Chereads / Diego & Irene / Chapter 22 - Chapter 22 : Masa Lalu Irene

Chapter 22 - Chapter 22 : Masa Lalu Irene

FLASHBACK ON!

7 tahun lalu....

At SMP Starlight. Jakarta Utara - Indonesia | 04:00PM.

Seorang pria berseragam guru dengan kasar mencoba merobek pakaian Irene yang baru saja dibelikan oleh Alva untuknya. Irene menjerit, mencakar, mengigit, menendang, namun perlawanannya seakan sia-sia.

"Alva!" Teriakan dan isakan Irene memenuhi ruangan. Irene berteriak memanggil nama itu berkali-kali, berharap Alva akan datang menolongnya.

"Teriak saja, anak kecil itu tidak akan menemukanmu disini." Pria jahat itu terkekeh melihat Irene yang menangis histeris.

Pria berumur kepala empat bernama Gilang itu begitu mudah melakukan aksinya, karena tidak membutuhkan waktu lama sampai pakaian Irene sudah berserakan di atas lantai. Berbekal pakaian dalam yang dikenakannya, Irene menangis saat guru olahraganya itu mengamatinya dari atas hingga bawah. Irene mencoba menutupi tubuh bagian atasnya dengan tangan gemetar.

"Kau sangat cantik, Irene. Bapak menyukaimu." kata Gilang senang dengan mata kian menggelap.

Irene yang mendengar dan melihat kedua mata gurunya seketika mual.

"Gilang! Cepat sedikit! Segerombolan siswa mendekati tempat ini!" teriak seorang pria yang berjaga dari arah luar, Irene seketika mengerjap--menyadari jika gurunya itu bekerja sama dengan seseorang untuk melecehinya--tangis Irene semakin tergugu, dia ingin meminta tolong pada teman-temannya.

"Teman-teman... tolong aku! Irene di gudang!" Irene tidak percaya dia bisa berteriak sekeras ini, dengan kekuatan yang tersisa, Irene mencoba untuk menendang kemaluan pak Gilang saat pria itu lengah karena teriakannya beberapa saat lalu membuat pintu gudang di gedor dengan kuat.

"Brengsek!" Gilang mengumpat, dia mengaduh kesakitan sembari memegang kemaluannya yang ditendang oleh kaki kecil Irene.

Dug! Dug! Dug!

Dobrakan itu mengakibatkan engsel pintu terlepas, melihat itu Tom dan Gilang dilanda kepanikan. Gilang pun makin panik saat Irene berhasil melepaskan diri darinya, belum lagi dengan pintu yang di dobrak begitu kuat yang sepertinya tidak lama lagi berhasil dibuka.

"TOM! TANGKAP GADIS KURANG NGAJAR ITU!" teriak Gilang pada Tom--temannya yang ikut membantunya untuk menodai Irene.

Sementara Tom yang mendengar teriakan menggema Gilang masih berupaya menahan pintu agar tidak terbuka. "Keparat! Kau tidak lihat aku sedang menahan pintu ini?!" maki Tom kesal. Gilang yang tidak ingin dihajar massa buru-buru membantu Tom.

Irene sendiri saat ini tengah memojokkan diri di sudut ruangan, dengan linangan air mata, Irene menatap nanar seragam putih birunya yang habis terkoyak. Irene kembali melihat Gilang dan Tom yang berusaha menahan pintu, saat itulah terbersit dalam otaknya untuk kabur.

Kesempatan emas....

Irene perlahan bangkit dan berdiri. Jarak antara dirinya dengan jendela tidak cukup jauh. Merasa lebih tenang dengan pikirannya barusan, Irene mengambil ancang-ancang untuk berlari. Pada hitungan ketiga, bertepatan dengan usaha mereka yang menguras tenaga, Irene berjalan mengendap penuh waspada. Saat mencapai bibir jendela, Irene mempercepat langkahnya--nyaris berlari.

Tidak sedikitpun menoleh kebelakang, Irene melangkahkan kakinya melewati jendela.

Irene bersyukur, untung saja gudang sekolahnya berada di lantai dasar, hingga Irene tidak perlu meloncat dari ketinggian dengan berbagai resiko yang akan dialaminya.

Sambil menahan nyeri dikakinya, Irene berusaha berlari lebih cepat, secepat kakinya yang terluka mampu dilakukan. Bertepatan dengan itu, suara teriakan dari dalam ruangan menggema hingga ke telinga Irene.

"Gadis itu kabur!" Teriakan Tom memenuhi kesunyian senja di sekolah yang sudah sepi ini.

Irene semakin takut untuk menoleh ke belakang. Irene berlari cepat menuju lorong gelap yang bersekat. Begitupun dengan langkah kaki mereka yang juga turut menyamai kecepatan Irene.

Tuhan... Tolong aku! Kumohon!

Irene terus berdoa sampai kemudian matanya menangkap pintu kecil di ujung lorong yang setengahnya tertutupi gorden kusam, tak ingin berlama-lama berpikir, Irene menarik gorden dan membuka pintu itu.

Irene mencoba melihat ke belakang, suara derap langkah kaki mereka kian mendekat ke arahnya. Dengan langkah berani Irene menginjakkan kakinya ke balik pintu kecil itu.

Ketika Irene bersusah payah melewati pintu kecil dan sedikit tajam di setiap sudut sisinya, semilir angin menerpa tubuhnya yang setengah telanjang. Irene menyipitkan matanya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Aku ada dimana?" Irene berbisik lirih. Ternyata pintu kecil yang tersembunyi itu membawanya keluar dari gedung sekolah menuju hutan lebat yang bertempat dibelakang sekolahnya.

"Sepertinya gadis itu pergi lewat pintu kecil ini!" Samar-samar teriakan dari belakang dan dalam ruangan menyadarkan kembali lamunan Irene.

Irene kembali panik. Ia kembali berlari dan terus berlari hingga melewati jalan setapak.

Kenapa semuanya harus terjadi kepadanya?

Berjalan di lorong gelap, di tanah asing yang jauh dari peradaban, tanpa alas kaki, tubuh yang berbalut pakaian dalam, hampir diperkosa oleh para bajingan itu.... Sempurna sudah penderitaan Irene.

"Tidak! Ini bukan waktunya untuk menangis!" Irene mengusap air matanya yang tanpa sadar mulai jatuh tak berdaya.

Irene kembali berjalan, mengabaikan suara aneh di samping kanan dan kirinya. Sampai sebuah cahaya dari depan semakin nampak jelas terlihat.

"Apa itu jalan raya?" Irene tersenyum lega. Ia melangkahkan kakinya semakin cepat.

"Aku menemukan gadis itu!" Suara menggelegar yang Irene sedikit kenali terdengar begitu dekat. Pak Gilang.

"Tidak..." Irene menoleh sekilas dan melihat dua bayangan pria di belakangnya.

Irene kembali berlari. Ketakutan seakan menghapus rasa sakit dikakinya. Ia terus berlari dan berlari hingga akhirnya kakinya mencapai jalan beraspal.

Saat itulah cahaya yang begitu silau menerpa kornea mata Irene--membuat pandangannya sedikit mengabur. Sebuah mobil hampir saja menabrak tubuhnya.

Ckit!

Irene mengerjapkan matanya. Mengusap kedua matanya berkali-kali dengan punggung tangannya. Kakinya beringsut mundur ketika sang pemilik mobil itu membuka pintu.

Irene semakin nelangsa, apa tidak cukup dua orang pria itu mengejarnya? Lalu kini pemilik mobil itu sepertinya akan turut serta didalamnya.

Irene segera membalikkan tubuhnya dan bersiap-siap untuk kembali berlari.

"Tunggu! Jangan lari!"

Suara itu.... Apa itu suara Alva?!

Irene masih terus berlari, namun langkah kaki di belakangnya lebih cepat darinya. Sampai sepasang tangan kokoh memeluk tubuhnya dari belakang.

"Tidak! Lepaskan aku!" Irene memberontak dan menggigit lengan lelaki itu dengan liar, namun lelaki itu malah semakin erat memeluknya.

"Irene, tenanglah! Ini aku!"

Dalam sekejap Irene terdiam. "Al... Alva?"

"Iya, ini aku. Alva pacarmu." Alva melonggarkan pelukannya ketika dirasa Irene sudah kembali tenang.

Irene memberanikan diri dan memutar tubuhnya. Tubuh jangkung dengan mata birunya kini tengah menatapnya dengan cemas.

"Kau tidak apa-apa?" Alva mengusap keringat di dahi Irene dan merapihkan rambutnya yang kini acak-acakan.

"A...aku pikir kamu... kamu masih di London." Irene sesenggukan dan mengusap air matanya yang sejak tadi jatuh. Irene lega karena lelaki itu menemukannya. Lega... lega karena Alva kini berada dihadapannya.

Alva menatap kondisi Irene yang begitu tragis. Hanya memakai pakaian dalam dan terlihat bercak darah di bagian kakinya. Begitu berantakan... Alvi sekali lagi menahan emosi di dadanya.

"Aku tidak akan pulang cepat kalau bukan karena kau." Alvi memeluk tubuh Irene yang bergetar dan kedinginan. Dikecupnya kepala Irene untuk menenangkan gadis kecil itu.

Irene menghirup lekat-lekat aroma pinus ditubuh Alva. Matanya yang semula terpejam kini kembali terbuka. Saat itulah, dua orang pria yang hampir saja mengambil kesucian Irene telah berdiri dibelakang Alva.

Alva kembali merasakan ketakutan di dalam diri Irene. Tubuh mungilnya kembali bergetar, bahkan tubuhnya semakin merapat ke tubuhnya. Begitupun dengan tangan Irene yang terlihat semakin erat mencengkram jaketnya.

"Ada apa, Irene?" Irene melepaskan pelukan gadis kecil itu, namun arah mata Irene mengarah tepat di belakang tubuhnya.

"Me... mereka..."

Alva menoleh kebelakang. Ia melihat dua orang pria berbadan kekar tengah berdiri dengan seringai iblis di wajah mereka.

"Kembali ke sekolah, Alva?" Sapa pria bernama Gilang, namun Alva hanya menatapnya datar.

Alva kembali memutar tubuhnya dan menanggalkan jaketnya. Lalu di selimutinya tubuh Irene dengan jaket itu--cukup besar hingga menutupi tubuh indah Irene.

Setelah itu Alva menghela Irene menuju ke dalam mobil. Melewati Gilang dan temannya yang masih mendaratkan matanya ke arah Irene.

"Tunggu di dalam." Alva mendorong tubuh Irene ke dalam mobil. Irene pun hanya bisa pasrah.

Setelah Irene benar-benar tidak mampu mendengar percakapan mereka, Alva mengalihkan perhatiannya kembali pada Gilang.

"Berani melawan gurumu, Alva?"

Alva menggeleng, lelaki berumur 15 tahun itu berdiri dengan gagah dihadapan pria yang lebih tua darinya, menatap mereka berdua dengan sorot mata mematikan namun bibirnya tersenyum penuh. Muda dan menakutkan.

Melihat tatapan Alva yang sangat tajam itu seketika membuat kaki mereka bergetar.

"Bapak harus tau, jika aku hanya berani dengan seorang pecundang." jawab Alva jujur, dia menatap satu persatu dari mereka berdua. Gilang mengepalkan tangan. "Sepertinya aku menemukan guru mesum disini, perlu aku telpon polisi?" ucap Alva terlampau tenang.

Gilang menggeram. "Jangan banyak bicara, Alva! Lebih baik kau pergi dan kembalikan Irene padaku!"

Alva tertawa sinis. "Jika aku pergi.... lalu, siapa yang akan menangkap kalian?" kata Alva sopan, tapi sebenarnya dia muak.

Kata-kata Alva yang terdengar mengancam itu membuat Gilang dan Tom emosi, kesal karena anak kecil itu mengancam mereka dengan candaan bodohnya. Kurang ngajar!

"Apa ada yang mengatakan betapa keras kepalanya dirimu?!" erang Gilang kesal, selama tiga tahun mengajar, dia baru menemukan anak lelaki yang keras kepala seperti Alva.

Alva terkekeh, tawa yang membuat siapapun terpana.

"Bagaimana kalau kita bertaruh, Alva? Jika aku menang, Irene akan menjadi milikku. Tapi jika kau kalah-"

"Nyawamu yang menjadi taruhannya." Alva memotong kalimat Gilang. Mata birunya berkilat dengan senyum keji.

Akhirnya aku bisa mencium bau darah lagi.

To be continued.