Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 16 - Rajah Cakra Bisma (1)

Chapter 16 - Rajah Cakra Bisma (1)

Dharmadipa terus berjalan menunggangi kudanya menuju ke Padepokan Sirna Raga, beberapa hari kemudian sampailah ia ke padepokan. Awalnya ia merasa segan untuk masuk ke padepokan dan memutuskan untuk duduk sejenak dibawah rindangnya pepohonan di hutan dekat padepokan. Setelah diam sejenak untuk menimbang-nimbang perasaanya, ia pun masuk kedalam padepokan, beberapa murid yang berpapasan dengan dirinya menatap Dharmadipa dengan tatapan aneh yang membuat pemuda ini merasa tidak nyaman.

Dharmadipa turun dari kudanya, ia terus masuk ke padepokan, hingga Jaka yang melihat kepulangan dirinya menghampirinya, Dharmadipa menatap Jaka dengan perasaan aneh dan bersalah, tapi Jaka malah menyapanya seperti biasa seolah tidak ada masalah yang terjadi diantara mereka "Kakang Dharmadipa, Kakang sudah pulang… Kakang baik-baik saja?" tanyanya dengan ramah.

Sikap Jaka yang seperti itu membuat Dharmadipa merasa kagok dan tidak nyaman, ia merasa bersalah sekali pada adik seperguruannya ini, tapi ia juga merasa gengsi untuk minta maaf terlebih dahulu, maka ia pun mengalihkan pembicaraan "Guru ada dimana Jaka?"

"Guru sedang beristirahat di kamarnya Kakang, Kakang sebaiknya menunggu Guru di Balairiung saja, aku akan memberi tahu guru kalau Kakang sudah pulang" jawab Jaka.

"Tidak usah, sebaiknya aku langsung saja ke kamar guru" sela Dharmadipa.

"Maaf Kakang, Kakang 'kan baru pulang setelah meninggalkan padepokan ini cukup lama, jadi guru berpesan padaku kalau Kakang pulang, Kakang disuruh langsung menunggu guru di balairiung" jawab Jaka.

Dharmadipa pun terpaksa mengangguk "Baiklah kalau begitu"

Jaka pun langsung menemui Kyai Pamenang di kamarnya "Guru, Kakang Dharmadipa sudah pulang"

Kyai Pamenang menghela nafas lalu menangguk "Bagus, kumpulkan seluruh murid putra dan putri di Balairiung, ada suatu hal yang ingin aku sampaikan pada kalian semua."

"Baik, Guru." Jaka pun melakukan apa yang gurunya perintahkan.

Dharmadipa menunggu di balairiung dengan perasaan tidak enak, apalagi ketika dilihatnya seluruh murid-murid putra dan putri berkumpul di balairiung. Dengan perasaan gelisah ia pun menunggu, hingga akhirnya Kyai Pamenang beserta Nyai Mantili masuk ke ruang Balairiung, Dharmadipa pun menatap wajah ayah dan ibu angkatnya dengan perasaan tidak enak dan canggung.

Kyai Pamenang menatap wajah anak angkatnya dengan tatapan tajam, dia lalu memanggilnya "Dharmadipa, kemarilah!"

Dharmadipa pun menghampirinya dan duduk di bawah dihadapan Kyai Pamenang, Kyai Pamenang pun membuka mulutnya sambil menunjuk wajah Dharmadipa, Sang Kyai yang biasanyanya berucap lemah lembut ini kini berusara tegas "Sebelum berangkat ke Banten aku sudah berpesan pada kamu Dharmadipa dan pada Jaka Lelana juga Kadir untuk menjaga keamanan dan ketertiban padepokan ini, dan khusus kepada Kadir sebagai murid tertua disini untuk mewakili aku, tapi setelah aku kembali menginjakan kaki di bukit Tagok Apu ini, aku malah mendapatkan hal-hal yang memalukan!"

Sebenarnya ucapan dari Kyai yang telah sepuh ini bukan hanya untuk Dharmadipa saja, tapi juga untuk Jaka terutama Kadir sebagai murid tertua, mereka berdua menundukan kepalanya, matanya lekat-lekat menatap ke lantai karena merasa bersalah dengan teguran gurunya ini, tapi bagi Dharmadipa yang angkuh juga harga dirinya tinggi, ia malah merasa malu dan tersinggung, ia merasa dipermalukan dihadapan seluruh murid-murid padepokan ini. Ia tidak menundukan kepalanya, ia malah berani menatap wajah Gurunya itu.

Kyai Pamenang lalu menatap Dharmadipa lagi, ia marah melihat Dharmadipa berani menatap wajahnya "Dharmadipa!" ucapnya dengan suara tinggi.

"Ya, Ayah…," sahut Dharmadipa.

Kini meledaklah amarah Kyai Pamenang "Jangan Panggil aku ayah! Diantara saudara-saudarimu di padepokan ini, aku gurumu! Panggil aku Guru!"

Dharmadipa pun menangguk "Iya, Guru"

Kyai Pamenang menghela nafasnya lalu bertanya, "Darimana saja kamu? Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"

Dharmadipa terdiam, ia bingung harus menjawab apa, "Dharmadipa!" panggil Kyai Pamenang lagi.

Akhirnya Dharmadipa pun menjawab juga "Ampun Guru, semua yang saya lakukan tentu ada sebabnya".

Kyai Pamenang menatap Dharmadipa dengan tatapan setajam mata elang "Apa?"

Dharmadipa lalu memelototi Jaka "Adi Jaka telah mencampuri urusan saya terlalu jauh! Ia telah membuat saya jengkel!"

Kyai Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya "Itu karena Jaka sayang padamu! Bukankah kau sangat dekat dengan Jaka sedari kecil? Adikmu ini adalah sahabatmu juga bukan? Dia adalah saudaramu yang tidak ingin kau mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, dia ingin kau selamat!"

Dharmadipa melotot pada Jaka, lagi-lagi harga dirinya yang tinggi membuat ia merasa diremehkan "Tapi dia tidak usah melakukan hal itu! Saya dapat menjaga diri saya sendiri tanpa bantuan Jaka guru!"

Kyai Pamenang berdecak mendengar ucapan muridnya ini, "Takabur! Bacalah Istigfar Dharmadipa! Kau tidak selamanya mampu menjaga dirimu sendiri, suatu saat kau bisa lengah, bisa alpha! Untuk itu, kau membutuhkan teguran dari orang lain, kau membutuhkan peringatan dari orang lain, entah itu dari aku, dari Nyai Guru, dari saudara dan saudarimu, atau dari siapa saja yang peduli padamu! Sebab kau tidak bisa melihat kelemahan dirimu sendiri!"

Jari Kyai Pamenang menunjuk Jaka "Apa yang telah kau lakukan pada Jaka Lelana adikmu?"

Dharmadipa lalu menatap Jaka yang masih menundukan kepalanya, ia lalu menjawab sejujurnya "Kami berkelahi Guru…"

Kyai Pamenang menunjuk Jaka "Kau bermaksud membunuh Jaka Lelana dengan Aji Pukulan Sirna Raga?"

Dharmadipa merasa semakin tersudutkan, emosinya pun terus tersulut, ia mulai kembali berani menatap wajah Gurunya "Ampun, Guru. Saya terima salah, saya terlalu bernafsu, saya mohon maaf guru, saya juga minta maaf padamu Adi Jaka!"

Kyai Pamenang mengangguk "Aku menghargai kesedianmu meminta maaf, tapi yang penting kau harus mampu merubah watakmu sendiri, berulang kali aku menasehatimu, sebut nama Allah sebelum kau melakukan segala sesuatu, beristigfarlah kalau sedang marah, bila perlu ambilah wudhu dan laksanakanlah Shalat!"

Dharmadipa menngagguk "Baik, Guru"

Kyai Pamenang lalu menatap ke barisan duduk murid-murid putri "Selama ini yang aku dengar, kau keluyuran mencari Mega Sari setelah ia keluar dari padepokan ini?"

Dharmadipa menelan ludahnya "Iya, Guru"

Kembali tatapan tajam Kyai Pamenang seolah menusuk dada Dharmadipa "Kau pikir apa kau yang lakukan itu benar?"