Tiga tahun kemudian…
Seiring dengan waktu yang terus melaju, usia manusiapun bertambah, kini Jaka Lelana dan sahabat sekaligus Kakak seperguruannya yakni Dharmadipa telah beranjak dewasa. Mereka telah menjelma menjadi pemuda yang tampan dan gagah, terutama Jaka Lelana. Adanya bekas luka di kening Jaka yang selalu ia tutupi dengan kain batik yang ia gunakan untuk ikat kepalanya tidak mengurangi keelokan parasnya, perangainya yang baik, senang mengalah, tutur katanya yang halus, sangat menghormati guru dan Kakak-kakak seperguruannya, ditambah bagaimana ia menyanyangi adik-adik seperguruannya membuat para murid wanita atau santriwati di padepokan Sirna Raga juga gadis-gadis di desa-desa sekitar padepokan sangat menyukai bahkan tergila-gila pada Jaka.
Sementara Dharmadipa, ia yang lebih tua satu tahun dari Jaka juga telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa serta tampan rupanya, namun sifatnya berbeda dengan Jaka, dia sangat keras kepala, egois, cepat naik darah, serta sedikit angkuh dan congkak, mungkin karena dia merupakan anak angkat dari Kyai Pamenang dan Nyai Mantili serta terlalu dimanja oleh orang tua angkatnya.
Sebenarnya dia adalah seorang pangeran dari negeri Parakan Muncang, namun ketika ia berusia lima tahun, negerinya hancur oleh pasukan islam gabungan demak, Cirebon, dan banten sebab menolak untuk menerima Islam masuk ke daerahnya, kedua orang tuanya mati terbunuh didepan matanya sendiri, saat itulah Kyai Pamenang datang menolongnya dan membawanya ke padepokan Sirna Raga, sejak saat itu dendamnya terus bergolak didadanya membuatnya cepat naik pitam. Dendam itu pula yang membuatnya labil hingga sering tidak bisa mengambil keputusan atau mengambil tindakan yang salah. Bersama Jaka Lelana sahabat sekaligus adik seperguruannya, adalah murid kesayangan Kyai Pamenang. Dalam hal gerakan silat dia masih kalah setingkat oleh Jaka, namun dalam ilmu aji kesaktian serta tenaga dalam dia lebih unggul setingkat dari Jaka.
Adapun Mega Sari telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang sangat cantik, tubuhnya yang ramping, berkulit putih bersih, berambut hitam panjang lurus bagus, dihiasi dengan perangainya yang baik serta senang tersenyum pada siapapun, tutur katanya halus membuat dirinya menjadi idola di padepokan Sirna Raga, termasuk Jaka Lelana dan Dharmadipa yang tergila-gila padanya.
Hanya saja mengingat bahwa dia adalah seorang putri kerajaan Mega Mendung, putri dari Prabu Kertapati yang termashyur kesaktiannya mereka tidak berani mendekati Mega Sari, hanya Jaka dan Dharmadipa yang sering nekat menemuinya secara diam-diam karena di Padepokan Sirna Raga, murid laki-laki dilarang untuk berdekatan dengan murid perempuan dengan alasan bukan muhrimnya. Paling sering Jaka dan Dharmadipa menemui Mega Sari dan menggodanya ketika Mega Sari mencuci pakaiannya di sungai setiap pagi, karena itulah kesempatan yang paling baik untuk menemui Mega Sari.
Pada suatu hari seusai sholat subuh, nampak dua orang pemuda sedang bersilat, berlatih tanding satu sama lain. Terdengar suara-suara bentakan nyaring yang mengiringi gerakan-gerakan silat mereka, mereka berdua tak lain adalah Jaka dan Dharmadipa yang sedang berlatih tanding. Diam-diam beberapa pasang mata para murid-murid gadis belia yang hendak berangkat untuk mencuci pakaian ke sungai menonton latihan mereka termasuk Mega Sari.
Latih tanding itu nampak seimbang, sulit diprediksi siapa yang lebih unggul di antara Jaka dengan Dharmadipa, pukulan demi pukulan serta tendangan demi tendangan saling berbalas satu sama lain. Pada suatu kesempatan, Dharmadipa mengirimkan satu tendangan keras, Jaka melompat ke atas menghindari tendangan tersebut, tubuhnya mencelat keatas dengan sangat ringan.
Dharmadipa segera menyusulnya melompat ke atas, terjadilah jual beli pukulan dan tendangan diatas udara yang mengundang decak kagum dari para penontonnya. Hingga pada suatu saat, sebuah pukulan Dharmadipa meluncur secepat kilat, Jaka menggeserkan tubuhnya kesamping, namun ternyata itu adalah suatu tipuan, kaki kiri Dharmadipa menendang pipi Jaka!
Deshh! Jaka jatuh ke tanah, kepalanya terasa berkunang-kunang, semua yang menonton tertawa melihat Jaka yang jatuh dengan cara yang lucu, termasuk Dharmadipa yang nampaknya puas telah mengalahkan Jaka, hanya Mega Sari saja yang nampak khawatir pada keadaan Jaka sebab ia telah menyimpan hati pada pemuda itu.
Dhramadipa lalu menolong Jaka berdiri, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Tidak apa-apa Kakang" jawab Jaka sambil memegangi pipinya yang kena tendang Dharmadipa tadi.
Setelah Jaka berdiri, para murid gadis yang tadi menonton mereka segera pergi menuju ke sungai. Jaka sambil memegangi pipinya dan Dharmadipa menatap kepergian Mega Sari menuju ke sungai "Jaka apa kau mau ikut ke sungai?" Tanya Dharmadipa yang tersenyum menatap punggung Mega Sari.
Jaka menangguk "Tentu saja aku mau Kakang", lalu dengan sembunyi-sembunyi mereka berdua pun mengikuti Mega Sari ke sungai.
Sesampainya di sungai, mereka berdua tidak langsung menghampiri Mega Sari yang sedang mencuci pakaian bersama kawan-kawannya, mereka bersembunyi di sebuah semak-semak. Dharmadipa memperhatikan cara Jaka menatap Mega Sari, dia pun menepuk pundak Jaka "Jaka, apakah kau menaruh hati pada Mega Sari?"
Jaka terkejut dengan dengan pertanyaan Kakaknya. Dia jadi salah tingkah sebab ia juga mengetahui kalau Dharmadipa juga menyukai Mega Sari tapi ia jadi salah tingkah sebab Kakaknya egois dan suka menang sendiri, melihat adiknya salah tingkah DHarmadipa tertawa "Hahaha… Jaka kau tidak usah menutupinya, aku juga tahu kalau kau menyukai Mega Sari!"
Jaka mengangguk "Benar Kakang… Aku memang menyukai Mega Sari… Lalu Bagaimana dengan Kakang?" Tanya balik Jaka yang sebenarnya pertanyaan yang tak penting sebab jawabannya sudah ia ketahui.
Dharmadipa lalu tersenyum sambil menatap Mega Sari "Ya aku menyukainya… Pria mana yang tidak akan menyukai Mega Sari?"
Jaka terdiam tidak menyahut, dia hanya menatap Mega Sari yang sedang asyik mencuci pakaiannya dan mengobrol bersama kawan-kawannya. Dharmadipa melirik sebentar pada Jaka lalu menatap Mega Sari lagi "Jaka bagaimana kalau berlomba?"
"Berlomba bagaimana Kakang?"
"Ya ,berlomba untuk mendapatkan cintanya Mega Sari!"
Jaka menggelengkan kepalanya, tentu saja ia tidak setuju dengan ide Kakaknya, apalagi kalau diingat bahwa Mega Sari adalah putri seorang raja, selain tentu saja karena dirinya yang hanya orang biasa tidak berhak untuk bersanding dengan Mega Sari, maka ia berkata "Maaf Kakang, aku tidak setuju sebab itu sangat tidak adil bagi Mega Sari, lagipula mengejar cinta Mega Sari bagaikan Punguk Merindukan Bulan bagiku. Mega Sari adalah putri Prabu Mega Mendung yang agung, aku yang hanya rakyat jelata yang tidak jelas asal-usulnya ini tidak pantas untuk mengharapkan cintanya!"
Dharmadipa terkejut mendengar jawaban Jaka tersebut, dia seolah baru ingat kalau Mega Sari adalah putri raja Mega Mendung, tapi sifat keras kepalanya dan rasa egoisnya membuatnya tidak bisa menerima fakta tersebut, apalagi kalau diingat bahwa ia juga merupakan seorang pangeran dari Parakan Muncang walaupun negeri tersebut sudah hancur belasan tahun yang lalu, "Itu sangat tidak adil Jaka! Cinta seharusnya tidak memandang status dan kedudukan! Akan tetapi mengingat bahwa aku sendiri juga adalah seorang Pangeran, darah biru trah Sang Hyang Prabu Niskala Wastu Kencana mengalir dalam tubuhku! Walaupun negeriku sudah hancur belasan tahun yang silam!"
Jaka menoleh dengan lemas pada Dharmadipa "Kalau begitu Kakang lebih berhak untuk mendekati Mega Sari daripada aku."
Dharmadipa menyeringai kegirangan, "Kamu benar adikku," sahutnya dengan gembira seolah ia tidak mempedulikan perasaan Jaka yang terluka dengan kenyataan pahit bahwa ia tidak akan bisa menggapai cintanya Mega Sari.
Pembicaraan mereka terputus ketika tiba-tiba gadis yang sedang mereka bicarakan sudah berdiri dihadapan mereka berdua "Hayo! Sedang apa kalian?! Kalian mengintip kami mandi ya?!" semprot Mega Sari.
Dharmadipa dan Jaka Lelana terkejut karena mereka tidak menyadari kehadiran Mega Sari dihadapan mereka, tentulah ini karena Mega Sari juga memiliki ilmu kanuragan dan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi hingga gerakan dan langkah kakinya sangat ringan dan tak bersuara membuat kehadirannya tak disadari oleh dua kakak seperguruannya itu, "Eh tidak, tadi kami hanya mau mandi, eh tak tahunya ada para gadis di sungai, jadi kami menunggu disini" jawab Dharmadipa, sedangkan Jaka terdiam salah tingkah.
"Huh! Alasan saja!" dengus Mega Sari sambil tersenyum genit, gadis belkulit putih mulus itu sengaja mengibaskan rambut indahnya dihadapan mereka berdua, lalu gadis itu melangkah berlenggang-lenggok meninggalkan mereka.
Dharmadipa dan Jaka segera mengejarnya "Mega Sari tunggu!" panggil Dharmadipa, lalu sambil tersenyum dia berjalan disebelah Mega Sari sementara Jaka berjalan dibelakang mereka dengan kepala tertunduk.
"Mau apa?" tanya Mega Sari.
"Emh…" Dharmadipa berpikir sejenak, dia lalu mengambil keranjang berisi baju yang tadi dicuci oleh Mega Sari "Bagaimana kalau aku bawakan ini?"
Mega Sari tidak langsung menjawab, dia menoleh kebelakang pada Jaka, sebenarnya ia berharap Jaka yang mengambilkan keranjang cuciannya, tapi Jaka malah terrdiam sambil tertunduk lesu, maka sambil tersenyum ia membolehkan Dharmadipa mengambil keranjang cuciannya "Baiklah, Kakang. Tapi hanya sampai dekat padepokan saja, ya… Kalau sampai dilihat guru kita bisa dihukum."
Mereka berjalan dengan pelan menuju ke padepokan, di sepanjang perjalanan Dharmadipa terus mengajak ngobrol Mega Sari. Mega Sari menanggapinya sambil tersenyum, ia memang suka pada Dharmadipa namun sejujurnya ia lebih menyukai Jaka Lelana, maka sebenarnya ia lebih senang kalau Jaka yang mengajaknya ngobrol, ia heran dengan sikap Jaka kali ini, biasanya kalau Dharmadipa mengajak dirinya mengobrol, Jaka tidak mau kalah dan ikut mengajaknya mengobrol, namun kali ini Jaka hanya diam saja, bahkan Jaka hanya berjalan di belakang mereka.