Chereads / Diego & Irene / Chapter 20 - Chapter 20 : I'm Not Afraid, But I Want You Here, With Me

Chapter 20 - Chapter 20 : I'm Not Afraid, But I Want You Here, With Me

At ALVARO'S Mansion. New York - USA | 9:00AM

Diego berdiri di samping ranjang, memperhatikan dokter yang tengah memeriksa kondisi Irene. Ada sekitar lima dokter di dalam kamar ini, yang lain sudah selesai dengan tugasnya, tinggal dokter ini saja.

"Aku pikir akan operasi besar. Ternyata hanya kelelahan dan kurang tidur." sindir Erick sembari mengedipkan mata kepada Diego. Erick Peterson, selain dokter terbaik di New York, lelaki ini juga teman Diego ketika berkuliah di Oxford.

"Diamlah! Lakukan saja tugasmu!"

"Well, tapi istrimu ini memang sangat cantik." ucap Erick sembari menatap Irene yang masih tidur lekat-lekat. "Sepertinya nanti aku harus mencoba mengajaknya berkencan."

Rahang Diego seketika mengeras. "Erick....." geramnya rendah.

Erick hanya tertawa ringan. "Aku tidak pernah membayangkan kau sebegitu protektif pada wanitamu. Kemana perginya Diego Alvaro yang dingin pada wanita dulu?" goda Erick.

"Kau belum selesai?" suara dingin Diego membuat Erick menoleh, langsung bertatapan pada mata Diego yang mematikan.

Namun bukannya takut, Erick malah tertawa. "Keep clam, dude. Aku tidak akan mengambilnya darimu." Erick bergegas membereskan peralatannya dan berdiri, dia sudah selesai mengecek kondisi Irene. "Untuk kesehatannya tidak ada masalah. Dia hanya kelelahan, apalagi dia masih muda dan bayi-bayinya masih terlalu rentan. Tapi seperti yang kau dengar tadi, kau harus menjaganya lebih ekstra." Erick menepuk bahu Diego berkali-kali sembari tersenyum penuh arti, mengerlingkan mata, kemudian ikut keluar dari kamar Diego seperti dokter yang lain.

Diego duduk di samping Irene, menatap wajah Irene yang tenang ketika terlelap. Cantik. Diego mengelus rambut halus Irene dengan lembut, lalu beralih ke bibir Irene yang menggoda, tersenyum kecil ketika Irene mengubah posisi tidurnya.

Diego baru saja akan pergi ketika suara dari ketukan dari arah pintu terdengar.

"Diego." panggilan Mi Lover membuat Diego menoleh, menatap Mi Lover yang berdiri di depan pintu dengan dress berwarna pink-nya.

"Aku akan kembali setelah acara pemotretanku selesai, jangan lupa dengan janji liburanku ke Swiss. Bersamamu. Aku tidak akan memaafkanmu jika kau membatalkannya." Mi Lover menatap tajam sembari menekan kata 'bersamamu' pada Diego.

Diego balik menatapnya tajam, tersenyum miring lalu bangkit, berjalan mendekati Mi Lover dan berdiri didepannya.

"Clam down, my amour. You must get what you want." bisik Diego serak sebelum bergerak mencium bibir Mi Lover.

Mi Lover berjinjit, tangannya terulur meraih kepala Diego--menekan tengkuknya--memperdalam ciuman mereka. Dia merindukan ciuman Diego, dan tidak disangka--kini Diego sudah mengambil alih, bahkan Diego mendominasi ciuman mereka. Diego menciumnya seakan lupa waktu. Begitu dalam, menggoda, memabukkan. Mi Lover menyukai ini.

"So, you promise?" bisik Mi Lover pasca ciuman mereka terlepas.

Diego membuka mata, merasa kesal melihat kemenangan di mata Mi Lover.

"Yes, I promise." kata Diego sembari tersenyum tipis.

Mi Lover balas tersenyum, sangat lebar, menunjukkan bahwa dia sangat puas mendengar jawaban Diego. Namun tak lama dari itu, tatapannya beralih pada sosok gadis di belakang Diego.

Tangan Mi Lover terkepal, tatapannya berubah dingin dan tajam. Bagai musuh memandang lawan, kedua mata Mi Lover berkilat memancarkan amarah. Gadis itu.... Mi Lover bersumpah akan melenyapkannya jika Irene berani mengambil Diego. Tidak boleh ada orang ketiga di antara hubungannya dengan Diego. Hanya boleh ada dia. Tidak siapapun. Mau sekarang ataupun dulu, Mi Lover akan selalu menjaga Diego--termasuk hatinya.

Diego melambaikan tangannya begitu Mi Lover berlalu, meninggalkan dia dengan Irene di dalam kamar.

Diego langsung mengambil ponselnya dan segera menghubungi Christian.

"Christian. Awasi pergerakan Lovelyn Mikhailova, jangan sampai ada yang terlewat." ucap Diego dengan nada dingin, sedingin tatapannya yang mengarah pada punggung Mi Lover yang menjauh.

"Baik, Tuan." jawab Christian di seberang sana. Christian Nicholas, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Diego.

***

Irene membuka mata, merasa pusing di kepalanya. Matanya berusaha beradaptasi dengan termaramnya kamar. Lampu utama dimatikan--hanya lampu tidur yang dinyalakan. Irene langsung terduduk. Sial. Tenyata dia masih di kamar Diego. Sejenak Irene merindukan kamarnya, lampu kamarnya selalu menyala. Irene tidak suka gelap.

Irene membuka selimutnya, bergerak turun--berniat pergi. Tapi bukannya berhasil, tubuh Irene malah terhempas ke lantai. Dia tidak bisa berdiri--kakinya terlalu lemas.

Berpegangan pada nakas, Irene berusaha untuk berdiri. Tapi tangannya malah menjatuhkan hiasan keramik. Suara pecahannya di lantai terdengar keras. Tapi tidak sekeras suara bantingan pintu beberapa saat setelahnya.

"Damn it! Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?!" bentak Diego.

Irene menelan ludah. Diego muncul dari arah pintu balkon, berjala tergesa ke arah Irene. Lelaki itu mengangkat tubuh Irene, kembali menidurkannya di ranjang.

"Aku mau turun...."

"Kau bisa terluka," ucap Diego kesal. Irene membelalakkan mata. Jemari Diego menjelajah kakinya, menyentuhnya.

"Diego! Jangan!" teriak Irene--langsung duduk. Sementara Diego menarik kaki Irene dan menekannya agar diam.

"Diamlah, Irene! Aku takut kacanya mengenaimu." decih Diego kesal, tangannya menyentuh telapak kaki Irene. Irene bergidik geli.

"Diego!"

"Sebentar. Aku nyalakan dulu lampunya, disini gelap." Diego menyalakan lampu utama dengan menggunakan remot.

"Aku tidak apa-apa. Serius! Kaca itu tidak mengenaiku." yakin Irene sembari menahan tangan Diego yang menyentuh kakinya, ini menggelikan. Irene tidak mau.

Diego menghela napas, memejamkan mata sebentar lalu kembali mengamati kulit kaki Irene. Jangan sampai ada beling yang melukai Irene. Diego tidak akan tenang.

"Oh Jesus.... aku kira kakimu berdarah." kedua mata Diego menatap Irene khawatir, dia meletakkan punggung tangannya di kening Irene. "Suhumu normal, syukurlah." gumam Diego yang membuat Irene mengernyitkan alis.

"Memangnya aku sakit?" tanya Irene bingung.

Tapi Diego malah terkekeh geli. "Tidak. Kau hanya butuh istirahat." katanya sembari mendorong bahu Irene, membuat Irene kembali telentang.

Diego menarik selimut untuk menutupi tubuh Irene. "Sejak pagi kau belum sarapan. Aku akan bawakan makanan untukmu." ucap Diego lalu mengecup kening Irene.

"Tapi Diego-"

"Kau harus makan!" potong Diego cepat--membentak, matanya menyorot Irene tajam. Irene ketakutan.

Irene mencengkram selimut--terkejut--tidak menyangka mendapat bentakkan Diego yang kedua kali. Bibir Irene bergetar menahan tangis, akhir-akhir ini dia memang mudah terbawa perasaan, dia juga sering merasa pusing, dan Irene tidak tahu sejak kapan dia seperti ini. "Ba-baiklah."

Setelahnya, lima belas menit berlalu, Diego sudah datang dengan membawa meja dorong berisi makanan untuk Irene.

"Ayo makan dulu." ucap Diego.

Irene mengedipkan mata--tidak menduga jika Diego menyiapkan sendiri makanan untuknya, bahkan tidak ada pelayan di dekatnya. Sendirian. Irene tersenyum tipis. Dia menatap makanan-makanan yang disajikan Diego didepannya. Semua makanan itu memang lezat--terbukti dari aromanya--dan dia yakin bukan Diego yang memasaknya, pasti buatan chef keluarga Alvaro. Tapi entah kenapa Irene malah kehilangan selera makannya.

"Nanti saja,"

Diego menggeram. "Sekarang. Kau belum sarapan dan sekarang sudah siang."

"Tidak mau! Aku mau keluar darisini, aku bosan!"

"Baiklah. Setelah ini kita akan jalan-jalan keluar." Diego mengalah.

"Tapi-"

"Ayo makan dulu," Diego mengulurkan sesuap nasi goreng padanya.

Biasanya Irene menyukai nasi goreng asal Indonesia itu, tapi entah kenapa melihat bentuknya saja Irene jadi mual.

Irene menutup mulutnya sambil geleng-geleng, dia mendorong piring itu jauh-jauh. "Tidak mau! Aku mau tidur!" erang Irene sembari berbaring miring, menyelimuti dirinya sendiri.

"Ck. Makanlah dulu....,"

"Aku tidak lapar, Diego!" tolak Irene bersamaan dengan perutnya yang berbunyi. Tidak tau kondisi, Diego menyeriangi geli.

"Tidak lapar?" goda Diego.

Irene merengut, bergegas duduk di atas ranjang sembari menatap Diego kesal. "Fine! Aku lapar. Tapi aku tetap tidak mau itu!"

"Lalu? Kau mau apa?"

Irene terdiam, berpikir sebentar, hingga sesuatu yang lezat muncul di kepalanya. "Soy sauce chicken!" serunya semangat. Diego tersenyum kecil, lucu, tingkah Irene mirip anak kecil.

"Hanya itu?"

"Iya!" seru Irene cepat, kini perutnya berbunyi lagi. "Tapi buatanmu! Selain itu aku tidak mau." ucap Irene dengan tatapan memerintah.

Tiga detik... lima detik... Diego hanya merespon perkataan Irene dengan mengerutkan kening. Irene pikir Diego akan menolak, dan entah kenapa itu membuat Irene ingin menangis.

Huft... untungnya tidak. Karena sepuluh menit kemudian Diego sudah sibuk di dapur, sementara Irene memperhatikannya dengan duduk di atas counter sembari memakan es krim. Entah berapa lama Irene menonton kegiatan ala master chef itu, semuanya Diego kerjakan dengan rapi dan cepat. Lalu tak menunggu lama, akhirnya sepiring soy sauce chicken yang menggugah selera sudah tersaji di hadapan Irene.

Diego melepas celemeknya, lalu mengusap kening dengan punggung tangan. Oh God! Otot tangannya.... Irene menelan ludah; Diego terlihat lebih menggugah selera daripada makanannya.

"Ayo cepat ke meja makan."

Irene mengerjap, tersadarkan. Kemudian tersenyum sembari mengulurkan tangan, mendadak ingin bermanja-manja. "Gendong aku...."

Melihat Itu membuat wajah dan pandangan Diego menghangat. Dia tersenyum kecil--senyuman tulus, kemudian membalik tubuh, menyuruh Irene untuk naik ke punggungnya. Irene pun buru-buru naik, melingkarkan satu tangannya ke leher Diego, sementara tangannya lain membawa piring soy sauce chickennya. Irene sempat memekik dan tertawa ketika Diego dengan sengaja mempercepat langkahnya--tidak memedulikan jika apa yang mereka lakukan menarik perhatian pelayan.

"Astaga! Ini enak sekali!" ucap sembari memakan ayamnya. Entah karena benar-benar enak atau Irene memang lapar. Irene bahkan sampai menjilati sisa bumbu di sela-sela jarinya.

Diego tersenyum geli. "Baru kali ini ada wanita yang makan di sampingku seperti Babi."

"Apa kau bilang?!" rutuk Irene kesal.

"Maksudku.... kau makan berantakan. Biasanya mereka semua bersikap anggun di depanku."

"Termasuk wanita itu? Tunanganmu?" Irene menyunggingkankan senyum tipis sembari mengalihkan pandangannya dari Diego. "Yeah... Maaf. Inilah aku. Karena itu bertahanlah sebentar. Karena setelah si babi ini pergi dari hidupmu, kau akan ditemani wanita yang--" Irene melotot. Diego menarik piring soy sauce chickennya menjauh. "Diego!"

"Aku tidak tahan. Kau bicara yang tidak-tidak setelah melihat Mi Lover. Kau bahkan mengatakan benci kepadaku."

Irene menghembuskan napas berat. Mengulurkan tangan, membelai untaian rambut Diego. Diego memejamkan mata.

"Saat kau bilang kau membenciku.... kalimat itu menyakitiku." Diego membuka mata, matanya birunya tersirat kesedihan.

Lidah Irene serasa kaku, tidak tau harus menjawab apa ketika Diego mengatakan itu.

"Kau akan tinggal disini. Bersamaku. Apa kau tidak bahagia dengan kondisi kita sekarang?"

Irene menggigit bibir bawah, menatap mata biru Diego yang menghujamnya dalam. Diego salah. Irene bahagia. Sangat. Tapi dia takut jika kebahagiaannya ini tidak untuk selamanya.

"Maafkan aku. Tentu saja aku bahagia." Irene berucap gusar, Diego membelai pipinya. "Tapi siapa yang tahu besok.... lusa?"

"Kita akan mengusahakannya." ucap Diego serius.

Irene mengangguk, tersenyum kecil sembari membiarkan Diego menariknya ke dalam pelukan. Disana dia ingin berada di banding tempat-tempat lain. Irene memejamkan mata, membiarkan Diego mencium keningnya.

Ciuman itu baru terlepas ketika seorang maid menghampiri mereka, menunduk hormat di sebelah Diego. "Maaf mengganggu Anda, Tuan muda. Tapi ada tamu untuk Anda."

Diego menoleh, tapi tidak melepas pelukannya. "Siapa?"

"Lovelyn Mikhailova." jawab pelayan itu.

To be continued.