Di suatu tepi pantai Mega Sari berjalan seorang diri, ia tidak mengenakan pakaian tuan putrinya, ia hanya mengenakan kain samping dan kemben batik berwarna cokelat, rambutnya tidak disanggul, rambutnya hanya diikat lalu digelung sedikit, penampilannya saat itu nampak seperti hanya seorang gadis desa biasa. Gadis bermata bulat tajam itu terus berjalan menyusuri bibir pantai, hingga ia melihat Jaka Lelana sedang berdiri seorang diri diatas sebongkah batu karang. Alangkah senangnya Mega Sari melihat pemuda berambut gondrong rapi, berkulit putih, yang mengenakan pakaian ringkas biru tua, dengan ikat kepala batik bermotif khas Mega Mendung, bertubuh tinggi kekar itu, sekilas wajahnya sangat mirip dengan Mega Sari.
Mega Sari lalu berlari menghampiri Jaka "Kang Jaka!" panggilnya dengan berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya.
Jaka menoleh lalu melempar senyumnya dan melambaikan tangannya. "Kang Jaka aku kangen padamu!" teriak Mega Sari sambil terus berlari.
"Aku juga kangen padamu Mega Sari!" balas Jaka yang ikut berlari menghampiri Mega Sari, akan tetapi saat mereka telah dekat, tiba-tiba ada sepasang tangan kokoh yang menarik Mega Sari, ternyata Prabu Kertapati menarik Mega Sari yang membuat gadis itu kaget setengah mati.
"Mega Sari jangan kau dekati pemuda itu!"
Mega Sari berontak "Tidak Rama Prabu! Hamba mencintai pemuda itu!"
Saat itu tiba-tiba dia melihat ibunya menangis sedu sedan dihadapannya "Anakku jangan! Jangan dekati pemuda itu!" ratap Dewi Nawang Kasih.
"Kenapa Ibu? Kenapa saya tidak boleh mencintai Kang Jaka?!" jerit Mega Sari.
Dewi Nawang kAsih dan Prabu Kertapati tidak menjawabnya, Sang Prabu lalu memanggil prajuritnya, tiba-tiba datanglah empat orang prajurit bertubuh tinggi kekar dengan tampang menyeramkan, mereka langsung menangkap Jaka, pemuda berkulit langsat itu tidak melawan, ia hanya pasrah ketika lengan dan kakinya diikat oleh kedua prajurit itu, sedangkan yang lainnya menodongkan tombak panjangnya, "Kang Jaka kenapa kau tidak melawan?! Ayo lawan supaya kita bisa hidup bersama?!"
Jaka hanya menggelengkan kepalanya perlahan. "Maaf Mega…"
Mega Sari segera berontak dan berhasil melepaskan diri dari cengkraman ayahnya lalu berlari mengejar Jaka yang digelandang keempat prajurit itu "Kang Jaka! Kang Jaka!" jeritnya.
Emak Inah kelabakan juga menenangkan Gusti Putrinya yang sedang mengigau memanggil-manggil Kang Jakanya itu, "Gusti Putri! Gusti Putri! Bangun!" ucap perempuan tua itu.
Mega Sari pun terbangun dengan tubuh bermandikan peluh, dia lalu mengatur nafasnya yang sesak, tak terasa air matanya pun meleleh dari kedua matanya yang bulat tajam indah itu. "Kang Jaka…," ratapnya.
"Gusti putri kenapa? Apa Gusti putri bermimpi buruk tentang pemuda yang bernama Jaka itu?"
"Iya, Mak. Aku bermimpi buruk… Buruk sekali… Aku bermimpi Rama Prabu tidak merestui hubungan kami dan hendak menghukum mati Kang Jaka" jawab Mega Sari sambil menangis sesegukan.
Emak Inah pun membelai bahu Mega Sari "Apa perasaan Gusti putri sebegitu mendalamnya kepada pemuda yang tak jelas asal-usulnya itu?"
Mega Sari mengangguk lemas, Emak Inah menghela nafasnya "Bukankah Emak sudah bilang kalau bibit-bebet-bobot calon jodoh kita harus jelas? Apalagi untuk jodoh seorang tuan putri seperti Gusti Putri Mega Sari".
Mega Sari menaruh kepalanya di pangkuan Emak Inah "Tapi perasaan ini tak bisa aku bending apalagi aku hilangkan Emak, apalagi wajah kami begitu mirip, bukankah menurut orang tua kalau seseorang memiliki wajah dan fisik yang mirip dengan kita itulah jodoh kita?"
Emak Inah mengangguk perlahan "Itu benar Gusti, tapi bukankah masih ada seorang saudara seperguruan Gusti yang bernama Dharmadipa itu? Bukankah dia juga seorang Pangeran walaupun negerinya telah lama hancur? Mohon maafkan Emak, sebaiknya dalam keadaan Gusti yang sekarang, Gusti jangan terlalu berharap, bagaimana kalau Gusti putri melakukan apa yang disarankan Emak kemarin? Gusti kan sudah berhasil menguasai Ilmu Ngareh Jiwa seperti yang diinginkan Gusti Prabu, sekarang saatnya Gusti membuat Gusti Prabu senang dengan melaksanakan tugas-tugas Gusti Putri sebaik-baiknya".
Mega Sari mengusut air matanya, "Kakang Dharmadipa memang lebih memiliki peluang, aku juga suka padanya, tapi… Oh kenapa aku bisa menyukai dua laki-laki sekaligus dan menginginkan mereka berdua menjadi pendampingku? Ya walaupun sejujurnya aku lebih menyukai Kang Jaka yang berwajah mirip denganku dan perangainya lembut…"
Mega Sari lalu bangun dan menatap jauh keluar jendela "Emak benar, sebaiknya sekarang aku berusaha dulu untuk menyenangkan hati Ramanda Prabu", Emak Inah mengangguk sambil tersenyum. Kereta hitam yang membawa mereka pun terus meluncur menembus kegelapan malam.
***
Pada suatu pagi, Jaka melihat Kyai Pamenang yang terus mengobati luka Dharmadipa, sebenarnya Jaka merasa sangat penasaran dengan apa terjadi ketika melihat gurunya datang dengan menggotong tubuh Dharmadipa yang terluka parah, tapi ia tidak berani menanyakannya. Kini ia mencoba memberanikan diri untuk menanyakannya "Apakah lukanya parah sekali guru?" Tanya yang tidak langsung masuk pada persoalan.
Kyai Pamenang mengehela nafas berat. "Iya, lukanya jauh lebih parah dari lukamu Jaka…"
Kyai Pamenang lalu berhenti sejenak menatap luka didada Dharmadipa, Jaka tak berani membuka mulutnya "Aku terpaksa melakukannya Jaka, dia menyerangku dengan Aji Pukulan Sirna Raga, dengan kekuatan penuh, dengan nafsu membunuh! Dan semuanya berbalik padanya".
Kyai Pamenang kemudian menaruh dedaunan obat setelah mengoles luka bakar di dada Dharmadipa dengan obat "Tanpa aku sadari, ajian Wahyu Takwa keluar dari tubuhku dan membentengi tubuhku, kemudian… Ahhh… Bagaimanapun dia muridku, anak angkatku yang kukasihi satu-satunya setelah perkawinanku dengan istriku tidak dikaruniai seorang anak… Tapi kelakuannya membuat aku lupa, barangkali aku yang salah, selama ini aku selalu memanjakannya, aku menyayanginya lebih dari yang lain, itu menyebabkan sifat buruknya sewaktu kecil makin parah", Jaka pun terdiam, dia hanya membantu gurunya mengobati Dharmadipa.
Kyai Pamenang lalu menatap jauh keluar jendela. "Masih segar dalam ingatanku ketika aku pertama kali menemukan Dharmadipa, usianya masih sekitar 5 tahun kala itu, saat itu ia menangis memeluk jenasah ibunya yang telah meninggal, kemudian dengan nekat ia mengambil Keris pusaka milik ayahnya yang telah mati terbunuh prajurit gabungan Islam, matanya tajam menatap penuh dendam pada prajurit-prajurit yang telah membunuh ayah dan ibunya, matanya…
Pancaran matanya menyala-nyala bagaikan api yang berkobar-kobar membakar kayu dan daun-daun yang kering, rajah Cakra Bisma di keningnya bagaikan bercahaya, saat itulah aku menolongnya, karena kasihan aku membawanya ke padepokan ini untuk kujadikan murid dan kuangkat ia menjadi anakku satu-satunya, aku beri ia ilmu pengetahuan agama Islam dan ilmu kesakitian lainnya, akan tetapi rupanya dendam itu telah terlanjur mengakar mendarah daging di tubuhnya, meskipun kini ia telah memeluk Islam, namun ia belum bisa melupakan dendamnya pada Prajurit-Prajurit Demak, Cirebon, dan Banten yang Islam itu, membuatnya setengah hati untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam…
Dendam itu pulalah yang membuatnya labil serta senantiasa selalu terbelenggu hawa nafsu sehingga ia selalu melakukan perbuatan yang akan selalu disesalinya kelak… Sebagai orang tua dan gurunya aku selalu menasehatinya agar mengikhlaskan kehilangannya agar dendam yang memenuhi hatinya itu lenyap, tapi entah mengapa ia selalu tidak mengindahkannya, dan memilih untuk menderita sebab hatinya senantiasa selalu berat diliputi bara api dendam dan kebencian!"
Saat itu tiba-tiba Dharmadipa menggeliat-liat, di alam bawah sadarnya ia melihat Mega Sari tersenyum sambil memainkan rambutnya yang indah diatas sebuah gunung, ia lalu memanggil-manggil Dharmadipa "Kakang Dharmadipa, Kakang Dharmadipa ayo kemaarilah!"
Dharmadipa pun segera berlari ke puncak gunung itu. "Mega tunggu aku!"
Tetapi tiba-tiba datanglah Kyai Pamenang menarik tubuhnya dari belakang "Dharmadipa jangan! Jangan kau datangi Mega Sari!"
Dharmadipa terdiam berpikir setelah mendengar ucapan gurunya tersebut, tapi kemudian dilihatnya Mega Sari tersenyum manis sekali melambaikan tangannya "Kakang Dharmadipa, ayo kesini! Akan aku berikan seluruh jiwa ragaku untukmu!"