"Ooohhh… Kang Jaka…," ratap Mega Sari, bahunya berguncang-guncang, air matanya mengalir deras, badannya lemas, kepalanya langsung terasa pusing, untunglah ada Emak Inah yang memegangi tubuhnya. Dharmadipa yang melihat begitu sedihnya Mega Sari yang mendengar kabar kematian Jaka menjadi cemburu tapi ia berusaha menahannya dan menunggu Mega Sari berucap lagi. Setelah menangis beberapa saat akhirnya Mega Sari mengusap air matanya, ia kembali melempar senyum manisnya, aneh sekali memang, entah apa yang ada dalam benak gadis ini.
"Oya tadi aku dengar Kakang hendak menuju ke gunung Patuha, Kakang mau apa kesana?" tanyanya yang tiba-tiba memasang senyum manis lagi yang membuat hati Dharmadipa kembali senang.
"Aku hendak menyusulmu Mega Sari, aku sangat ingin menemuimu!" jawab Dharmadipa terus terang.
Mega Sari tertawa manis sekali sambil memainkan rambutnya, "Hahaha… Sekarang Kakang tidak usah kesana lagi, aku hendak pulang ke Rajamandala untuk menghadap Rama Prabu, bagaimana kalau Kakang menyusul saja ke Rajamandala dan mengabdi pada Rama Prabu?"
Dharmadipa mengangguk sambil tersenyum. "Baik, aku akan menyusulmu ke Rajamandala dan akan mengabdi pada Prabu Kertapati tapi dengan syarat!"
Mega Sari menaikan sebelah alisnya yang tebal bagus itu. "Ah pengabdianmu pada Negara memakai syarat Kakang".
Dharmadipa tersenyum dengan perasaan tidak menentu, "Aku Hanya memintamu untuk menjawab beberapa pertanyaan Mega Sari."
Mega Sari tersenyum sambil melenggak-lenggokan kepalanya. "Tapi tetap itu adalah syarat bukan? Artinya Kakang mempunyai pamrih!"
Dharmadipa mengangguk tegas. "Iya, dan pamrihnya adalah kau!" senyumnya diiringi tatapan tajam ke mata Mega Sari.
Mega Sari tertawa malu-malu, dengan senyum menggoda ia kembali memainkan ujung rambutnya yang indah itu. "Artinya aku tidak punya pilihan lain bukan? Apa pertanyaanmu?"
Dharmadipa terdiam sejenak, ia mengumpulkan keberanian dirinya untuk mengungkapkan perasaannya pada Mega Sari "Pertama apakah boleh aku mengagumi kecantikanmu? Kedua sejak kita bertemu dulu di padepokan, pernahkah engkau memimpikan diriku? Dan yang terakhir… Maukah kau menjadi istriku?"
Mega Sari tertawa perlahan, gayanya semakin genit tapi tetap manis mendengar pertanyaan tersebut "Kakang terlalu berlebihan memuji diriku, itu jawaban aku yang pertama."
Dharmadipa menggelengkan kepalanya. "Tidak Mega Sari, aku mengatakan yang sejujur-jujurnya!"
Mega Sari mengangguk tersipu. "Baiklah Kakang boleh menganggumi saya, tapi Kakang tidak boleh tergila-gila padaku, sebab Kakang belum terlalu tahu siapa aku walaupun kita adalah saudara satu seperguruan!"
"Aku tidak perduli, aku sangat mengenalmu dalam mimpi-mimpiku," sergah Dharmadipa dengan halus.
"Jawaban yang kedua… Pernah… Terus terang Aku pernah 2 kali memimpikan Kakang, bertemu dengan Kakang" ucap Mega Sari dengan gaya malu-malunya yang membuat perasaan Dharmadipa semakin tidak menentu, apalagi ketika ia mendengar bahwa Mega Sari pernah mempimpikan dirinya
"Mimpi apakah itu, Mega Sari?"
"Aneh sekali memang, aku mengatakan bahwa aku menagih janji darimu Kakang, seolah Kakang pernah berjanji kepada saya entah dimana, mungkin di suatu tempat yang paling jauh, barangkali di alam halus, dibalik kehidupan kasar ini, Kakang berjanji mau menikahiku," jawab Mega Sari malu-malu.
"Itulah pertanyaanku yang ketiga," sambung Dharmadipa
"Emh… Aku sarankan Kakang jangan terlalu grasa-grusu, sekali lagi, Kakang belum terlalu kenal siapa aku, dan aku pun belum terlalu mengenal siapa Kakang" ujar Mega Sari.
Dhamadipa menggelengkan kepalanya. "Jawablah pertanyaan itu Mega Sari! Aku perlu ketentraman jiwa!"
Mega Sari mengangguk perlahan, "Baiklah… Bagaimana kalau misalnya aku tidak bersedia? Kakang tahu kan siapa aku dan bagaimana keadaanku?"
Kepala Dharmadipa terkulai lemas mendengarnya, tapi kembali Mega Sari mengumbar tawa dan senyum manisnya. "Jangan terlalu sedih dulu, aku kan baru bilang misalnya"
Dharmadipa kembali mengangkat kepalanya dengan penuh harap, "Jadi?"
Sepasang mata bulat tajam Mega Sari menatap tajam mata Dharmadipa "Bodohlah wanita yang tidak mau menjadi istri Kakang, Kakang seorang laki-laki perkasa, Kakang adalah lambang kepuasan yang didambakan setiap wanita, Kakang Dharmadipa saya bersedia menjadi istri Kakang, tapi tentu ada syaratnya."
"Apa itu!?" tanya Dharmadipa bersemangat.
"Tidak bisa aku katakan sekarang, Kakang kita pasti akan bertemu lagi, datanglah ke Rajamandala! Di sanalah aku akan mengatakan persyaratan untuk dapat menikahi aku" jawab Mega Sari yang membuat Dharmadipa termenung.
"Maaf aku tidak bisa lama-lama mengobrol di sini, aku harus segera pulang ke Rajamandala, kalau boleh aku hendak permisi Kakang" pamit Mega Sari.
"Baiklah, aku pasti akan segera menyusulmu ke Rajamandala dan mengabdi pada Gusti Prabu Kertapati" sahut Dharmadipa, Mega Sari pun menutup pintu keretanya, kereta hitam itu segera menluncur meninggalkan Dharmadipa yang masih berdiri termenung di tempat itu.
Di dalam kereta tiba-tiba tangis Mega Sari kembali meledak, ia teringat pada Jaka "Ooohhh… Kang Jaka… Kenapa engkau begitu cepat meninggalkan aku?" ratapnya.
Emak Inah segera menenangkannya. "Lho bukannya Gusti tadi telah memberikan harapan pada Dharmadipa?"
Mega Sari menatap Emak Inah dengan mata berlinang memerah "Benar, tadi aku harus bertindak cepat agar Kakang Dharmadipa tidak putus asa mengejarku, bagaimanapun aku membutuhkan seorang pelindung yang kuta yang bisa aku kendalikan!"
"Bukankah Gusti juga mencintai Dharmadipa? Gusti pasti akan senang bila dapat membuat orang yang Gusti cintai menjadi pelindung sekaligus teman hidup Gusti," tanya Emak Inah lagi.
"Emak benar, saya memang mencintai Kakang Dharmadipa, dan bisa lebih saya kendalikan sebagai pelindung saya, akan tetapi perasaan saya terhadap Kang Jaka lebih besar, saya masih belum bisa melupakannya!" sahut Mega Sari.
"Akan tetapi Jaka sudah pergi, Emak setuju dengan Gusti yang bertindak cepat untuk membuat Dharmadipa bisa menjadi pelindung sekaligus calon teman hidup Gusti, daripada gusti harus bersanding dengan Pangeran dari Pasir Wangi itu," ucap Emak Inah sambil membelai punggung Mega Sari.
"Emak benar! Saya harus bisa menyingkirkan Pangeran Munding Sura dari hidup saya, untuk itu saya membutuhkan Kakang Dharmadipa!" jawab Mega Sari dengan nada marah sekali. "Munding Sura… Tunggu saja aku akan mengakhiri hidupmu sekalian bersama ayahmu! Itulah hukumannya bagi siapa saja yang berani menganggu hidupku!" geramnya dalam jiwa, matanya indah itu memancarkan api dendam yang menakutkan!