sean. Jelaskan kepadaku!" erang Jasmine kesal karena Sean berhasil membuatnya pusing memikirkan ini. Belum lagi dengan gadis yang bernama Irene itu.
Helaan napas terdengar, Sean menatap Jasmine lekat-lekat. "Musuh terbesar anak kita ternyata bekerja sama dengan Mi Lover. Wanita itu memang tidak menunjukkan tabiatnya, tapi mataku tidak bisa dia tipu. Senyumnya kepada kita, itu palsu."
Jasmine membatu. Kata-kata Sean berhasil membuatnya shock setengah mati. "A-apa? Dia... Dia sungguh melakukan itu? Kau berbohong kepadaku 'kan, Sean?" tanya Jasmine tidak percaya.
Sean menggeleng, "Sejak kapan aku berbohong tentang masalah yang menyangkut hidup anakku, Jasmine?" balas Sean dengan nada suaranya yang berat. Meruntuhkan sifat keras kepala istrinya yang dibutai rasa sayangnya kepada Mi Lover.
Sementara itu mata Jasmine sudah berkaca-kaca, dia sama sekali tidak bisa mempercayai semua ini. Tapi perkataan Sean selanjutnya berhasil membuatnya nyaris menangis.
"Dia bersekongkol dengan musuh Diego untuk membunuh putra kita. Putra sulung kita Diego."
Jasmine menyentuh dadanya--mendadak merasa sakit dihatinya ketika mendengar kenyataan yang sangat memukul kepercayaan dan rasa sayangnya selama ini. Ini benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya anak itu mengkhianatinya. Kenapa anak itu tega sekali ingin menghabisi suadaranya ketika dia sudah sangat menanggap Mi Lover sebagai putrinya? Ini... Menyakitkan.
"Jadi... Kita harus menjauhkannya dari Diego. Wanita itu tidak boleh berada didekatnya anak kita. Tidak boleh!"
"Itu juga yang aku inginkan. Tapi kau..." Sean menatap Jasmine kecewa sebelum menutup matanya erat-erat. "Kau malah membawanya kemari. Jasmine... Seharusnya kau tanyakan hal ini dulu kepadaku."
Jasmine menatap Sean tidak enak. Dia meraih kembali pergelangan tangan Sean dan menggenggamnya erat. "Maafkan aku... Aku tidak tau." bisik Jasmine, tangannya terulur menyentuh rahang Sean yang tegang--membelainya dengan lembut.
"Kalau begitu kita langsung pisahkan mereka. Batalkan saja pertunangan mereka." ucap Jasmine mantap setelah mengusap matanya. Air matanyaa ini tidak pantas jatuh untuk anak pengkhianat itu.
Sean balas menatap Jasmine, tersenyum, lalu menarik Jasmine kedalam pelukan. Jasmine tidak menolak, bahkan dia membiarkan saja ketika Sean Alvaro menghujani puncak kepalanya dengan kecupan.
"Idemu sangat bagus. Aku akan mengatur semuanya. Kau tenang saja." ucap Sean serak sementara tangannya terus membelai punggung Jasmine.
"Tapi, Sean..." ujar Jasmine tiba-tiba sembari menarik diri dari pelukan Sean. "Kau masih berhutang penjelasanmu tentang gadis yang bernama Irene itu."
Sean menarik sudut bibirnya--tersenyum geli karena melihat tatapan menyelidik dari istrinya itu. "Irene?" ulang Sean.
"Ish, kau ini! Memangnya gadis mana lagi yang bernama Irene selain dia!" erang Jasmine jengah sembari memberikan tatapan melototnya. Tapi Sean malah tersenyum jenaka ke arahnya.
"Irene itu gadis yang baik. Dia tidak seperti gadis-gadis yang pernah mengejar Diego. Gadis itu berhati malaikat. Polos. Apa adanya dan tidak gila harta. Dia itu berbeda." ucap Sean sembari membayangkan pertemuannya dengan anak buahnya yang ia tugaskan untuk mengawasi orang-orang yang tinggal bersama Diego, anak buahnya itu mengatakan hal yang sama dengan apa yang ia katakan kepada Jasmine. Gadis itu.... sosok yang pantas buat Diego Alvaro.
Jasmine tersenyum. "Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Saat pertama kali aku melihatnya, yang kulihat hanya ada ketulusan dimatanya."
"Hm, kau benar." sahut Sean. "Irene juga sedang mengandung cucu kita."
Jasmine mengernyit--mengedipkan mata berkali-kali. Suaranya bahkan terbata-bata ketika mengatakan, "W-what? Cucu? Irene hamil?!" pekik Jasmine, matanya berbinar-binar. Binar bahagia.
Sean tersenyum lagi, mengangguk. "Aku sangat senang, Jasmine... Apalagi saat mengetahui jika cucu kita kembar."
"Kembar?" Jasmine menutup mulut, tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Yeah. Tak lama lagi rumah kita akan dipenuhi oleh tawa mereka. Aku bisa membayangkannya...."
"Oh Jesus.... Terimakasih!" pekik Jasmine sembari memeluk Sean dengan erat--memejamkan mata, sementara Sean mengelus kepalanya dari belakang. Benaknya mendadak hangat, merasakan kebahagiaan yang sangat langka ini.
To be continued.