Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 35 - Bisikan Iblis (2)

Chapter 35 - Bisikan Iblis (2)

Dharmadipa seolah baru tersadarkan diri mendengar ucapan Mega Sari yang terdengar manja namun sangat menggoda itu "Eh maafkan aku Gusti Putri kalau aku tidak sopan" ucapnya sambil menjura hormat.

"Lho kenapa Kakang memberiku hormat dan memanggilku Gusti Putri segala? Bukankah Kakang selalu memanggilku dengan namaku? Lagipula kita akan menjadi sepasang suami istri bukan?" ucap Mega Sari yang semakin membuat perasaan Dharmadipa tidak menentu.

"Maka dari itu bukankah pertemuan ini adalah untuk kau mengatakan satu syarat yang harus aku lakukan agar bisa menikah denganmu bukan?" tanya putera angkat Kyai Pamenang tersebut.

Mega Sari mengangguk tapi kemudian raut wajahnya berubah menjadi sangat sedih yang membuat Dharmadipa merasa tidak enak. "Kakang benar, tapi ada satu pertanyaan untukmu sebelum aku mengatakan satu syarat itu."

Perasaan Dharmadipa semakin tidak enak mendengarnya, tapi sebab ia telah sangat terbius ingin sekali memiliki Mega Sari maka ia pun membuka mulutnya. "Pertanyaan apakah itu Mega Sari?"

Mata Mega Sari berubah kuyu, dengan sayu ia menatap Dharmadipa. "Benarkah Kakang mau menerimaku apa adanya meskipun aku sudah bukan seorang gadis lagi melainkan seorang janda?"

Bagaikan disengat halilintar, bukan olah-olah kejutnya Dharmadipa mendengar pertanyaan itu "Apa?! Apa maksudmu Mega Sari?!"

"Jawab dulu pertanyaanku Kakang, sebab ini berkaitan dengan syarat yang akan Kakang lakukan untukku demi bisa menikahiku, kalau kakang tidak bersedia maka sebaiknya kita sudahi pertemuan ini dan sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi!" sergah Mega Sari dengan suara bergetar menahan tangis, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya yang putih mulus halus itu.

Dharmadipa terdiam berpikir sejenak sambil menatap Mega Sari, tanpa pikir panjang ia menjawab dengan tegas. "Baiklah, aku bersedia meskipun engkau telah menjadi seorang janda Mega Sari!"

Mega Sari tersenyum lebar mendengarnya, wajahnya kembali ceria. "Bagus! Kakang dalam empat hari kedepan aku akan menikah dengan Pangeran Munding Sura dari Pasir Wangi!"

Sontak saja Dharmadipa bagaikan tersambar petir di tengah hari bolong, ia langsung dibakar api cemburu, dadanya sesak, matanya melotot, tanda rajah cakra bisma di keningnya menyala, hatinya terasa tercabik-cabik. Mega Sari tersenyum senang melihat Dharmadipa yang langsung dibakar api cemburu itu. "Tapi Kakang tenang saja, aku tidak akan membiarkan pangeran durjana itu menyentuhku sampai Kakang bisa melakukan syarat yang aku minta!"

"Syarat apakah yang engkau minta Mega Sari?" tanya Dharmadipa dengan dada sesak.

Mega Sari tersenyum sinis. "Kakang harus mampu membunuh Pangeran Munding Sura!"

Dharmadipa mendelik mendengar syarat tersebut, "Membunuhnya?"

Mega Sari tersenyum manis sambil mengangguk. "Kakang tenang saja, aku telah memikirkan satu strategi yang mulus agar Kakang dapat membunuhnya tanpa ketahuan siapapun dan malah Rama Prabu akan merestuimu untuk menikahi aku!"

Dharmadipa diam hanya menatap Mega Sari, Mega Sari pun menyeringai lalu berjalan memutari tubuh Dharmadipa. "Saat hari pernikahan, aku akan membuat keributan besar di Rajamadala, aku akan menyuruh Abah Silah untuk membuat Liman Wadag gajah tunggangan Rama Prabu mengamuk dan mengacak-acak kutarja.

Gajah itu cukup sakti dan sangat tangguh sehingga tak sembarang orang bisa menundukannya, nah Kakang tundukanlah gajah itu, maka aku yakin Rama Prabu akan sangat berterima kasih pada Kakang dan akan mengangkat Kakang menjadi jabatan yang tinggi, apalagi kalau aku ceritakan bahwa Kakang adalah saudara seperguranku dari Padepokan Sirna Raga dan sebagai putra mendiang Prabu Wangsadipa dari Parakan Muncang, dan aku yakin Kakang juga akan diikut sertakan Rama Prabu ke dalam jajaran pasukan yang akan menyerbu negeri Bojanegara.

Nah pada saat pasukan kita berhasil menyerbu masuk ke keraton Bojanegara, Kakang bunuhlah Prabu Bojakerti dari Bojanegara dan Pangeran Munding Sura sekaligus. Ketika Rama Prabu menawarkan hadiah untuk Kakang, mintalah untuk menikahiku, Rama Prabu pasti akan menyetujuinya!" jelas Mega Sari tentang rencananya yang kian dalam menancapkan pengaruhnya pada Dharmadipa.

Dharmadipa mengelus-elus dagunya sambil berpikir. "Hmm… Rencanamu sungguh matang Mega Sari, tapi bagaimanakah dengan kau sendiri Mega Sari? Bukankah kau ingin menjaga kesucianmu walaupun telah menikah dengan Pangeran Munding Sura?" tanyanya dengan suaraagak tercekat.

Mega Sari tertawa kecil manis sekali, tapi sungguh nampak keculasannya pada tawa gadis ini. "Hahaha… Kakang tenang saja, Kakang sebagai seorang pria pasti tahu saat-saat seorang pria dilarang untuk menyetubuhi istrinya sendiri, saat seorang istri tidak bisa melayani suaminya!"

Dharmadipa mengangguk-ngangguk "Baiklah kalau begitu Mega Sari, aku sanggupi persyaratan darimu dan rencanamu ini, apapun akan aku lakukan agar aku dapat bersatu denganmu!" tegas Dharmadipa, bukan main girangnya Mega Sari mendengar kesanggupan Dharmadipa, ia pun mengumbar senyum manis dan tawanya yang bagaikan buluh perindu itu yang membuat Dharmadipa semakin bernafsu untuk memenuhi persyaratanya.

***

Empat hari kemudian, hari ini adalah hari yang diBojanegarai baik untuk melangsungkan pernikahan bagi putri dari Mega Mendung Mega Sari dan Pangeran Munding Sura yang usianya sudah 42 tahun yang baru kali ini menikahi permaisurinya karena selama ini dia hanya mengawini selir-selir untuk ia nikmati tubuhnya saja, singkatnya ia terlambat menikah karena terlalu banyak bersenang-senang dengan para wanita yang ia jadikan selir-selirnya, inilah yang membuat Mega Sari muak dan tidak bersedia dinikahi olehnya!

Di saat keraton dan seluruh Kutaraja Rajamandala sedang rama-ramainya oleh pesta pernikahan putri Raja mereka, sesosok tubuh tinggi kurus mengenakan pakaian serba hitam dan wajahnya ditutupi cadar hitam mengendap-endap ke arah kandang hewan tunggangan Prabu Kertapati, gerakannya sangat halus nyaris tak bersuara.

Saat ia sudah dekat di area kandang tersebut ia melihat beberapa prajurit yang berjaga-jaga di sana, ia lalu duduk mengheningkan cipa bertafakur, mulutnya berkomat-kamit, sekonyong-konyong munculah kabut tipis berwarna putih menghampiri seluruh area kandang tersebut, para prajurit yang berada di sana langsung merasa sangat ngantuk, mereka pun jatuh tertidur kemudian! Itulah kehebatan Aji Sirep yang dikeluarkan si manusia bercadar hitam ini.

Setelah memastikan semua penjaga di sana tertidur, ia pun mendekati kandang gajah Liman Wadag, gajah jantan tunggangan Prabu Kertapati yang sangat tangguh dan konon seluruh tubuhnya tidak mempan oleh senjata tajam! Orang itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantungnya, ternyata itu adalah gumpalan lumpur beserta cacing dan ulat yang sebelumnya telah dimantrai oleh Mega Sari. Gumpalan lumpur itu dimasukan kedalam hidung gajah raksasa itu, seketika itu juga Liman Wadag langsung mengamuk dan menjadi gila!

Hewan raksasa itu menghancurkan kandangnya lalu berlari keluar dan mengamuk sejadi-jadinya mengobrak-abrik keraton serta Kutaraja Rajamandala di hari pernikahan putri raja mereka! Korban-korban segera berjatuhan baik para prajurit maupun rakyat yang sedang menonton acara pernikahan Gusti Putri mereka, kacau balaulah pesta pernikahan Pangeran Munding Sura dan Mega Sari yang seharusnya bahagia itu!

Gajah itu berlari keluar dari area keraton dan mengobrak-abrik apa saja yang ada di hadapannya. Prabu Kertapati pun segera memerintahkan para prajuritnya untuk menangkap atau bila perlu membunuh gajah tumpangannya yang tiba-tiba menjadi gila itu. Puluhan prajurit beserta ponggawa mengepung Liman Wadag di alun-alun Rajamandala, tapi percuma saja, bagaimana pun mereka mengeluarkan seluruh kesaktian yang mereka miliki tidak ada yang mampu membendung amukan gajah sakti itu, jangankan meringkusnya, senjata-senjata ataupun ajian-ajian sakti mereka tidak ada yang bisa melukai atau bahkan menggores kulit Liman Wadag! Tubuh mereka semua terpental berpelantingan terlempar ke udara bagaikan daun-daun kering yang tertiup angin! Banyak di antara mereka yang tidak berkutik lagi!

Bukan main geramnya Pangeran Munding Sura melihat pesta pernikahannya menjadi kacau balau akibat amukan Gajah tunggangan ayah mertuanya yang tiba-tiba menjadi gila itu! Dia hendak turun dari pelaminannya untuk meringkus gajah itu, awalnya Prabu Kertapati dan Prabu Karmasura mencegahnya, namun ketika mendapati Ki Patih Balangnipa yang telah berusia lanjut itu juga tidak sanggup meringkus Liman Wadag, Prabu Kertapati pun mengizinkan anak menantunya untuk meringkus gajah tersebut.

Pangeran Munding Sura segera menerjang Liman Wadag dengan segala kesaktiannya, akan tetapi Keris pusaka dan segala ajian yang ia miliki seolah tidak ada artinya dihadapan hewan raksasa yang sedang mengamuk ini! Tubuhnya terpental diseruduk Liman Wadag, untunglah ia segera ditolong oleh Ki Patih Balangnipa yang sama-sama tidak dapat menundukan gajah tersebut.

Melihat amukan Liman Wadag yang semakin menggila dan kesaktian hewan itu yang jauh lebih hebat dari biasanya, Prabu Kertapati segera melihat dengan mata bathinnya, ia melihat ada sesosok mahluk ghaib yang menunggangi dan mengendalikan gajah tersebut. Merasa tidak ada seorang pun di sana yang akan sanggup untuk menundukan gajah itu, ia sendiri yang akan turun tangan!

Baru saja ia melangkah menuruni tangga keraton untuk meringkus gajah tunggangannya tersebut, tiba-tiba sesosok tubuh melayang dari arah penonton. Seorang pemuda berperawakan tinggi kekar dengan alis tebal, tulang alis menonjol, tulang rahang kokoh, serta berpakaian layaknya rakyat biasa langsung bersujud sembah pada Prabu Kertapati, "Ampuni hamba yang bodoh ini Gusti Prabu, mohon kiranya Gusti Prabu mengizinkan saya untuk menundukan gajah gila itu."

Prabu Kertapati memperhatikan pemuda yang bersujud di hadapannya itu dengan saksama "Siapa kau?"

"Hamba Dharmadipa murid Kyai Pamenang dari padepokan Sirna Raga Gusti Prabu," jawab Dharmadipa dengan kepala yang masih menunduk.

Prabu Kertapati mengangguk setuju, "Ah kebetulan ada anak murid Kyai Pamenang disini, baiklah aku izinkan kau untuk meringkus gajah gila itu!"

Dharmadipa menjura hormat sekali lagi, "Daulat gusti prabu, hamba permisi."

Setelah beringsut mundur tiga langkah, Dharmadipa segera bangun dan melompat kehadapan Liman Wadag yang sedang mengamuk dengan hebat itu, kakinya menendang kepala Liman Wadag dengan jurus "Tendangan Kuda Sembrani", tidak seperti sebelumnya, Liman Wadag terjajar mudur, dia meraung kesakitan karena ternyata Dharmadipa berhasil melukai gajah sakti itu! Semua yang menonton berdecak kagum melihat Dharmadipa menjadi orang yang berhasil melukai hewan sakti itu.

Melihat jurus tendangan Kuda Sembrani yang ia lancarkan dengan tenaga dalam penuhnnya hanya berhasil melukai sedikit kepala gajah itu, Dharmadipa segera mengeluarkan ajian "Liman Sewu"nya, ketika Liman Wadag berlari untuk menyeruduknya, Dharmadipa menangkap kedua cula gajah itu, lalu terjadilah sebuah pemandangan yang tidak dapat dipercaya, Dharmadipa mengangkat gajah itu lalu melemparnya begitu saja bagaikan ia melemparkan sebuah kursi saja!

Liman Wadag jatuh berguling-guling hingga tubuhnya membentur dan merobohkan tembok alun-alun! Hewan itu terluka parah tapi luka itu malah membuatnya semakin buas bukannya melumpuhkannya! Dharmadipa langsung sigap, merapatkan kedua kakinya dan merentangkan kedua tangannya, menarik nafas dalam-dalam, dia mengumpulkan panas dari perutnya, ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanannya, lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi keatas sambil mengepal, tulang-tulangnya berteroktokan berbunyi dan giginya bergemelutuk, tangan kanannya mengeluarkan cahaya merah bagaikan bara api membara, hawa disekitarnya menjadi panas, tanda ia akan segera melepaskan pukulan pamungkasnya yang juga merupakan pukulan pamungkas padepokan ini, yang tak lain adalah pukulan "Sirna Raga"!

Dengan teriakan bagaikan geledeg, Dharmadipa mendorongkan tangan kanannya kedepan, lidah api dahsyat yang diseratai gelombang pusaran angin panas yang dahsyat menderu bagaikan deburan tsunami mengarah ke bagian kepala tepat di antara kedua mata Liman Wadag!

Bllaaarrr!!! Suara ledakan dahsyat menggelegar, seluruh alun-alun Rajamandala seolah bergetar digoyan lindu! Tubuh LIman Wadag mencelat keatas lalu jatuh ke bumi beberapa tombak kebelakang dengan tubuh terbakar api dan kepala hancur remuk! Hewan itu masih berkelojotan beberapa saat hingga akhirnya tidak berkutik lagi, seiring lidah api yang membakar sekujur tubuhnya! Bau daging yang terbakar hingga gosong santar tercium menusuk dan menyesaki alun-alun Rajamandala!