At ALVARO'S Mansion-New York. USA | 8:00 AM.
"Apa maksud semua ini, Diego? Katakan. Siapa gadis yang tidur dikamarmu?!" pertanyaan bertubi-tubi dari Mi Lover menggema di seluruh ruangan begitu Diego tengah berjalan menghampirinya.
"Kau tidak perlu berteriak kepadaku, Mi Lover. Wajahmu memang cantik tapi sayangnya tidak dengan sikapmu." gumam Diego sembari mendudukkan tubuhnya di atas sofa berbahan kulit. Matanya menatap penuh pada Mi Lover yang di anggapnya tidak menarik.
Mendengar nada meledek dari Diego membuat Mi Lover semakin kesal. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Katakan padaku, apa gadis itu selingkuhanmu?" tuduh Mi Lover sinis.
"See. Sejak kapan kau meragukan cintaku padamu, Mi Lover?" tanya Diego santai sembari menyenderkan punggungnya.
Mi Lover tertawa sumbang. "W-what? Dari dulu hingga sekarang perasaanku masih sama, rasanya setiap hari aku semakin mencintaimu. Dan aku percaya.... kalau kau tidak akan mengkhianatiku, tapi sekarang...." jeda Mi Lover, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku melihat kau berselingkuh dengan gadis itu." Mi Lover menangis. Air matanya mengalir bagai air terjun dipipinya.
Rasa bersalah sedikit terlihat di mata biru Diego, tapi setelah itu Diego mengambil posisi disebelah Mi Lover dan menggenggam tangannya. "Tidak. Kau hanya salah paham, aku tidak akan selingkuh darimu."
"Sa-salah paham?" Mi Lover terbata-bata, sama sekali tidak menduga mendapat pernyataan ini dari Diego. "Kalau begitu, jelaskan padaku, dimananya aku salah paham?" tanya Mi Lover lirih.
tiga detik
enam detik
sepuluh detik,
Diego tak kunjung membuka mulut, tapi tatapan Diego masih terkunci pada Mi Lover.
Melihat Diego yang hanya diam semakin membuat hati Mi Lover teriris. Jika lelaki itu diam... itu tandanya, dugaannya benar? Apa lelaki yang begitu dia cintai ini benar-benar mengkhianatinya?
"Apa aku harus percaya kalau kau tidak akan berkhianat setelah aku melihat kau memeluknya, menciumnya, mencumbunya-" Mi Lover menutup mulut dengan telapak tangan, tak kuasa melanjutkan. Sementara tangannya yang lain mencengkram sandaran kursi.
Tangis Mi Lover pecah, dia benar-benar meledak. Diego sendiri langsung menarik Mi Lover kedalam pelukan, mengusap punggung wanita itu dengan lembut sembari mencium sisi kepalanya berkali-kali.
"It's okay..... Apapun yang terjadi, percayalah. Aku akan tetap menikahimu." bisik Diego menenangkan sembari memeluk Mi Lover erat--terus membelai punggungnya, sementara Mi Lover terus menangis.
"Tenanglah, baby.... Kau tidak perlu khawatir dengan apa yang aku lakukan pada gadis itu. Statusmu akan selalu lebih tinggi darinya."
Mi Lover menggeleng keras, mencengkram jas hitam Diego dengan erat. "Jangan tinggalkan aku, Diego.... Jangan. Aku takut kau akan bersamanya lalu pergi-"
"Baby.... Listen to me. Kau tidak akan pernah aku tinggalkan, tidak pernah."
"Tetaplah bersamaku, Diego. Jangan pergi...."
"Keep clam, baby..... Just believe me, okay? I promise, everything will be alright."
"Tapi Diego-"
"Daripada terus mengkhawatirkan hal seperti ini, lebih baik kita memikirkan apa yang akan kita lakukan sore ini. Liburan ke Swiss? Kita biasa menghabiskan malam disana, aku rindu coklat panas buatanmu." kekeh Diego geli, sengaja mengalihkan perhatian Mi Lover. Mi Lover melepaskan pelukannya--langsung memukul dada Diego kesal.
"Kau ini! Sudah tahu aku marah kepadamu tapi kau malah-"
Diego meraih dua pundak Mi Lover, matanya menatapnya lekat. "Kau tau? Aku lebih marah padamu karena kau menuduhku selingkuh. Tidak peduli kau percaya atau tidak tapi aku masih sangat mencintaimu. Berhentilah menangis, aku tidak mau tahu!"
Mi Lover merengut, menghapus air matanya cepat. "Untuk apa aku mempercayai orang yang sudah mencium gadis lain di depan tunangannya sendiri!" teriak Mi Lover kesal. Diego langsung bungkam, namun dari mimik wajahnya Mi Lover sadar Diego tengah menahan tawa.
"Kau menertawakanku?!"
Diego langsung terkekeh. "Baby.... itu bukan masalah. Aku hanya terpaksa menciumnya. Tidak ada maksud tertentu, apalagi mengingat statusnya disini. Well, jika memang ada," ucap Diego sembari menatap Mi Lover geli. "Tapi Mi Lover, Ingatlah satu hal.... gadis itu hanya mainanku."
Mi Lover mengernyit. "Maksudmu?"
Diego tersenyum licik. "Pertama, kau teman masa kecilku sekaligus calon istriku yang sah. Kedua, kau kesayanganku. Ketiga-" Diego sengaja menggantungkan ucapannya. Mi Lover pun menunggu. Satu menit. Dua menit. Diego hanya menatap geli lalu pergi begitu saja--tanpa melanjutkan. Diego berjalan cepat ke arah pintu kamarnya--sengaja meninggalkan Mi Lover.
"Diego!"
"Sudahlah, aku malas. Kau bodoh sekali."
"Hei!! Aku tidak bodoh! Beritahu aku, mainan apa maksudmu?!" teriak Mi Lover jengkel, dan Diego tetap berlalu--masuk ke dalam kamarnya sebelum beberapa detik yang lalu lelaki itu tampak kesusahan membuka pintu.
***
Irene mengguyur tubuhnya di bawah shower dan mengadahkan kepalanya keatas sembari memejamkan matanya lamat-lamat. Sekarang Irene merasa hidupnya benar-benar naas, hidupnya seperti di hantam batu. Perasaan Irene campur aduk; marah, sedih, kecewa, sekaligus ingin menangis. Tapi disini Irene berharap dia bisa meredamakan rasa sedih yang ada di hatinya.
Diego mengkhianatinya.
Kalimat itu terus berputar di kepala Irene. Mengingatnya membuat jantung Irene serasa diremas. Dadanya sesak. Irene sadar jika dia masih sangat mencintai Diego, tapi.... tapi kenapa harus ada wanita lain yang sudah memilikinya? Kenapa Diego telah bertunangan?! Kenapa?! jerit Irene tak tahan.
Air yang terus mengalir dari atas kepalanya, membuat Irene tak melewatkan kesempatan ini untuk menumpahkan air matanya lagi, agar dia tidak terlihat seperti orang yang tengah menangis.
Tidak! Kau harus kuat!
Irene mengusap wajahnya dengan kasar sembari menyerukan kalimat-kalimat penyemangat. Ya, dia harus kuat. Karena jika tidak, ketika dia terpuruk, siapa yang akan ada untuknya selain dirinya?
Bajingan!
Saking kesalnya Irene merutuki Diego berkali-kali dengan mengabsen semua nama binatang, atau lebih tepatnya bajingan pembohong yang sudah mengambil kesuci---Ah, lupakan! Mengingat sosok wanita tadi-- tunangan Diego--membuat Irene benar-benar merasa putus asa. Diego sudah mengambil semuanya, termasuk hatinya. Dan sekarang Irene tidak punya apa-apa, dia tidak tau harus bagaimana. Irene sudah tersakiti, sudah ditipu dan dibohongi dengan kata-kata penuh cinta dari Diego. Bullshit. Irene tidak mempercayainya. Semuanya bohong!
Lima belas menit setelahnya Irene selesai, dia mengenakan kimono mandi berwarna putih begitu keluar dari kamar mandi. Dia mengusap kelopak matanya yang sedikit bengkak, sembari melangkah menuju walk in closet ketika sebuah suara dari arah pintu membuatnya menoleh.
"Di-diego?! Bagaimana kau bisa masuk?!" pekik Irene panik.
"Dengan kunci," ucapnya santai.
Irene menggeleng panik. Sangat terkejut ketika Diego Alvaro sudah berdiri di depannya, menatapnya dengan raut wajah meremehkan sebelum menelan ludah begitu pandangannya turun ke kaki telanjangnya. Wait....kurang ngajar!
Irene ikut menelan ludahnya, keinginan kaburnya makin menyerukan begitu Diego mendekat. Terlambat, belum sempat Irene melarikan diri Diego sudah terlebih dahulu menarik tangannya, membawa tubuh Irene ke dalam dekapannya.
"Diego! Oh, astaga. Kau sudah gila ya!" pekik Irene panik. Tapi kepanikannya semakin besar begitu endusan napas Diego menyentuh lekuk lehernya. "Tidak. Tidak, Diego! Kau harus keluar. Sekarang!"
"Itu perintah?" Diego malah balik bertanya dan semakin merapatkan tubuh mereka.
Irene makin panik. Terlebih ketika helaan napas Diego kembali menyentuh lehernya, membuatnya merinding. Dan ketika satu jari Diego menyapu tubuh belakangnya, dari punggung hingga kemudian bergerak turun.... membelai garis bokongnya dan meremasnya, membuat Irene menjerit. Oh God.... ini gila. Baru saja Irene di buat menangis oleh lelaki ini sekarang dia harus menghentikan kegilaan seorang Diego Alvaro.
"Diego Alvaro! Please....," cicit Irene. Demi Tuhan! Dia ingin lepas. Apa dia harus menendang burung Diego agar bisa bebas?!
Sayangnya belum sempat Irene memutuskan, pintu kamarnya terbuka.
"Maaf, Tuan, Nyonya. Silahkan dimakan sarapannya." seorang pelayan wanita menaruh nampan berisi roti sandwich dan segelas susu vanilla di atas meja, menunduk, dan mundur beberapa langkah mendekati pintu.
Diego yang melihat kehadiran pelayan itu langsung memasang wajah tidak suka. Dia melirik tajam pada pelayan itu sembari memberi perintah.
"Tak apa, lain kali ketuk pintu dulu. Kau boleh kembali." ucapnya tegas lalu kembali menarik Irene dalam pelukan saat pelayan itu sudah pergi.
Irene yang masih terkejut dengan kehadiran pelayan itu harus di kejutkan lagi dengan ciuman kecil-kecil Diego di lehernya. Mendengus kesal, Irene mencoba menarik kepalanya menjauhi Diego.
Namun, tidak seperti biasanya.... tiba-tiba saja harum parfum Diego membuat perut Irene bergejolak. Mual. Irene buru-buru melepaskan pelukan Diego, dan berlari ke arah kamar mandi-menumpahkan isi perutnya ke westafel.
Melihat itu, Diego langsung terkejut. Diego pun dengan sigap segera menyusul Irene dan memijit tengkuk Irene.
"Are you okay?" Diego sudah berdiri di belakang Irene, mengusap punggung Irene panik, satu tangan Diego yang lain mengumpulkan rambut panjang Irene dalam satu ikatan.
Bukannya menjawab, kali ini Irene langsung menoleh dan mendorong Diego menjauh.
Tangis Irene pecah, entah karena rasa mual yang menyiksa, sakit hati; atau malah dua-duanya.
"Jangan dekat-dekat! Parfummu membuatku ingin muntah!" erang Irene tersiksa sembari menutup mata dan hidungnya.
Diego mengernyit heran, mulai panik. "Parfumku? Bukankah biasanya tidak-"
Irene menggeleng cepat. "Keluar! Menjauh dariku. Aku membencimu, Diego!" usir Irene kemudian menangis hebat.
Diego langsung panik luar biasa, terlebih setelah itu Irene malah jatuh pingsan.
To be continued.