ALVARO'S Villa, MANHATTAN. 9.00 AM
Villa seharga $4.5 Millionaire telah Diego beli sebagai tempat tinggal sementara. Villa yang diterangi oleh pencahayaan cantik ini memiliki fasilitas lengkap. Berdesain classic modern dengan tambahan ruangan meeting pribadi dilantai dua dan kolam renang di bagian depan. Terdapat 20 pelayan yang Diego kerjakan untuk mengurus tempat pribadinya ini. Selain itu juga terdapat beberapa chef terkenal yang selalu siap menyiapkan makanan untuk Diego. Tapi, dibalik semua kemewahan itu, hanya Diegio sendiri yang menempati. Mansion keluarga Alvaro, Diego tidak sering berkunjung kesana. Karena dia sudah nyaman tinggal di Villa nya. Hidup sendiri ternyata memberikan ketenangan bagi Diego.
Diego menuruni anak tangga hendak menuju pintu utama untuk segera pergi menemui wanitanya kembali setelah dia mengambil uang puluhan juta Dollar dari brangkas. Sebuah tas berbentuk kotak tergantung ditangannya.
Begitu sampai di anak tangga, dia langsung memberikannya pada pelayan yang sudah berdiri menanti kedatangannya. Pelayan itu pun segera pergi ke mobil Lambhorgini Reventon Roadster milik Diego untuk menaruhnya disana.

Pria dengan ketegasan diwajah tampannya itu melangkah lebar ke arah pintu keluar Villa mewahnya ini. Tapi suara bising dari arah barat membuat dia berhenti. Diego menghampiri ruangan itu dan seketika matanya langsung memicing.

Diego berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya. Lihatlah ruang nyaman dan bersih ini... sudah menjadi kotor dan berantakan karena ulah seorang lelaki yang saat ini malah duduk damai di atas sofanya yang empuk.
"Hey, bocah tengil!" panggil Diego.
Namun lelaki itu tampaknya sengaja menghiraukan panggilan dari belakangnya. Tanpa menoleh pun, dia sudah tau siapa yang memanggilnya dengan sebutan 'bocah tengil'.
"Hey, apa kau tuli?!" Diego meninggikan suaranya.
Lelaki itu mendengus sebal. Lalu dengan malas dia menolehkan kepalanya ke belakang. "Apa sih?! Ganggu orang aja." dia mendelik. Lalu kembali menatap layar televisi.
Diego melempar puntung rokok yang telah mati kepada Dilan yang sedang memindahkan saluran televisi dengan remot ditangannya.
"Eh astaga!" Dilan kembali melempar rokok itu ke kepala Diego. "Seenaknya aja kamu lempar-lempar rokok ke cowok cool kayak aku!" Dilan mengambil remot yang barusan saja jatuh karena lemparan dari kakaknya itu.
"Panggil kakak! Jangan kurang ngajar." ucap Diego tidak suka. Dia memutar bola matanya jengah. Kenapa dia bisa memiliki adik paling menyebalkan seperti Dilan Alvaro sih?!
"Iya. Kak Diego." kekeh Dilan.
Diego menundukkan kepala menatap pemandangan disekitarnya. Oh God! Ruangan macam apa ini? Diego berdecak kesal. Adiknya itu membuat tempat ini seperti kamar kos-kosan. Bantal sofa dilantai, baju seragam jadi keset, kaleng soda berserakan, asbak yang tumpah, rokok dimana-mana. Sepertinya dia harus menyewa seorang cleaning servis khusus untuk membersihkan tempat yang Dilan gunakan. Bocah ini! Benar-benar yaa...
"Sampai kapan kau merokok? Sampai lehermu bolong?" tanya Diego sembari tersenyum mengejek.
Dilan lantas memegangi lehernya. Membayangi jika lehernya benar-benar bolong membuatnya bergidik. "Kau membuatku takut kakak!" ujarnya kesal.
"Bersihkan benda itu, Dilan! Kau menjijikan!" ucap Diego dengan tatapan tajamnya.

Dilan Alvaro -cowok berumur dua tahun dibawah Diego itu langsung merespon ucapan sang kakak dengan memunguti puntung rokok yang berceceran dimeja. Dilan langsung tersenyum jenaka, menyadari jika dari dulu sampai sekarang Diego Alvaro masih saja membenci rokok.
"Boy... mau dengar Informarsi dari ku? Kurasa itu penting untuk kau dengar." tanya Diego dengan senyum miring.
Dilan mematikan televisi lalu menoleh menatap Diego. Alisnya terangkat sebelah. "Apa itu?" tanyanya penasaran.
"Terakhir kali aku melihat berita yang menjelaskan kematian seseorang. Masih muda dan tampan, tapi sayangnya dia tewas karena terlalu sering merokok. Dan kulihat... uhh..." Diego menatap ke atas dengan ekspresi meringis ngeri. "Ada lubang dilehernya."
Dilan yang mendengar ucapan Diego tiba-tiba berteriak marah.
"Kakak!" bentak Dilan.
Diego kali ini tidak bisa menahan gelak tawanya karena wajah Dilan yang memerah padam karenanya. Well, sebenarnya dia hanya menakut-nakuti adik kandungnya itu. Tidak pernah sekalipun Diego mendengar kabar berita tadi. Itu hanya akal-akalan nya saja.
"Sebaiknya kau berhenti tertawa sebelum remot ini melayang ke kepala mu, kakak!" ancam Dilan sambil mengangkat tangannya siap untuk melempar tapi...
"Coba saja kalau kau berani. Apa kau lupa jika nomor Milea masih ada di Handphone ku?"
Mata Dilan memicing -hendak membalas. Tapi suara deringan ponsel menghentikan perdebatan mereka.
"Martin?" gumam Diego. Dia mengernyit. Untuk apa anak buah Jackson menelponnya? Ah, jangan salahkan dia jika memarahi pria itu karena alasan yang tidak penting.
"Ada apa?" tanya Diego malas.
"Cepat datang ke Rex Club kami. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu." ucap Martin diseberang sana.
"Sesuatu?"
"Benar. Yang akan membuatmu mengetahui semuanya."
Mata Diego menajam ketika mendengar nada keseriusan di ucapan Martin.
"Apa maksudmu?! Jangan bermain-main denganku! Apa kau lupa dengan siapa kau bicara?!"
"Just relax boss, tahan emosimu. Kau membuatku takut!"
Senyum sinis menghiasi rahang Diego yang mengetat. "Jangan banyak omong, Martin. Aku akan kesana."
"Oke."
***
Rex Club - New York City

Tubuh ringkih yang berada dibalik selimut itu tengah tertidur dengan menyisakan air mata di sudut matanya. Malam itu... malam yang menyisakan rasa sakit di ulu hati Irene. Mata Irene terpejam namun menitikkan air mata. Kesedihan yang mendalam membuat Irene menjadi seperti ini.
Lelaki bertubuh kekar disampingnya masih belum melepaskan pelukannya ditubuh Irene. Kedua insan itu masih terlelap. Satunya puas dan satunya lagi menderita.
Tapi setelah beberapa menit kemudian terdengar suara dobrakan pintu membuat Jackson kaget bukan kepalang.
BRAK!
Jackson buru-buru bangun dan duduk di atas ranjang. Matanya membulat sempurna ketika melihat siapa orang yang berani menghancurkan pintu mahalnya.
"Di-diego?"

Diego berdiri tepat didepan matanya. Tatapan matanya menyala penuh amarah. Seperti iblis yang siap membunuh musuhnya. Wajah tampannya mengeras mengerikan. Diego menggeram dengan tangan yang mengepal keras hingga buku jarinya memutih.
"Sialan kau, Jackson! SIALAN KAU!!" Diego berteriak sembari mencengkram leher Jackson dengan erat. Diego menarik tubuh Jackson lalu mendorongnya menjauhi Irene. Jackson akhirnya tersungkur ke lantai karena dorongan yang sangat keras dari Diego.
"Berani sekali kau mencampuri wanita milikku?!" Diego menatap Jackson nyalang. Dia melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemejanya.
Aura membunuh kian mengental sejalan dengan perubahan wajah Diego yang berubah datar. Tanpa ekspresi.
"Sudah bosan hidup, huh?" ucap Diego terlampau tenang. Tubuhnya yang tinggi tegap berjalan pelan namun mengancam ke arah Jackson yang saat ini telah berubah pucat pasi.
Sedangkan Irene sendiri kini tengah terduduk sambil menatapnya dengan air mata yang berlinang. "Diego..." lirih Irene pelan.
Diego melirik Irene lewat sudut matanya. Wanita itu tampak bergetar hebat dengan tangan meremas selimut yang menutupi tubuhnya yang... Argh! Keparat kau Jackson! Melihat itu, Diego benar-benar ingin mematahkan hidung pria bajingan ini!
"Ma-mau apa kau?" lirih Jackson pelan sambil berusaha untuk berdiri. Dia menatap ke sekeliling -mencari bantuan.
"Kau takut padaku, Jackson?" Diego menarik sudut bibirnya ke atas. Seringai kejam menghiasi wajah nya. Nyaris seperti Devil sungguhan.
"Ta-takut?" suara Jackson bergetar. "Untuk apa aku takut? Aku punya banyak anak buah yang akan menghajarmu!" ucap Jackson sambil berusaha tenang.
Diego tertawa mengejek.
"Ah aku takut, kau ingin aku mengatakan ini kan, Jackson?" ucap Diego tenang dengan bibir penuh senyum.
"Berhenti disana!" Alih-alih melawan justru Jackson mundur beberapa centi kebelakang saat menyadari Diego semakin mendekatinya.
Lalu...
BUGH!
Diego mengangkat kakinya, menendang Jackson dengan keras tepat di ulu hatinya hingga membuat Jackson meringis sakit merasakannya. Nafas Jackson tersenggal-senggal. Dia kembali berdiri namun tubuhnya langsung limbung karena rasa nyeri di dadanya.
Jackson berubah panik ketika tangan Diego menyentuh belakang kepalanya.
"Apa ini yang kau lakukan pada Irene-ku?" Diego mencengkeram kuat rambut Jackson yang sebelumnya sudah dia tendang dengan sangat keras.
Jackson merintih kesakitan hingga kepalanya mendongak karena tarikan yang sangat kuat itu.
"Aku tau kau memang brengsek. Tapi kenapa kau menyiksa Irene seperti ini, Jakson?! Kau menyakitinya!" maki Diego sambil menarik Jackson berdiri bersamanya lalu memukulnya.
Tubuh Jackson terdorong begitu jauh hingga pinggangnya menabrak ujung meja yang lancip. Seketika tubuh Jackson ambruk dengan darah yang keluar dari hidungnya.
Diego kali ini benar-benar marah! Ingin sekali dia menghancurkan wajah menyesal Jackson yang nampak dimatanya! Dan..
BUGH!!
Benar saja. Diego langsung menonjok telak wajah Jackson sekali lagi sebelum lelaki itu oleng ke belakang karena tendangan Diego yang lain membuatnya jatuh berdebum di lantai.
Diego menatap pria yang terkuai lemas dibawahnya dengan jijik. Wajah Jackson yang babak belur membuatnya puas.
Aku menyaksikan Jackson menyeret Irene dengan menarik rambutnya. Wanita itu benar-benar kesakitan, tuan muda.
Ah, tapi sayangnya perkataan Martin yang terngiang dikepalanya berhasil membuat Diego membatalkan keinginannya untuk berhenti bermain.
"Akhh!" Jackson memekik karena serangan tiba-tiba dari Diego. Ia meronta dan berusaha melepaskan diri namun tangan pria itu jauh lebih kuat darinya. Udara di paru-parunya kian menipis. Aliran darah yang terhenti sementara karena cengkraman dilehernya begitu kuat.
"Haruskah ku patahkan lehermu ini?" Diego tersenyum jahat.
To be continued.