Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 6 - Putera Petaka Kabangan (1)

Chapter 6 - Putera Petaka Kabangan (1)

Di bagian lain keraton, dari sebuah kamar yang paling besar yang tak lain adalah kamar Sang Prabu dan Permaisuri, terdengar jerit tangisan bayi. Beberapa dukun beranak dan emban tampak memegangi tubuh Ratu Nawang Kasih sang Permaisuri Prabu Kertapati, beberapa yang lainnya nampak membersihkan tempat tidur sang ratu dan menyeka wajah sang ratu dengan air dingin yang dicampur daun salam. Ya permaisuri Mega Mendung ini baru saja melewati proses persalinan untuk melahirkan putra pertamanya.

"Selamat Gusti Ayu, putramu seorang laki-laki!" ucap seorang nenek yang tak lain adalah salah seorang dukun beranak dan paraji kepercayaan keluarga kerajaan yang membantu proses persalinan Permasuri, yang menghampiri permaisuri sambil menggendong bayi merah yang menangis dengan kerasnya.

Si nenek lalu menyerahkan bayi itu pada Sang Permaisuri, Ratu Nawang Kasih tersenyum lalu mencium kening si bayi. "Ah tangisnya sangat keras, bayi ini tentu akan menjadi sosok pangeran yang gagah perkasa," sambung si nenek.

Ratu Nawang Kasih tidak menyahut, seketika senyumnya berganti menjadi wajah ketakutan dan kekalutan yang teramat sangat, ketika ia ingat akan nasib selir Prabu Kertapati yang juga hamil. Pada saat usia kandungan empat bulan, Sang Prabu menusukan pedang pusakanya pada perut selirnya! Pada saat itu pula, nyawa selir dan jabang bayi dalam kandungannya terbang menuju alam lain! Mengingat peristiwa itu, dia menjadi takut kalau-kalau Sang Prabu akan melakukan hal yang sama terhadap dirinya dan bayinya yang baru lahir tersebut.

Pada saat itu, masuklah Sang Prabu yang masih mengenakan pakaian ringkas hitam yang baru saja selesai bersemedi diruangan pusaka keraton. Para Dukun Beranak dan Emban segera membungkuk pada raja mereka. Prabu Kertapati dengan wajah dingin tanpa ekspresi terus melangkah menghampiri istri dan bayinya diatas tempat tidur.

Jantung Sang Permaisuri serasa berhenti berdetak ketika suaminya menatap bayi merah yang sedang menangis itu tanpa berkesip, dengan tenaganya yang masih lemah, dengan segala daya yang ia miliki, ia buru-buru memeluk bayi itu untuk melindunginya karena takut suaminya akan berbuat sesuatu yang tidak diinginkannya.

Pada saat itu, tiba-tiba nenek Imas, si dukun beranak itu menjura pada Sang Prabu, sambil tersenyum senang dia berkata "Gusti Prabu, selamat atas kelahiran Putra Pertamamu. Dia bayi laki-laki yang sehat dan kuat yang dilahirkan pada saat terjadi peristiwa Bulan Kabangan, tentu ia akan menjadi berkah bagi Mega Mendung karena akan menjadi Putra Mahkota yang gagah perkasa, calon penerus kerajaan Mega Mendung!"

Sebetulnya nenek tua itu juga merasa tidak enak karena mengetahui nasib selir yang dibunuh saat hamil empat bulan oleh sang prabu sendiri, apalagi bayi ini dilahirkan pada saat peristiwa Bulan Kabangan, yang menurut orang-orang tua adalah suatu pertanda malapetaka. Tetapi ia menindih semua perasaan tidak enak itu, ucapannya tadi adalah suatu permintaan halus agar Sang Prabu tidak melakukan suatu hal yang buruk pada bayi yang baru lahir itu.

Prabu Kertapati diam tidak menyahuti nenek tua yang juga membantu proses persalinannya dulu ketika ia dilahirkan oleh Ibunya. Ia hanya menatap tak berkesip pada bayi yang masih merah itu dan pada istrinya bergantian dengan wajah dingin. Lalu tanpa mengucapkan apa-apa, dia membalikan tubuhnya dan keluar dari kamarnya. Sang Permaisuri bernafas lega walaupun dia masih khawatir karena tidak dapat menebak apa yang ada didalam benak suaminya, begitu pun dengan Nenek Imas. Sementara para dukun beranak yang lainnya beserta para emban-emban, hanya melongo keheranan karena tidak mengerti dengan sikap Sang Prabu yang seharusnya menyambut kelahiran anaknya dengan sukacita.

***

Empat hari kemudian setelah Mega Mendung menguasai Sancang hanya dalam tempo setengah malam, tepat tujuh hari setelah peristiwa bulan kabangan di Mega Mendung, Prabu Kertapati sudah kembali ke Keraton Mega Mendung. Seluruh harta rampasan dari Sancang dia bagi-bagikan kepada para pendekar golongan hitam yang ia sewa, sementara barang-barang serta senjata-senjata pusaka Sancang ia simpan di ruangan pusaka keratonnya.

Kabar penyerangan dan jatuhnya Sancang segera sampai ke pihak Banten. Jatuhnya Sancang yang merupakan Negara Islam membuat Banten gelisah, apalagi sampai saat ini mereka belum sanggup untuk menundukan Padjadjaran, sekarang ditambah Mega Mendung yang walaupun telah menerima penyebaran agama Islam namun bersikap memusuhi Banten dan Cirebon serta bernafsu untuk menguasai seluruh tanah Pasundan ini.

Sultan Hasanudin segera mengirim dua ribu orang prajurit di bawah pimpinan Senapati Tubagus Giliwangsa untuk menyerang Mega Mendung. Namun suatu keanehan terjadi kalau tidak mau dikatakan ajaib, pasukan Banten yang jumlahnya sangat besar itu tidak dapat menembus tapal batas kerajaan Mega Mendung yang hanya dijaga oleh empat ratus prajurit! Seolah ada tembok dan benteng-benteng tak terlihat yang menghalangi pasukan Banten untuk memasuki wilayah Mega Mendung! Malah justru banyak korban yang berjatuhan di pihak Banten dalam usaha penyerbuan itu, sementara di pihak Mega Mendung nyaris tidak ada korban sedikit pun. Bahkan Senapati Tubagus Giliwangsa yang terkenal sakti mandraguna itu seolah tidak dapat berbuat apa-apa untuk menjebol perbatasan Mega Mendung!

***

Senja hari itu di Keraton Mega Mendung, Permaisuri Nawang Kasih baru saja selesai menyusui bayinya yang diberi nama Jaya Laksana, bayi laki-laki mungil itu nampak terlelap disebelahnya. Sang Ratu tersenyum menatap anak sulungnya yang baru saja terlelap itu, "Ya Gusti, hamba mohon tolong lindungi anak hamba yang tidak berdosa ini..." bisiknya dalam hati karena ia masih merasa takut pada suaminya. Sampai saat ini suaminya selalu nampak dingin dan tidak berkata apa-apa soal bayi sulungnya yang berhak untuk menjadi putera mahkota kerajaan itu, bahkan memberi nama saja tidak! Mahapatih Ki Balangnipa lah yang masih terhitung Kakak Sepupu dari Prabu Kertapati yang memberinya nama Jaya Laksana.

Sedang ia melamun sambil menatap wajah anaknya, masuklah Prabu Kertapati dengan wajah kelam membesi. Yang membuat Ratu Nawang Kasih takut adalah di pinggang Sang Prabu terselip Keris Kyai Segara Geni, keris yang biasa ia bawa hanya ketika pergi berperang!

Sang Prabu melangkah dengan cepat menghampiri bayi yang baru saja terlelap itu, dengan mata melotot! Permaisuri yang melihat gelagat tidak baik langsung melompat menerjang sang prabu untuk melindungi anaknya, kedua tangannya memegang tangan kanan Sang Prabu erat-erat yang sudah memegang hulu keris pusakanya!

"Kakang Prabu mau apa?! Jangan mencelakai anak kita, Kakang!" bentaknya dengan histeris dan air mata mulai bercucuran.

"Minggir kau! Anak itu harus kujadikan tumbal agar cita-citaku menguasai seluruh Tanah Pasundan ini tercapai!".

"Kau gila Kakang!!! Mengapa harus sampai membunuh darah daging sendiri segala?! Sadarlah Kakang, kembalilah ke jalan yang benar, jalan yang diridhai Gusti Allah!"

"Minggir perempuan Sundal! Jangan kau sebut nama Tuhanmu lagi dihadapanku!"

"Tidak!!! Sadarlah Kakang!" ratap Nawang Kasih sambil berlutut memegang kedua kaki suaminya.

"Dengarlah, menurut bisikan Eyang di Alam Arwah, kita akan mempunyai anak lagi, kau masih bisa mengandung lagi! Dialah yang akan menurunkan garis keturunan penguasa Mega Mendung!" ucap Sang Prabu yang mencoba membesarkan hati istrinya.

"Tidak! Kau gila percaya pada mahluk sesat itu! Bagaimanapun anak ini adalah darah daging kita! Jangan kau bunuh Kakang! Ingatlah pada Gusti Allah!"

"Minggir!" bentak Sang Prabu dan...

"Plakkk!" Ia menampar pipi istrinya, hingga istrinya terjengkang.

Dengan secepat kilat ia membuka kerisnya, sinar biru menggidikan keluar dari keris bereluk sembilan menerangi kamar itu, hawa panas menyambar bagaikan matahari tepat berada diatas kamar itu! Ratu Nawang Kasih buru-buru mencekal kaki Sang Prabu, sehingga keris yang sudah siap dihujamkan menembus jantung bayi itu terpeleset dan hanya menggores tipis kening diatas alis sebelah kanan bayi itu! Bayi itu menangis karena merasa kesakitan oleh lukanya itu, darah mengucur deras dari lukanya! Sungguh memilukan keadaan bayi itu!

"Perempuan sundal! Minggir! Jangan ganggu aku!" bentak Sang Prabu.

"Tidak, kalau kau mau bunuh bayi kita, bunuh aku dulu!" jerit Ratu Nawang Kasih

Menyaksikan keadaan istrinya yang menangis histeris sambil memeluk kaki kanannya, Sang Prabu merasa iba juga, apalagi ketika dilihatnya, bayi darah dagingnya sendiri menangis parau karena kesakitan dengan luka dikening diatas alis kanannya itu. Bagaimanapun ia masih seorang manusia yang mempunyai rasa kasih sayang pada istri dan anaknya, selama ini dia diserang rasa bimbang karena harus membunuh anaknya sendiri, selain rasa sedih dan bersalah karena sudah membunuh selirnya yang sedang hamil empat bulan.