Chereads / Diego & Irene / Chapter 26 - Chapter 26 : Nafsu dan Cinta

Chapter 26 - Chapter 26 : Nafsu dan Cinta

"Irene..."

Belum sempat Irene memeriksa lebih, lengan Diego tiba-tiba saja sudah memeluknya dari belakang--mendekapnya. Wajah Diego tenggelam di lekukan lehernya, memberi Irene gigitan kecil-kecil. "Kebetulan sekali kau bangun," bisik Diego serak. "Aku menunggumu, dari semalam."

"Apa ada yang mengganggumu selama aku pergi, Irene?" Diego menciumi bahu dan tengkuk Irene secara bergantian. Termasuk menghirup aroma mawar pada tubuh Irene yang menggoda.

"Aaahh... tidak ada..." Irene mendesah saat tangan Diego masuk melewati gaun tidurnya. Tangannya yang berotot menjamah kulitnya dan akhirnya menangkup payudaranya yang sekal, meremasnya dengan kuat.

"Aahh.. jangan Diego!" Irene memekik, memegang pergelangan tangan Diego dan tanpa sadar ikut meremas tangan Diego karena begitu kerasnya pria itu meremas payudaranya.

Diego menggeram, dia membalik tubuh Irene--menarik Irene kasar ke tubuhnya. Kaki Irene terangkat dari lantai, Diego menangkup bokongnya, mengangkatnya--menyandarkan Irene ke dinding. Irene mengerang, lebih keras, membiarkan Diego menyerang bibirnya dengan gairah yang liar--lidahnya mendesak dalam, seakan memperingatkan Irene akan gairahnya yang besar.

"Diego...." desah Irene begitu ciuman mereka terlepas.

Diego menyeriangi, Irene melihat itu--tapi tidak terlalu jelas karena gelap. "Sudah dua hari aku tidak tidur, dan itu karenamu." bisik Diego, makin mendorong Irene ke dinding--pahanya yang keras didesakkan diantara kaki Irene. "Rasanya aku hampir mati, jika kau jauh dariku." geram Diego. Tangannya mencengkram bokong Irene, bibirnya menggigit telinga Irene--membuat anting-anting Irene menyapu lehernya.

"Di-diego... hen-hentikann..." lirih Irene di antara rasa takut.

"Kenapa kau takut, sayang?" bisik Diego dengan suara yang berubah lembut. Diego memindahkan kepalanya--mencari sisi leher Irene yang ingin dia jelajahi, merendahkan kepalanya ke samping. Merunduk--bibirnya merayap bagai lintah di sepanjang leher Irene yang lembut dan harum.

Tanda cinta dan memar merah dua hari lalu masih membekas di leher Irene. Lalu di peluknya tubuh Irene dengan erat dan posesif. Menghirup dalam-dalam aroma mawar di tubuh Irene dengan bibir yang masih menempel dilehernya. Diego benar-benar telah terobsesi dengan Irene.

Sementara itu gairah Irene makin naik. Tapi aroma rokok yang ikut menguar di tubuh Diego membuatnya menahan diri. Irene mengernyit. "Jangan menciumku lagi... Ku mohon... Aku tidak suka bau rokok," erang Irene, mendorong dada Diego--meminta diturunkan.

Diego menahan Irene, tangannya yang berotot menekan tubuh Irene--tapi tidak mengenai perutnya.

Diego mencuramkan alis, tatapannya menajam. "Kau menolakku?" tanya Diego tak percaya, wajah tampannya terlihat tidak terima.

Irene seharusnya mengatakan 'tidak'. Irene tidak munafik, dia juga menginginkannya. Dia butuh Diego. Tapi akal sehatnya mengurungkannya, tanpa sadar, mata beningnya yang sedikit mengabur karena genangan air mata kini bertemu dengan mata biru safir indah milik Diego.

"Aku senang melihatmu menangis karenaku, sayang. Kau terlihat sangat cantik... membuatku ingin menyentuhmu setiap waktu." Diego menggendong Irene dan membawanya masuk ke dalam kamar tidur.

"Tu-tunggu Diego.... Irene belum mandi..." Irene gugup sembari memeluk dada. Dia belum siap melakukannya lagi.

Diego menarik tangan Irene dan membawanya ke mulutnya. Lalu diciumnya dengan lembut hingga sebelumnya wajah Irene yang merona semakin padam.

"Aku lebih senang dengan aroma alami tubuhmu, sayang." Diego mendekatkan wajahnya ke arah Irene hingga kening dan hidung mereka menempel satu sama lain.

Irene menguatkan diri. Karena itu dia langsung menjauhkan kepalanya, membuang wajah--membuat Diego terkejut. Dia lalu tidur di atas ranjang. Tapi Diego ikut tidur di sampingnya.

"Jika kau tidak bisa aku paksa, akan kubuat kau sendiri yang menginginkan-nya." Batin Diego.

Irene membalik tubuh, sengaja membelakangi Diego. Tapi tiba-tiba lengan Diego sudah melingkupi tubuh Irene--memeluknya. Dada bidangnya bahkan menempel erat di punggung Irene sementara jemarinya mulai membelai--menarik puncak dada Irene, mencubit dengan gemas putingnya. Irene menahan napas--mencegah erangan. Sangat susah. Helaan napas Diego serasa menyenangkan di kulitnya.

"Diego...."

"Kau menginginkannya," bisik Diego serak--jemarinya bergerak turun, bergerilya. Diego menyibak gaun tidur Irene, menyentuh tepat di pusat dirinya. "Disini." erang Diego.

Irene mengerang keras--dia terperangkap. Tubuh besar Diego sudah menutupi tubuhnya. Lengannya melingkari Irene--giginya menancap di bahunya, menahannya--menguasainya.

"Terima aku, Irene. Biarkan aku masuk." mohon Diego tertahan. Irene menutup mata, merasakan desakan dua jemari Diego di dalam tubuhnya.

Irene ingin menyerah, tapi dia tidak akan membuatnya mudah. "Aku tidak suka bau rokok!" ucap Irene keras kepala.

Diego mengerang. "Ini terakhir kali. Aku berjanji!"

"Berapa kali dalam hidupmu kau berkata--ini terakhir kali?" dengus Irene. Diego terkekeh--tapi Irene membiarkan Diego melolosi gaun tidurnya, membuatnya telentang--lalu naik di atasnya. Mengurung tubuh Irene dengan lengan kiri dan kanan.

"Kali ini benar-benar yang terakhir," erang Diego. Bibir Diego bergerak di kulit Irene--meninggalkan jejak panas ke arah mulutnya. Melumat bibir Irene dengan lembut, lalu menyentuh lidah Irene dengan jilatan menggoda.

"Aku bisa tanpa rokok, tapi tidak tanpamu." bisik Diego, mengirimkan getaran nikmat di tubuh Irene.

"Sekali saja, lakukan sekarang." erang Irene tertahan.

"Well, tidak janji. Ini nikmat, tidak mungkin sekali." ucap Diego, menyeriangi, merunduk--dan mendesak dalam--menyatukan tubuh mereka.

"Diego!" teriakan tajam dan rendah Irene meluncur. Kaki Irene gemetar--Diego sangat ahli. Irene memeluk lengan Diego dan meremas bahunya yang lebar. Irene menahan tusukan demi tusukan yang Diego berikan kepadanya. Diego mencengkram pinggangnya--memperbaiki posisinya. Tahu benar posisi yang tepat--Irene merasa penuh. Nikmat. Diego membawa dirinya keluar masuk lagi dan lagi. Semuanya semakin intens saat Irene merasa ditelanjangi, bukan hanya raganya--saraf dan jiwanya juga berhasil Diego gapai.

Diego seperti hilang kendali, dia menghentak Irene keras, mendesaknya bagai orang gila. Tapi Irene tidak bisa melakukan apapun selain menerimanya. Irene gemetar--tapi dia bertahan, merentangkan dirinya--menyambut desakan Diego. Selama bercinta, Irene selalu mengalami klimaks berkali-kali. Tapi tidak ada tanda-tanda Diego akan berhenti.

"Kau milikku," erang Diego keras, mencium pipi Irene.

Irene tidak menjawab--sulit berpikir jernih. Entah sudah berapa kali sperma Diego masuk memenuhi rahimnya--pria itu tidak memakai pengaman--seperti biasa. Tubuh Irene terhentak keras, gemetar karena kenikmatan yang menyiksa. Butir-butir keringat mengalir turun dari atas kepalanya, sementara matanya berubah buram seiring kenikmatan yang datang bertubi-tubi.

"Ya, seperti itu," Diego mengerang saat Irene merapatkan dirinya dengan tubuhnya. Di hujamnya pusat Irene dengan desakkan dalam, "Aku ada untuk membuatmu lepas kendali, sementara kau... kau ada untukku lindungi."

Diego menggeram liar begitu puncaknya datang--memenuhi Irene. Lengan dan kaki Irene memeluknya erat--menikmati penyatuan mereka, bagian dalam tubuhnya panas.

Diego menarik diri, langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Irene--nafas mereka terengah-engah. Tapi beberapa menit kemudian Diego bangkit, memposisikan tubuhnya di atas Irene. Mata birunya berkilat penuh gairah, terlebih dengan wajahnya yang tampan tidak terlihat lelah.

Irene melotot. Oh God... Laki-laki ini belum selesai.

Mereka akhirnya melakukannya lagi hingga pagi.

***

Unknown place. Los Angeles - USA

"Kau menemukannya?" tanya seseorang dengan nada dingin. Dia duduk di atas sofa, terdapat secangkir wine berwarna merah ditangannya. Menatap tajam seorang pria berjambang yang duduk didepannya dengan wajah tertunduk.

Sembari mencuramkan alis, pria bertubuh atletis itu mencengkram erat cangkirnya saat anak buahnya itu berkata, "Gadis yang bernama Irene itu saat ini tinggal di kediaman Diego Alvaro. Penguasa dunia bisnis yang saat ini menjadi saingan kita."

Hembusan napas kasar terdengar, lalu pria itu menghabiskan wine-nya dalam sekali tegukkan. "Lalu Lovelyn, dia masih di Swiss?" tanyanya lagi, menahan rasa terbakar di tenggorokannya.

Anak buahnya itu mengangguk, kemudian berkata, "Dia bersama kakak kembarnya--Mi Lover."

"Baiklah kalau begitu. Kau suruh anak buahmu mengawasi Lovelyn, pastikan dia melaksanakan semua perintahku. Dan kau... tetap awasi Irene, dan culik dia jika ada kesempatan. Mengerti?"

Anak buahnya itu mengangguk lagi.

"Bagus," pria misterius itu tersenyum, menyeriangi sembari mengambil botol wine yang baru--meminumnya langsung. "Lovelyn.... gadis cantik tapi tidak berotak. Dia polos... sampai semua orang memanggilnya Lily. Dasar bodoh!" kekehnya renyah.

Tapi tak lama kemudian mata pria itu menggelap. Bibirnya berkedut--mendesis tajam di antara kegelapan. "Aku akan mendapatkanmu lagi, sayang... tapi Lily yang akan bermain." katanya sembari membayangkan wajah cantik Irene, senyumnya, tawanya, suaranya, tubuhnya--semuanya. Semua yang ada pada Irene membuatnya tergila-gila. "Dan si brengsek itu akan mati."

To be continued.