Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 28 - Duel Dua Saudara (1)

Chapter 28 - Duel Dua Saudara (1)

Dilain pihak Jaka terus mengamuk merobohkan belasan perampok, tiga orang dari mereka jadi kecut melihat kehebatan pemuda ini, mereka langsung mengambil langkah seribu, tapi Jaka yang hatinya sedang geram akibat kekejaman mereka langsung melompat mengejarnya, dengan tendangan beruntun dalam jurus "Tendangan Kuda Sembrani", tiga orang itu langsung roboh dengan tulang dada hancur!

Setelah merobohkan seluruh sisa perampok, Jaka lalu menonton pertarungan antara Dharmadipa dengan Macan Seta yang berlangsung sangat seru, penduduk desa pun menonton dengan harap-harap cemas. Dharmadipa dan Macan Seta nampak seimbang, jurus mereka yang mirip membuat sulit untuk memperkirakan siapa yang akan dapat merobohkan lawannya duluan.

Beberapa jurus kemudian Dharmadipa mulai terlihat lebih unggul, apalagi ketika si Macan Seta mengetahui kalau seluruh kawan-kawannya sudah berhasil dilumpuhkan, mulai melelehlah nyalinya! Pada satu kesempatan, ia melihat kesempatan untuk melarikan diri, ia pun melemparkan beberapa butir senjata rahasia pada Dharmadipa lalu membalikan badannya.

Tapi tentu saja Dharmadipa tidak mau melepaskannya, dia melompat menghindar kemudian langsung menerjang mengirimkan enam tendangan beruntun dalam jurus "Tendangan Kuda Sembrani!"! Tubuh kepala perampok itu pun mental terkena tendangan itu lalu jatuh terguling-guling dan muntah darah! hampir seluruh tulang rusuknya patah akibat tendangan murid Kyai Pamenang yang sangat dahsyat tersebut!

Melihat Macan Seta sudah lumpuh, Dharmadipa segera menerjang hendak membunuhnya, tapi segera ditahan oleh Jaka "Kakang tahan! Kita serahkan saja pada para penduduk desa ini!"

Dharmadipa pun mendengus kesal, tangannya langsung melepas topeng Macan Seta dengan kasar, kini nampaklah wajah asli Macan Seta "Ternyata wajahmu buruk seburuk perbuatanmu!" ejek Dharmadipa saat melihat wajah asli dari kepala perampok yang teramat bengis ini.

Jaka lalu menoleh dan menatap kepada seluruh warga desa "Saudara-saudara hukuman apa yang pantas untuk perampok ini?" tanyanya.

"Bunuh! Bunuh perampok itu! Penggal kepalanya! Seret keliling desa bangkainya!" teriak para penduduk desa.

"Tunggu! Bukankah kejahatannya bukan hanya dilakukan pada suadara-sudara semua? Kenapa tidak kita serahkan ia pada pemerintah Mega Mendung?" Tanya Jaka.

Ki Demang menyunggingkan senyum sinis "Pemerintah? Ki Dulur, justru gerombolan perampok ini muncul di lereng gunung Masigit ini akibat pemerintah Mega Mendung juga! Pajak yang terlampau tinggi mencekik rakyat membuat mereka merampok! Karena dia sudah membuat banyak orang menderita, maka ia juga harus siap menerima penderitaan ratusan kali lipat yang lebih pedih!" yang diamini oleh seluruh warga desa, si Macan Seta hanya menggil ketakutan, celana basah karena mengompol saking ketakutannya.

Jaka Menghela nafasnya "Ki Demang dia sudah menyerah, itu artinmya dia sudah siap untuk diadili, tapi bukan dengan cara kita seperti ini! Saya bisa mengerti perasaan Ki Demang dan seluruh warga desa ini, saya juga muak dengan orang macam ini, tetapi kalau kita tidak suka dengan tindakannya, kenapa kita harus berbuat seperti dia? Hentikan Ki Demang, dia harus diadili, bagaimanapun dia harus diadili dengan hukum yang berlaku diatas tanah Mega Mendung ini" ucap pemuda itu dengan lembut.

Ki Demang dan seluruh warga terdiam mendengarnya, sekonyong-konyong Dharmadipa menghampiri Ki Demang dengan marahnya "Sekarang sudah terbukti bukan kalau aku ini bukan penipu?! Sekarang sudah kupenuhi janjiku untuk membantu kalian meringkus perampok ini! Kembalikan Keris Pusakaku!"

Ki Demang menyerahkan Keris pada Dharmadipa dengan perasaan sangat malu dan serba salah "Maafkan kami Den, kami… Ya harap maklumlah, keadaan kami sedang serba kalut begini".

Dharmadipa meotot menatap semua warga desa "Sudah aku bilang, aku ini murid Kyai Pamenang dari Padepokan Sirna Raga! Aku ini hendak menolong kalian, tapi kalian malah meracuni aku dan menjebloskan aku kedalam penjara!"

Ki Demang dan seluruh warga desa tertunduk malu, Dharmadipa lalu memelototi Macan Seta dengan tatapan penuh dendam, rajah cakra bisma didahinya memerah seolah menyala-nyala! Jaka terkejut melihat tatapan Dharmadipa yang penuh dendam dan nampak mengerikan pada si kepala perampok itu, tiba-tiba Dharmadipa mengangkat tangan kanannya keatas, tangannya memancarkan cahaya merah yang sangat panas bagaikan bara api, dan dengan sangat cepat Dharmadipa mendorongkan tangan kanannya pada si Macan Seta! Satu Lidah Api disertai gelombang pusaran angin panas menyambar Macan Seta! Blaarrr! Tubuh Macan Seta terlempar jauh kebelakang langsung hangus terbakar!

"Mengapa Kakang membunuhnya?! Bukankah ia sudah menyerah?! Kakang sama kejamnya dengan Macan Seta!" sentak Jaka yang terkejut melihat Tubuh Macan Seta hancur terbakar terkena pukulan Sirna Raga Dharmadipa.

"Ini hukum alam! Karma! Dan mereka tidak lebih baik dari macan betulan! Mereka manusia berhati binatang! Yang harus dihukum secara binatang!" solot Dharmadipa dengan mata melotot berapi-api.

"Kakang! Kita harus menghukum mereka dengan hukum manusia! Serahkan mereka pada Prabu Mega Mendung untuk diadili!" balas Jaka dengan suara tinggi.

"Huh masa bodoh!" cibir Dharmadipa yang langsung melangkah meninggalkan mereka, ia langsung naik keatas kudanya, "Kakang Dharmadipa tunggu!" panggil Jaka, tapi Dharmadipa terus memacu kudanya, Jaka pun langsung melompat naik keatas kudanya dan mengejar Dharmadipa.

***

Matahari sudah mulai menunjukan dirinya di ufuk timur, cahaya emasnya mulai menerangi jagat ciptaan Sang Maha Pencipta ini. Dharmadipa terus memacu kudanya hingga menjelang tengah hari sampailah ia disuatu tempat di lembah Gunung Tangkuban Perahu setelah menempuh tiga hari perjalanan, jauh dibelakangnya Jaka yang terus mengejar Dharmadipa selama tiga hari perjalanan terus memacu kudanya berusaha menyusul Dharmadipa.

"Kakang Dharmadipa! Tunggu!" teriak Jaka yang disertai tenaga dalam, sehingga suaranya bergema diseluruh lembah Gunung Tangkuban Perahu tersebut, tapi Dharmadipa tidak mempedulikannya dan terus berlalu.

"Kakang Dharmadipa tunggu! Aku membawa surat dari guru untuk Kakang!" teriak Jaka lagi yang suaranya bergema diseluruh lembah itu.

"Dasar kepala batu!" maki Dharmadipa yang terus memacu kudanya. Suara panggilan Jaka untuk Dharmadipa terus menggema di lembah itu, Dharmadipa jadi merasa ragu juga "Jangan-jangan guru sakit?" pikirnya yang mulai memperlambat lari kudanya.

"Kakang Dharmadipa aku akan terus mencarimu, sampai surat ini ada di tanganmu!" teriak Jaka sambil mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya.

Dharmadipa yang berada di tempat yang tinggi dengan matanya yang tajam menatap surat yang ada di tangan Jaka "Kau akan celaka kalau kau bohong Jaka Lelana!" ancam Dharmadipa sambil menunjuk Jaka dengan suara yang disertai tenaga dalam hingga suaranya pun bergema di lembah itu.

Jaka melihat ke arah datangnya suara Dharmadipa, dia lalu memacu kudanya keatas ketempat Dharmadipa, tapi Dharmadipa segera menghardiknya "Berhenti! Tunjukan dulu surat itu!"

Jaka pun melompat turun dari kudanya lalu membuka gulungan surat itu. Dharmadipa pun melompat turun dari kudanya menuju ke tempat Jaka berdiri.