Dharmadipa terus berjalan menunggangi kudanya meninggalkan padepokan Sirna Raga dan kawasan Tagok Apu, wajahnya kelam membesi memerah pertanda ia masih diliputi hawa amarahnya, hingga di suatu tepian sungai ia menghentikan kudanya, ia lalu minum dan membasuh wajahnya sambil memberi kudanya minum, seketika itu juga ia teringat pada Jaka adik seperguruannya sekaligus sahabatnya yang ia celakai tadi dengan pukulan sirna raga, ia lalu menatap tangan kanannya yang tadi pagi melepaskan pukulan Sirna Raga pada Jaka.
"Jaka… Oh…" desahnya ketika mengingat wajah Jaka yang kesakitan ketika pinggangnya terkena pukulan Sirna Raga, kini barulah ia menyesali mengapa ia tidak bisa menahan dirinya sampai ia mencelakai Jaka dengan pukulan pamungkasnya yang seharusnya tak boleh ia gunakan sembarangan.
Perlahan penyesalan itu berubah menjadi rasa sakit yang mendera hatinya, air mata penyesalannya mulai menetes "Oh guru… Mengapa aku selalu tak bisa menahan diri hingga selalu berbuat sesuatu yang kusesali kemudian?!" ratapnya, sekonyong-konyong ia terbangun, menaiki kudanya dan memacunya bagaikan kesetanan menuju ke selatan, mulutnya tak henti-hentinya meratap menyesali perbuatannya tadi, di pelupuk matanya terbayang hubungan persaudaraan mereka berdua yang sudah terjalin sejak kecil.
Dia terus berkuda ke arah selatan menuju ke gunung Patuha, hutan demi hutan ia masuki, sungai demi sungai ia lewati, desa demi desa ia lalui untuk mencari jalan ke gunung Patuha demi bisa bertemu dengan Mega Sari, namun karena ia tidak pernah pergi jauh dari padepokan, maka agak sulit baginya untuk menemukan jalan ke Gunung patuha, tak terhitung ia beberapa kali harus tersesat.
Hingga pada suatu hari ia melewati pesawahan yang berada di suatu mulut desa, Dharmadipa melihat ada beberapa orang petani sedang menggarap sawahnya, ia pun segera menghampiri petani itu "Punten" sapanya, para petani itu pun menoleh pada Dharmadipa "Punten bade tumaros, apa nama desa ini?" tanyanya. (Permisi mau Tanya).
"Ini desa Ciwaas Ki Dulur" jawab salah satu petani itu.
Dharmadipa lalu menatap jalan setapak yang lurus terus masuk ke desa sampai ke luar desa, "Jalan ini kalau terus menuju ke mana?" Tanya pemuda itu lagi.
Para petani di sana saling pandang lalu menatap Dharmadipa seolah menyelidik pemuda itu yang membuat Dharmadipa menjadi kurang nyaman, "Kaditu katonggoh, ke lereng gunung Patuha" jawab petani itu. (Kaditu Ka ltonggoh = Kesana keatas).
Dharmadipa memperhatikan lagi jalan setapak lurus itu "Apa masih ada desa di sana?"
Seorang petani yang nampaknya paling tua di antara mereka menghampiri Dharmadipa sambil membuka topi capingnya, sepasang mata tuanya memandang Dharmadipa tanpa berkesip "Tidak ada, desa inilah yang terakhir yang paling ujung di kaki gunung Patuha ini… Punten, kalau boleh tahu Ki Dulur mau ke mana?"
"Hatur nuhun Bapak semuanya" pungkas DHarmadipa yang tak mau menjawab pertanyaan petani tua tadi, dia langsung menggebrak kudanya, memacu dengan cepat kudanya melewati jalan setapak tersebut.
Para petani yang ada di sana saling pandang dengan rasa penuh penasaran "Selama ini tidak ada orang yang mau ke gunung Patuha selain untuk menempuh jalan hidup sesat dan ilmu hitam" ucap salah satu dari mereka.
"Ya aku pun ingat ketika melihat satu kereta hitam yang melintas dengan cepat melewati desa kita menuju ke Gunung Patuha beberapa bulan yang lalu" sahut kawannya.
"Sudah kita jangan mengurusi urusan orang lain, sebaiknya kita lanjutkan pekerjaan kita dan selalu memohon kepada Gusti Allah agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan!" pungkas si petani tua.
Menjelang tengah hari, Dharmadipa sudah melewati batas desa ciwaas, jalan setapak tersebut lama kelamaan menghilang menjadi jalanan yang penuh semak belukar, para penduduk desa Ciwaas yang melihatnya nampak ketakutan melihat Dharmadipa yang memacu kudanya ke arah lereng Gunung Patuha namun pemuda ini tidak memperdulikannya, dan akhirnya ia memasuki sebuah hutan perawan yang cukup lebat, dia menghentikan kudanya sejenak dan memandang berkeliling mencari jalan, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara orang yang sedang membelah atau memotong kayu, dia pun mengikuti suara itu.
Ternyata suara itu membawanya ke bagian hutan yang lebih lebat, kuda yang yang tumpangi menjadi gelisah, ia sendiri ikut gelisah melihat kerapatan hutan ini, ditambah bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri, untunglah ia melihat seorang kakek dan nenek yang sedang memotong kayu bakar beberapa meter dihadapannya, ia pun segera menghampirinya.
"Punten, apa aki dan nini tahu daerah ini?" tanyanya.
Kedua kakek nenek itu menatap DHarmadipa dengan keheranan tapi juga dengan menyelidik, "Punten, Asep ini siapa?" Tanya si Kakek.
"Saya dari padepokan Sirna Raga, aku ingin tahu apa disekitar gunung Patuha ini ada rumah tempat tinggal atau semacamnya?" sahut Dharmadipa.
Si Kakek dan Nenek itu melongo mendengar pertanyaan Dharmadipa "Jangankan ada orang yang tinggal di sana, tidak ada seorang pun yang berani menapakan kakinya kesana Den, bahkan untuk sampai ke tempat ini saja sudah banyak yang tidak berani" jawab si Kakek dengan suara bergetar.
Dharmadipa keheranan dengan jawaban si Kakek "Mengapa? Mengapa tidak ada yang berani?"
Kini wajah si Kakek dan Nenek itu berubah ketakutan "Tidak… kami tidak berani mengatakannya" ucap si Nenek bergidik.
Dhramadipa semakin keheranan juga penasaran, si Kakek pun menjadi penasaran dengan Dharmadipa "Apakah Asep mencari seseorang?"
Dharmmadipa mengangguk "Iya, apakah Aki dan Nini melihat sebuah kereta berwarna hitam menuju ke Gunung Patuha?"
Si Kakek dan Nenek itu tampak terkejut di tengah ketakutannya, "Tidak, kami tidak pernah melihat" jawab si Kakek.
Dharmadipa menatap kedua orang berusia lanjut ini dengan penuh selidik "Aku tahu Aki dan Nini merahasiakan sesuatu" pikirnya, ia lalu turun dari kudanya "Aku tidak mempunyai maksud buruk datang ke tempat ini, aku hanya ingin bertemu dengan orang yang menaiki kereta itu!"
Mendengar ucapan Dharmadipa, kedua orang tua itu malah mengkerut semakin ketakutan, penasaran Dharmadipa pun mendekati mereka "Kenapa? Kenapa Aki dan Nini seperti ketakutan?"
Si Kakek nyengir menyembunyikan ekspresi dan gestur tubuhnya "Oh tidak, saya memang pernah mendengar orang-orang di desa-desa sekitar sini menceritakan tentang seorang gadis muda yang masih belia yang mengenakan kereta hitam menuju jalan ini, melewati lereng Gunung menuju ke puncak gunung Patuha, tapi tidak ada seorang pun yang mengenalnya".
Dharmadipa mengangguk-ngangguk "Hmm… Kalau begitu pasti diatas sana ada tempat tinggal seseorang, saya dengar gadis itu berguru pada seseorang yang berdiam di puncak Patuha sana, tidak mungkin gadis itu pergi kesana kalau tidak ada orang yang mau ditemuinya".
Mendengar itu, si Nenek menarik-narik baju si Kakek, si Kakek itu paham dengan maksud si Nenek segera mengambil seluruh kayu bakarnya "Maaf Sep, kami tidak berani mengatakan apa-apa lagi pada Asep, selamat tinggal" Kakek dan Nenek itupun meninggalkan Dharmadipa.
"Tolonglah, aku hanya ingin penjelasan kalian!" pinta Dharmadipa.
Kedua orang tua membalikan tubuhnya "Saya sarankan Asep membatalkan niat asep, ada sesuatu yang tidak bisa asep atasi diatas sana, sesuatu yang diliputi misteri yang sangat rahasia, bahkan orang-orang desa disekitar gunung ini tidak ada yang tahu persis ada apa sebenarnya di puncak gunung Patuha ini, punten asep, kami duluan!" setelah berkata begitu kedua orang tua itu langsung berlalu tanpa menoleh lagi.
Dharmadipa semakin keheranan dan penasaran "Ada apa sebenarnya dengan Gunung Patuha ini?" tanyanya pada diri sendiri sambil memandang berkeliling hutan perawan yang lebat dan ditumbuhi pohon-pohon besar itu.
Dengan semakin diliputi keheranan dan rasa penasaran, Dharmadipa melangkah melepaskan tali kudanya, tiba-tiba kuda itu itu menjadi binal dan meringkik-ringkik, Dharmadipa pun dengan susah payah menenangkan hewan itu, kemudian dengan kira-kira saja ia melanjutkan perjalanannya mengikuti arah angin.
Hutan yang ia masuki semakin lebat membuat pemandangan disekitarnya menjadi gelap, padahal waktu masih tengah hari! Ia terus masuk ke hutan itu namun nampaklah suatu keanehan, ia malah kembali ke tempat tadi ia bertemu dengan aki dan nini yang sedang mencari kayu bakar "Aneh, kenapa aku bisa berada disini lagi?" pikirnya.
Dia lalu kembali masuk kedalam hutan yang lebat yang tadi ia masuki, tapi lagi lagi ia kembali ke tempat tadi, "Apa tadi seharusnya aku mengambil jalan yang kekanan? Aneh… Mustahil aku bisa nyasar! Aku kan biasa tinggal di pegunungan". Dengan rasa penasaran yang semakin besar, ia kembali memasuki hutan yang gelap tersebut, di bawah sebuah pohon beringin besar, kuda yang tumpangi menjadi semakin binal sampai Dharmadipa terjatuh dari kudanya, lalu kuda itu kabur berlari meninggalkannya.
Dharmadipa segera bangun dan menguasai dirinya lagi, ia lalu duduk bersila menatap pohon beringin raksasa ini, dia lalu bersidekap mengheningkan cipta sambil mengerahkan tenaga dalamnya "Punten, maafkan saya apabila Eyang disini kurang berkenan wilayahnya dimasuki oleh saya, tapi saya minta izin untuk lewat jalan ini, saya hendak menuju ke puncak gunung Patuha".
Selesai ia berkata seperti itu tiba-tiba angin berseoran menggoyankan ranting-ranting pohon disekitar sana, daun-daun pun berguguran sehingga menambah seram suasana di hutan lebat nan gelap itu. Dharmadipa lalu bangun dan dengan nekat ia melanjutkan langkahnya, sekonyong-konyong tempat itu dipenuhi kabut putih pekat yang mengalangi pandangan Dharmadipa, ia pun mendengar suara gamelan yang disertai suara rebab dan seruling khas Sunda memainkan lagu yang menyayat hati, untuk kesekian kalinya bulu kuduk pemuda ini berdiri, karena ia merasa tidak ada pilihan, ia pun terus melangkah menembus kabut pekat itu sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk bersiap-siap.
Beberapa saat kemudian kabut itu pun mulai menipis, semakin menipis hingga akhirnya lenyap, tapi Dharmadipa terkejut dan keheranan ketika melihat tempat ia berada sekarang, ia seperti berada di sebuah bukit cadas, ke manapun mata memandang hanya nampak bongkahan cadas-cadas saja, tidak ada pohon maupun tumbuhan lainnya seperti hutan tempat ia berada tadi, dan yang paling aneh adalah hari telah malam ketika ia berada di bukit cadas itu, padahal ketika berada di hutan tadi hari masih siang, bahkan saat Ashar pun belum! Di tengah rasa anehnya, Dharmadipa terus berjalan berkeliling, tiba-tiba… Srookkkk!!! Ia jatuh ke jurang padahal di matanya didepannya tidak ada jurang! "Aaaahhh Guru!!!" jeritnya.