Di tajug Padepokan Sirna Raga, Kyai Pamenang sedang berzikir sambil menunggu saat shalat Ashar tiba, tiba-tiba ia seperti mendengar suara Dharmadipa murid sekaligus anak angkatnya yang terkasih berteriak memanggil namanya, Kyai Pamenang pun terkejut lalu membuka matanya, ia menatap berkeliling "Dharmadipa… Dimana kamu?" bisiknya.
Setelah menghela nafasnya beberapa kali sambil mengusap wajahnya, sang Kyai lalu menutup kedua mantanya dan membaca doa untuk Dharmadipa "Allahuakbar… Laillahaillallah… Gusti Allah yang maha mendengar lagi maha melihat, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penolong, hamba mohon tolonglah anak hamba, murid hamba Dharmadipa… Sesungguhnya ENGKAU Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, hanya kepadaMU lah hamba memohon".
***
Dharmadipa membuka matanya, ketika itu pula seluruh nyeri dari luka di tubuhnya terasa, ia mengerang kesakitan, setelah kesadarannya pulih, ia melihat kalau ia sedang berada di sebuah gubug reyot, hari pun telah malam. Dengan matanya yang berkunang-kunang ia melihat ada dua sosok orang yang mendekatinya, ternyata mereka adalah si Aki dan Nini yang ia temui di hutan.
Mereka berdua menghampiri Dharmadipa "Aki dan Nini siapa? Dimana aku sekarang?" Tanya pemuda ini.
"Tenanglah sep, Asep jangan banyak bergerak dulu, sekarang Asep ada di rumah kami" jawab si Kakek, sementara si Nenek mengolesi luka-luka di tubuh Dharmadipa dengan semacam parem.
"Alhamdulillah Asep telah selamat, suami saya menemukan tubuh Asep tergeletak didasar jurang" sambung si Nini.
Dengan kepala yang masih pusing, Dharmadipa mengingat-ngingat apa yang telah terjadi pada dirinya, "Ya aku ingat sekarang, saat melewati sebuah pohon beringin besar tiba-tiba seluruh hutan dipenuhi kabut yang pekat, dan saat kabut menghilang aku berada diatas bukit cadas dan hari telah malam, saat kebingungan sambil mencari jalan, tiba-tiba aku jatuh masuk kedalam jurang, padahal saat itu dihadapanku tidak ada jurang" ceritanya.
"Untunglah Tubuh Asep tertahan semak belukar, kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Asep, bersyukurlah pada Tuhan Sep" sahut si Kakek.
Dharmadipa seakan baru teringat pada Tuhannya, selama ia meninggalkan padepokannya ia seolah terlupa pada agamanya "Alhamdulillah…" ucapnya dengan penuh rasa lega, "Hatur nuhun Aki dan Nini sudah menolong saya".
"Sama-sama, kami hanya kebetulan lewat ke Jurang, rupanya Gusti Allah masih sayang pada Asep dan menuntun kami untuk menemukan Asep" ucap si Aki.
"Dan kami sudah memperingatkan Asep, tidak semua orang bisa masuk ke kawasan Gunung Patuha, tapi nampaknya Asep bersikeras pergi kesana" sambung si Nini.
"Aahhh…" Dharmadipa mengerang sambil bangun untuk duduk "Ya sekarang saya baru yakin, Gunung Patuha memang penuh rahasia seperti yang dikatakan oleh semua orang yang saya tanyai ketika menuju kesini", pemuda yang mempunyai bentuk rahang yang kokoh ini menghela nafasnya.
"Saya seperti orang bodoh, tiba-tiba seperti orang kebingungan, dan tersesat jalan, bahkan seluruh panca indraku seolah tidak berfungsi sebagaimana mestinya!"
Si Aki lalu memijit pundak Dharmadipa "Banyak yang mengalami nasib seperti Asep, dan sebagian besar kurang mujur, mereka tewas jatuh kedalam jurang".
Dharmadipa mengangguk-ngangguk "Ada apa sebenarnya di sana Ki?"
Si Aki menghela nafas "Entahlah sep, penduduk desa Ciwaas maupun penduduk desa lainnya disekitar gunung ini tidak ada yang berani kesana, bahkan ke tempat asep bertemu kami kemarin siang pun mereka tidak berani, tapi keanehan gunung yang selalu ditutupi kabut putih ini pun sering kami rasakan".
"Kemarin siang? Berarti saya sudah pingsan cukup lama?" Tanya Dharmadipa yang kaget.
"Benar Asep" jawab si Nini.
Dharmadipa pun menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, "Lalu bagaimana dengan gadis belia yang menaiki kereta hitam yang saya tanyakan?" Tanya lagi Dharmadipa dengan penuh penasaran.
"Oh ya… Gadis belia yang menaiki kereta hitam yang melintasi jalanan di pinggir hutan ini… Kalau ingatanku tidak salah, sejak kecil ia sering bolak-balik kemari, hingga sekitar empat tahun yang lalu kami tidak pernah melihatnya lagi, tapi tiba-tiba beberapa bulan yang lalu kami melihatnya lagi melintasi hutan ini" ucap si Kakek.
"Jadi dulu sewaktu ia masih kecil pun sering melintasi jalan ini menuju ke puncak Patuha?" Tanya Dharmadipa.
"Benar, ia tidak pernah mau untuk singgah di desa, ia selalu singgah di sungai sebelah sana untuk mandi dan minum… Tapi sebenarnya kami tidak ada yang tahu pasti siapa sebenarnya dia, entah apa yang ia lakukan di atas puncak gunung sana… Oya Kuda Asep kami temukan dalam hutan, dia berlari-lari tapi hanya berputar-putar saja, ia seperti ketakutan tapi tidak bisa meninggalkan hutan ini".
"Ya terimakasih… Tapi dimakah ini sebenarnya Ki? Kalau ini di desa mengapa tempat ini terasa sunyi dan sepi sekali?".
Si Aki menghela nafas "Gubug ini berada di luar desa Ciwaas, tepat di mulut hutan menuju ke lereng Gunung Patuha, kami memlih hidup disini untuk menyepi".
Si Nini lalu menepuk bahu Dharmadipa "Sebaiknya Asep istirahat dulu agar asep lekas sembuh, hari sudah larut… Menginaplah dulu di gubug kami ini sampai luka-luka Asep sembuh".
Dharmadipa mengangguk sambil tersenyum pada si Aki dan Nini "Terimakasih…"
Di Tajug Padepokan Sirna Raga, Tak henti-hentinya Kyai Pamenang mengirim doanya untuk Dharmadipa, setelah sholat Tahajud dan membaca doa-doa, dia memanggil Dharmadipa "Dharmadipa… Pulanglah, kamu masih memerlukan aku, kamu masih harus banyak belajar, banyak yang belum kau ketahui tentang hidup, pulanglah…".
Dharmadipa yang tertidur di gubug sepasang Aki dan Nini tidak dikenal tiba-tiba terbangun, ia seperti mendengar suara Kyai Pamenang memanggil-manggil namanya, ia pun teringat pada ayah dan ibu angkatnya, air matanya pun mulai mengucur "Ayah… Ibu… Maafkan aku…" semalam itu pun ia tidak bisa tidur dan terus menangis terisak-isak.
***
Di sebuah hutan dekat Padepokan Sirna Raga, Jaka terus melatih pukulan Sirna Raga yang baru saja ia kuasai batu-batu kapur yang besar menjadi sasaran dari pukulan sakti milik Jaka, akan tetapi pukulan sakti yang dimilikinya tersebut masih belum sehebat milik Dharmadipa sebab tenaga dalam Dharmadipa lebih unggul setingkat darinya.
Kyai Pamenang yang melihat latihan Jaka menghampirinya "Bagaimana Jaka?" tanyanya.
Jaka segera menghentikan latihannya, ia langsung menjura hormat pada gurunya "Alhamdulillah murid sudah mulai bisa menguasainya guru".
Kyai Pamenang menepuk-nepuk bahu Jaka dengan bangga, hanya dalam tempo beberapa hari, Jaka sudah dapat menguasai ajian pamungkas yang ia ciptakan "Bagus Jaka, kau harus terus menyempurnakan pukulan itu, tapi jangan terlalu memaksakan diri, lukamu belum sepenuhnya sembuh… Bagaimana keadaan lukamu?"
"Sudah tidak apa-apa guru, hanya bekas luka bakar di pinggang saya terkadang masih terasa nyeri" jawab Jaka.
"Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa kita, karena hakekatnya IA jualah yang memberikan kesembuhan, aku Cuma alat, obat hanya lantaran, ingatlah itu baik-baik Jaka, semua yang terjadi di alam semesta ini adalah kehendak Gusti Allah" ucap Kyai Pamenang.
"Baik Guru, murid akan mengingatnya" sahut Jaka.
"Tapi maaf Guru kalau murid lancang… Saya menyesal telah gagal menahan kepergian Kakang Dharmadipa, malah murid meladeni tantangannya" ucap Jaka.
Kyai Pamenang tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Jaka "Orang beriman tidak akan menyesali apa yang sudah terjadi, yang penting ia membuatnya kesalahannya di masa lalu untuk mengingatkan dirinya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa datang".
Jaka tersenyum mendengar petuah dari gurunya yang bijak itu, "Ternyata saya sama saja dengan Kakang Dharmadipa, masih menjadi budak hawa nafsu".
Kyai Pamenang tertawa kecil mendengar ucapan murid terkasihnya tersebut "Hehehe… Tipu daya iblis itu memang licik muridku, dia paling gampang masuk lewat harga diri, orang selalu merasa tidak bersalah kalau melakukan apa saja demi harga diri hingga ia tidak sadar sudah terperangkap dalam sikap sombong, angkuh, dan takabur! Padahal antara Harga diri, kesombongan, takabur dan keangkuhan, sulit dibedakan… Maka dari itu pandai-pandailah merendahkan dirimu, bukan untuk menjual harga dirimu, tapi ingatlah bahwa kita semua tidak ada apa-apanya dimata Gusti Allah, dimataNYA kita semua sama, tidak pandang kaya atau miskin, tidak pandang rakyat atau priyayi" jelas Kyai Pamenang sambil tersenyum yang rasanya sangat menyejukan hati Jaka, petuah itu ia resapi dalam-dalam.
Kyai Pamenang lalu melangkah, matanya menatap menerawang keatas langit biru yang cerah tanpa awan "Kau adalah muridku yang paling dekat dengan Dharmadipa Jaka, jangan bosan-bosan memberi nasehat dan pengertian-pengertian padanya, kau harus membatu aku mendidiknya Jaka".
Jaka menangguk "Iya guru, saya akan menjalankan pesan guru".
***
Pada suatu pagi, Dharmadipa yang sudah sembuh keluar dari gubug si Aki dan Nini yang sampai saat ini pun tidak ia ketahui namanya, ia lalu berjalan mengambil tali kekang kudanya "Sekali lagi saya ucapkan terimakasih untuk Aki dan Nini yang sudah merawat saya sampai sembuh" ucapnya.
Si Aki dan Nini tersenyum "Sama-sama Asep, Asep juga boleh berkunjung lagi kemari kapanpun Asep mau" jawab si Aki.
Dharmadipa pun mengangguk sambil tersenyum, lalu setelah ia mengucapkan salam, ia mulai menjalankan kudanya, tujuh langkah kemudian, sebuah angin besar yang deras bertiup, Dharmadipa melindungi matanya, setelah angin itu reda, ia membuka kembali matanya, alangkah terkejutnya ia ketika melihat tempat dimana ia berada, ia berada di tempat ketika pertama kali bertemu dengan si Aki dan si Nini beberapa hari yang lalu sebelum ia jatuh ke jurang, dengan penuh rasa penasaran, ia menoleh ke belakang, bukan main terkejutnya ia, ternyata ia tidak melihat rumah gubuk si Aki dan Nini yang beberapa hari kemarin ia tempati, ia malah melihat pohon beringin besar yang tempo hari ia lihat didalam hutan yang lebat nan gelap.
Seketika itu juga bulu kuduknya berdiri, tanpa pikir panjang ia memacu kudanya keluar dari hutan itu, untunglah kali ini ia tidak "Disesatkan" atau "Dipermainkan" lagi, ia dapat melihat jalan setapak yang ia lalui beberapa hari yang lalu, ia terus memasuki kudanya memasuki desa Ciwaas, ia kemudian berhenti sejenak di warung makan untuk mengisi perutnya, menurut keterangan pemilik warung, dulu memang ada sepasang kakek nenek yang hidup didalam hutan di sana, tapi mereka sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu! Pemuda yang cepat naik darah inipun berusaha menindih keterkejutannya, setelah selesai makan ia langsung memacu kudanya pulang ke Padepokan Sirna Raga.