Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 39 - Bisikan Iblis (6)

Chapter 39 - Bisikan Iblis (6)

Di dalam kamar tamu kehormatan, Prabu Karmasura beserta istrinya melihat sesosok mahluk ghaib tinggi besar berwarna hijau, bertaring, bertanduk, berwajah sangat buruk dengan bola mata melotot hampir keluar yang menyala-nyala terbakar api. Mahluk itu tertawa terbahak-bahak menggetarkan seluruh kamar tersebut. Saking takutnya Prabu Karmasura dan istrinya tidak dapat bergerak dari atas tempat tidurnya.

Suara tawa mahluk ghaib itu tiba-tiba berubah menjadi suara tawa mengkikik nenek-nenek. Mahluk hijau itu pun berubah wujud menjadi seorang nenek-nenek tinggi bertubuh bungkuk, berpakaian serba hitam, matanya belo berwarna merah, mulutnya pun merah oleh sirih yang ia kunyah. "Siapa kamu?! Mengapa kau lakukan ini pada kami?!" bentak Prabu Karmasura yang hanya bisa bersuara tanpa bisa menggerakan tubuhnya.

"Aku? Hikhikhik… Aku Nyai Lakbok dari Gunung Patuha, aku memang hanya memperlihatkan diriku pada korbanku yang sudah hendak mampus! Hikhikhik…" tawa si Nenek.

"Apa salah kami padamu?! Kami bahkan tidak pernah mengenalmu!" sergah Prabu karmasura.

"Salahmu adalah merusak kehidupan muridku! Kau membuat muridku menderita!" tegas Nyai Lakbok.

"Benar! Gara-gara kau melamarkan anakmu untukku, hidupku jadi menderita!" ucap Mega Sari yang tiba-tiba muncul di sana.

"Mega Sari?! Apa maksudmu? Bukankah dengan pernikahanmu dengan Mundingsura, Mega Mendung akan semakin kuat dan akan menggantikan posisi Padjadjaran sebagai penguasa tanah Pasundan ini?!" Tanya Prabu Karamsura yang terkejut melihat Mega Sari.

"Dasar tua Bangka bodoh! Bagaimana bisa kau ukur kebahagianku dengan persekutuan antara negera ini?! Semua orang di tanah pasundan ini tahu bahwa anakmu si Mundingsura itu mewarisi sifatmu yang mata keranjang, setiap hari bisanya hanya bersenang-senang dengan merusak kehormatan perempuan! Mana sudi aku menikah dengan anakmu yang bejat itu?! Dan satu lagi, mana mungkin Rama Prabu rela kursi tahtanya diduduki pria seperti anakmu itu?!" semprot Mega Sari.

Kejut Prabu Karmasura dan istrinya bukan seolah-olah mendengar itu "Apa?! Jadi maksudmu perkawinan ini hanya akal-akalan untuk menguasai Pasir Wangi?!"

Mega Sari tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan "Hahaha… Jadi otak tololmu itu baru mengetahuinya? Sudah, waktumu dan istrimu di dunia ini sudah habis! Guruku akan menghabisi nyawa kalian berdua!"

Nyai Lakbok menyeringai, dari kedua tangannya keluarlah dua ular kobra belang hitam-putih jadi-jadian! Kedua ular ghaib itu melesat masuk kedalam mulut Prabu Karmasura dan Dewi Wahyusih! Mereka berdua terbatuk-batuk mengeluarkan darah hingga akhirnya perut mereka meledak setelah kedua ular kobra jadi-jadian itu keluar dari dalam perutnya! Setelah kedua ular itu kembali pada Nyai Lakbok, kedua guru dan murid itu pun lenyap bagaikan asap ditiup angin!

Pagi harinya seluruh istana Mega Mendung gempar dengan meninggalnya Prabu Karmasura dan istrinya Dewi Nawang Kasih, untunglah karena telah banyak dukun yang mengatakan bahwa mereka berdua tewas akibat ilmu teluh yang sangat hebat maka tidak ada sedikitpun kecurigaan kepada pihak keluarga Prabu Kertapati, Jenazah Prabu Karmasura serta istrinya dibawa ke Pasir Wangi untuk kemudian di prabukan di sana sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut.

Sepuluh hari berlalu setelah kematian Prabu Karmasura, Prabu Kertapati meminta Mega Sari agar terus merayu dan membesarkan hati Pangeran Mundingsura agar dapat secepatnya membantu Mega Mendung menyerang Negeri Bojanegara sesuai dengan perjanjian awal persekutuan mereka yang disampaikan berbarengan dengan pinangan Pangeran Mundingsura untuk Mega Sari. Mega Sari pun melaksanakannya dengan baik, ternyata Mega Sari benar-benar seorang permpuan yang selain cerdas juga pandai merayu dan mengambil hati orang, hingga Pangeran Mundingsura pun luluh, masa berkabungnya berakhir dengan cepat, gairah untuk berperang pun tumbuh subur berkat rayuan maut Mega Sari, meskipun tanpa ia sadari, setiap malam ia meniduri seorang dayang istana yang perawakannya mirip Mega Sari, bukan istrinya yang cantik jelita itu, berkat ilmu pembalik mata dari gadis sakti ini.

Persiapan perang pun digelar besar-besaran, hampir seluruh kekuatan pasukan Pasir Wangi yang berjumlah 1500 orang dikerahkan, mereka bergabung dengan kekuatan Mega Mendung dan mesanggrah di Mega Mendung, siap untuk segera berangkat berperang ke Bojanegara!

Pada suatu pagi, Dharmadipa sedang memerika keadaan kuda-kuda di istal keraton yang akan dipakai untuk penyerbuan ke Negeri Bojanegara, pada saat itu datanglah Pangeran Mundingsura bersama Mega Sari melihat-lihat ke istal kuda, mengetahui ada Dharmadipa di sana Mega Sari sengaja berlagak semakin mesra dengan Mundingsura, hingga hati Dharmadipa panasnya bukan main!

"Adi Tumenggung, sedang mengecek keadaan kuda-kuda kita?" Tanya Mundingsura.

"Benar, Raden. Saya tidak ingin ada kuda-kuda yang sakit ketika kita pergi ke Bojanegara." jawab Dharmadipa sambil menahan kecemburuannya.

"Benar kuda-kuda kita harus sehat, tapi terutama para prajurit kita dan kamu Kakang Pangeran, kamu harus pergi dan pulang dalam keadaan sehat dan selamat ya!" ucap Mega Sari dengan manjanya sambil merangkul Mundingsura yang membuat Dharmadipa semakin panas.

"Astaga istriku ini, kamu tidak malu pada Adi Tumenggung? Aku pasti akan pulang dengan selamat, demi kamu istriku!" tanya Mundingsura tapi dengan nada bercanda yang membuat gaya Mega Sari semakin centil.

Saat itu terdengarlah suara didalam kepala Dharmadipa "Kakang janganlah marah kepadaku, tapi marahlah pada pria ini! Pada laki-laki yang telah merebut tempatmu disisiku! Bukankah kau yang seharusnya berada di sampingku dan menjadi Pangeran Mega Mendung? Maka dari itu Kakang lakukanlah rencana kita! Bunuhlah laki-laki durjana yang telah merebut tempatmu disisiku ini Kakang!" bisik suara itu.

Setelah Mega Sari dan Mundingsura pergi, Dharmadipa langsung mengambil kudanya lalu memacunya hingga kedalam hutan diluar Kutaraja Mega Mendung, di sana ia bersilat dan bersilat seorang diri menghamburkan amarahnya yang ia pendam selama sepuluh hari terakhir ini ketika dilihatnya Mega Sari semakin mesra dengan Pangeran Mundingsura, hingga pada puncak kemarahannya ia meneluarkan Pukulan Sirna Raga, satu pohon jati besar berusia puluhan tahun menjadi sasaran kemarahnnya hingga hancur berantakan!

Setelah itu ia pun terbaring dengan tubuh bermandikan peluh, ia menagis sejadi-jadinya bagaikan seorang anak kecil, "Guru… Aku benar-benar sangat menderita! Aku seperti buih yang terombang-ambing dibawa ombak! Aku menyesal tidak mendengar nasihatmu! Sekarang aku sudah terperosok semakin dalam kedalam lubang lumpur nista! Aku tiada sanggup mengangkat tubuhku dari lubang lumpur yang hina ini! Sekarang aku tidak bisa hidup tanpa Mega Sari! Guru mengapa aku selalu menjadi orang yang kalah? Guru huhuhu… Guru… Ayah Ibu… Maafkan aku…"

Hari telah rembang petang ketika Dharmadipa baru mampu mengangkat tubuhnya kembali, ia pun memacu kudanya kembali ke keraton Mega Mendung. Saat ia masuk kedalam kamarnya, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Mega Sari telah berada di sana berbaring diatas tempat tidurnya, wanita ini tersenyum manis menyambut kedatangan Dharmadipa seolah menyambut kedatangan suaminya sendiri. "Kakang baru pulang? Darimana saja?" tanyanya dengan manja.

"Aku baru pulang berlatih untuk persiapan besok Mega Sari!" jawabnya ketus.

"Kenapa engkau begitu ketus padaku kekasihku?" tanya Mega Sari.

"Karena kau tiba-tiba masuk kedalam kamarku! Bagaimana kalau ada yang melihatnya atau ada yang mendengar pembicaraan kita?!" sergah Dharmadipa.

Mega Sari tertawa "Kakang tenang saja, aku sudah memasang tabir di kamar ini, semua yang ada diluar tidak akan bisa melihat kita apalagi mendengar suara kita!"

Dharmadipa memasukan Keris Pusaka Naga Putihnya kedalam peti disebelah tempat tidurnya, ia lalu duduk di tepi tempat tidurnya. "Kamu mau apa kesini Mega Sari?"

Mega Sari beringsut bangun lalu duduk disebelah Dharmadipa. "Aku datang kesini untuk menyemangatimu Kakang!"

Mata Dharmadipa melotot menatap tajam Mega Sari. "Setelah apa yang kau lakukan tadi pagi?! Sengaja mempertontonkan kemesraanmu dengan Mundingsura padaku?!"

Mega Sari tertawa culas mendengranya "Hahahaha… Kakang-Kakang… Benar itu aku lakukan sengaja untuk memanas-manasimu, menyemangatimu agar kau ingat, besok bukan hanya Prabu Bojakerti dari Bojanegara saja yang harus Kakang bunuh tapi juga Mundingsura!"

Mega Sari lalu tersenyum, tangannya mengangkat dagu Dharmadipa "Kakang aku punya satu hadiah untukmu, aku bisa melipat gandakan tenaga dalammu!"

Dharmadipa diam menatap Mega Sari, Mega Sari lalu mengulum jempol tangan kanannya, lalu jempolnya ditempelkan ke tengah-tengah kening Dharmadipa tepat dimana rajah cakra bisma itu berada, Mega Sari lalu berkomat-kamit membaca mantera, sekonyong-konyong Dharmadipa merasakan ada suatu aliran aneh didalam tubuhnya, tenaga dalamnya tiba-tiba terasa meluap-luap! Tubuhnya jadi serasa lebih enteng dan bertenaga!

"Terimakasih Mega Sari, aku dapat merasakan tenaga dalamku meningkat pesat hingga seolah meluap-luap, tubuhku juga jadi terasa ringan dan lebih bertenaga" ucap Dharmadipa, Mega Sari mengangguk sambil tersenyum manis sekali "Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu, Kakang beristirahatlah" ucapnya, Mega Sari lalu mencium kening Dharmadipa yang karuan saja membuat hati pemuda pemberang ini blingsatan! Tubuh Mega Sari lalu lenyap bagaikan angin lalu.

***

Keesokan harinya pada saat mentari baru muncul di ufuk timur, berangkatlah pasukan gabungan Mega Mendung dengan Psirwangi kearah barat menuju ke Negeri Bojanegara di kaki gunung Pangranggo! Begitu besarnya jumlah prajurit gabungan kedua Negara itu, hingga disepanjang jalan yang mereka lalui bagaikan sebuah ular raksasa yang meliuk-liuk melewati lembah-lembah dan perbukitan di sana.

Negeri Bojanegara adalah sebuah negeri kecil di Kaki Gunung Pangranggo, awalnya negeri ini adalah negeri bawahan Padjadjaran, tapi kemudian Padjadjaran mengalami kemunduran setelah Prabu Ragamulya Surya Kencana naik tahta menggangtikan Prabu Suriawisesa. Prabu Bojakerti raja Bojanegara pun memutuskan untuk menerima Islam masuk ke negerinya dan memeluk Islam, ia juga menolak untuk memihak kepada Mega Mendung maupun Banten yang sama-sama mengklaim sebagai Negara kelanjutan Padjadjaran, Prabu Bojakerti memutuskan untuk bersikap tidak memihak sebab ia dan seluruh rakyat Bojanegara tidak suka peperangan, hingga akhirnya kini Prabu Kertapati dari Mega Mendung menyerbunya.

Saat matahari terbenam dan suara adzan berkumandang diseluruh seantero Negeri Bojanegara, seluruh rakyat dan prajurit pun melaksanakan shalat maghrib, hanya beberapa prajurit yang berjaga-jaga disekitar Kutaraja dan Keraton. Saat itulah seluruh kekuatan gabungan Mega Mendung dan Pasirwangi menyerang dari berbagai penjuru di bawah pimpinan Prabu Kertapati dan Pangeran Mundingsura dari empat penjuru mata angin!

Tak ayal lagi, korban-korban langsung berjatuhan, para prajurit Mega Mendung dan Pasirwangi langsung membakar masjid-masjid serta tajug-tajug tempat para prajurit dan rakyat Bojanegara melaksanakan shalat Maghrib! Benteng Kutaraja langsung jebol, pasukan Mega Mendung dan Pasirwangi pun bergerak bagaikan banjir bandang ke keraton Bojanegara.

Dharmadipa yang bertugas mengawal Pangeran Mundingsura pun mengamuk dengan hebatnya, sudah tak terhitung korban yang jatuh ditangannya, hingga unit pasukan yang dipimpin Mundingsura dan Dharmadipa menjadi unit pasukan yang pertama menjebol masuk ke keraton Bojanegara! Perang tanding antara Prabu Bojakerti dengan Pangeran Mundingsura pun terjadilah, sementara Dharmadipa menghadapi keroyokan beberapa senopati perang Bojanegara.

Dharmadipa berhasil membunuh semua pengeroyoknya, sementara Pangeran Mundingsura kewalahan dan terdesak menghadapi si jago tua Prabu Bojakerti, Dharmadipa segera menghunus Keris Pusaka Naga Putihnya, dia lalu melompat memapasi gerakan Prabu Bojakerti.

Prabu Bojakerti terkejut melihat Keris pusaka yang dipegang Dharmadipa. "Keris Pusaka Naga Putih!" desisnya, ia lalu menerjang Dharmadipa dengan segenap tenaganya, Dharmadipa pun menembakan pukulan Sirna Raga dari tangan kirinya! Blarrr! Tubuh Prabu Bojakerti mental beberapa tombak kebelakang, tubuhnya hangus, dadanya ambrol, tapi jago tua ini masih bertahan hidup, Dharmadipa segera menerjang dan menusukan Keris Pusakanya tepat ke jantung Prabu Bojakerti! Prabu Bojakerti pun tewas seketika setelah memberikan perlawanan hebat untuk mempertahankan negerinya.

Melihat Prabu Bojakerti sudah tewas, Pangeran Mundingsura berlari menghampiri Dharmadipa sambil menarik nafas lega, "Syukurlah, akhirnya kita bisa menewaskan Prabu Bojakerti, terimakasih Adi Tumenggung, aku berhutang nyawa padamu, aku berjanji kalau aku sudah menjadi prabu nanti, kau akan kuangkat menjadi mahapatih Mega Mendung!"

Dharmadipa menyeringai sambil tersenyum aneh mendengarnya, dia lalu berucap, "Kalau Raden berhutang nyawa padaku sekarang juga akan kuambil hutang itu!"

"Apa maksudmu, Adi Tumenggung?" tanya Mundingsura keheranan.

Dengan gerakan secepat kilat yang tak nampak oleh mata saking cepatnya, Keris Pusaka Naga Putih Dharmadipa membeset atau menggorok leher Pangeran Mundingsura! Pangeran Mundingsura pun tak mampu berbiacara akibat tenggorokannya putus, ia hanya bisa sekarat kelojotan dengan suara mengorok mirip ayam yang disembelih!

Dharmadipa pun segera berlagak seolah panik mendapati kondisi Pangeran Mundingsura, ia pun memanggil para prajurit, tapi terlambat, racun jahat yang sangat berbisa dari Keris Pusaka Naga Putih telah sampai ke jantung Mundingsura, berakhirlah hidup Pangeran dari Pasirwangi ini!

Setelah peperangan berakhir, demi melanjutkan kelangsungan Negara Pasirwangi, Prabu Kertapati pun memberikan maklumat kepada Mega Sari selaku pewaris tahta Pasirwangi yang sah untuk menggabungkan negeri Pasirwangi ke bawah naungan Mega Mendung. Mega Mendung pun berhasil mencaplok Pasirwangi tanpa pertumpahan darah sekaligus menundukan Bojanegara dengan mudah, ini semua berkat ide dari Mega Sari. Dharmadipa pun melamar Mega Sari secara resmi, akhirnya ia dapat menikahi Mega Sari, perempuan yang membuatnya tergila-gila selama ini, akhirnya pernikahan mereka pun dilangsungkan 120 hari setelah hari kematian Pangeran Mundingsura.