Kyai Supit hanya tersenyum simpul penuh makna "Karena nama ini akan menuntunmu pada suatu kenyataan tentang asal-usulmu… Kau tentu sangat penasaran dengan asal-usulmu bukan?"
"Benarkah itu guru?" tanya Jaka yang terkejut.
"Insyaallah benar, kau akan temukan jalannya sendiri nanti menuju kenyataan tersebut, namun saat itu kau harus benar-benar siap…," jawab Kyai Supit.
Kyai Supit lalu mencabut satu cincin batu dari jari manisnya "Jaka untuk menambah bekalmu bawalah cincin pusaka ini, namanya Cincin Kalimasada, Insyallah cincin ini dapat menambah kekuatanmu, ia dapat mengusir ilmu kebal maupun ilmu hitam lainnya dari musuh-musuhmu yang menyulitkanmu dan membantumu saat keadaanmu kepepet atau sangat terdesak, juga membantumu dalam menghadapi musuh-musuh dari alam lain. Akan tetapi pahamilah bahwa segala sesuatunya tetap atas dasar kehendak Gusti Allah, cincin ini hanya alat bantu, dirimu hanya lantaran!"
Jaka pun menerima cincin batu biru yang menyemburkan cahaya berwarna biru terang menggidikkan tersebut kemudian memasangnya di jari manis. Setelah itu, mereka pun shalat subuh bersama untuk yang terakhir kalinya, setelah selesai Jaka langsung pamit untuk turun dari Gunung Tangkuban Perahu menuju ke Rajamandala.
***
Siang itu hujan turun dengan deras sekali mengguyur desa Cibodas yang terdapat di Kaki Gunung Tangkuban Perahu, para penduduk memilih untuk tidak meninggalkan rumah mereka masing-masing, atau kedai-kedai menjadi pilihan yang pas bagi penduduk yang terlanjur meninggalkan rumah.
Seorang pria paruh baya berpakaian ala negeri Tiongkok nampak berlari-lari menuju ke suatu kedai dengan dipayungi daun pisang yang lebar, mata pria paruh baya ini sipit, kulitnya kuning langsat nampak lebih putih dari penduduk pribumi, rambutnya yang telah memutih bercampur yang masih hitam sehingga nampak berwarna kelabu panjang dikucir dikepang kebelakang, kumisnya tipis bagaikan kumis ikan lele. Dengan terengah-engah ia masuk ke kedai itu lalu duduk di pojok kedai itu.
Seorang gadis muda anak pemilik kedai menghampiri dan bertanya ia hendak memesan apa. "Owe minta singkong lewus, pisang bakal, dan kopi hitam siesie." jawab si Ncek dengan cadel sambil cengengesan.
Baru saja si Ncek itu menutup mulutnya, empat orang pria berpakaian hitam-hitam berambut jabrik dengan brewok acak-acakan masuk ke kedai itu, anehnya wajah mereka berempat seolah sama seperti empat saudara kembar, hanya perwakan mereka saja yang berbeda.
"Hei tua Bangka! Lekas bawakan empat guci tuak terbaik kemari!" perintah salah satu pria brewok itu yang badannya paling tinggi tapi bertubuh kurus dengan kasarnya pada si pemilik kedai, si orang tua pemilik kedai itu segera menghampiri mereka dengan ketakutan. "Apes benar hari ini dapat tamu macam mereka!" keluhnya dalam hati.
"Maaf tuan, bersabarlah sebentar. Silakan duduk dulu," ucapnya.
"Semprul! Perut kami tidak bisa menunggu tau?! Sediakan juga nasi dan ayam bakar serta semua makanan yang paling istimewa disini cepat!" perintah si tinggi kurus itu.
Keadaan kedai yang tadinya ramai dan hangat itu kini menjadi sepi, semua pengunjung di sana nampak ketakutan melihat keempat orang tak dikenal bertampang bengis itu, semuanya mejadi diam, kecuali si Ncek cadel yang nampak cuek menikmati makanannya di meja pojok.
Si tinggi krempeng itu melirik pada seorang berpakaian layaknya Pak Haji yang sedang duduk bersama istrinya yang masih muda, pria ini mnyengir lalu menghampiri Pak Haji dan istrinya yang masih muda itu, "Aduh bohaynya" goda si krempeng sambil mencolak-colek pipi istrinya Pak Haji.
Si Pak Haji berwajah kearab-araban yang sudah berusia lanjut itu tidak berani melakukan apa-apa, "Eh Pak Haji beruntung bener ente punya bini montok kaya gini! Ini bini yang keberape Pak?" Tanya sisi brewok ini sambil tertawa terbahak-bahak.
Karuan saja si brewok ini langsung nyosor hendak mencium bibir istrinya si Pak Haji, si Pak Haji segera mendorong tubuh si brewok yang krempeng itu "Kurang ajar bener dah! Lu mau ngelawan Pak Haji?!" bentak si krempeng.
Saat itu seorang brewok berperawakan sedang yang nampaknya pemimpin mereka membuka suaranya sambil merokok daun kawung "Hentikan Opang! Jangan bikin masalah, kite masih punye urusan lain!" perintahnya dengan logat Sunda Kelapa yang kental.
Nampaknya perintah pemimpinnya ini sangat berpengaruh bagi si Opang, dia pun melepaskan istri Pak Haji, "Jangan ada yang berani keluar meninggalkan kedai ini atau nyawa kalian melayang!" perintah si brewok yang paling gendut pada seluruh tamu di kedai tersebut.
Sementara itu dari sebelah utara desa Cibodas, nampak seorang pemuda berpakaian serba biru tua yang basah kuyub berjalan memasuki desa Cibodas, Daun Pisang lebar yang ia pakai tak mampu memayungi dirinya dari hujan yang sangat lebat itu hingga ia basah kuyub. "Sebaiknya aku cari kedai untuk berteduh dan mengisi perut." ucap pemuda itu pada dirinya sendiri.
Didalam kedai, si pemimpin keempat brewok itu membuka mulutnya lagi pada si Bapak pemilik Kedai "Bapak, tolong cepatlah sediakan makanannya kami sudah lapar!"
Si Pak Kedai menjawab dengan ketakutan "Sebentar lagi Den, maklum sedang hujan begini, memasak ayam bakar perlu waktu, maafkan…"
Si Krempeng bernama Opang yang cepat naik darah itu langsung mencengkran kerah baju si Bapak Kedai "Hey lo budeg ya?! Cepat siapkan makanan kami!" bentaknya.
Saat itu putri si pemilik kedai segera melerai mereka, "Tuan maafkanlah kami, lepaskan ayah saya, sebentar lagi makanan tuan-tuan akan segera siap!"
Si Opang menoleh pada putri pemilik kedai, matanya langsung melotot melihat kemolekan gadis ini "Weiyyy cantik juga gadis-gadis kampung ini! Ayo daripada lu masak, lu seneng-seneng aja sini sama kite-kite!"
mendapati gelagat yang tidak baik itu, si Bapak Kedai segera memohon-mohon pada Opang "Tuan tolonglah, putri saya masih kecil, masih bau kencur, tolong lepaskan dia!" Si Opang melepaskan gadis itu, tapi dia langsung menempeleng si Bapak Kedai hingga ia jatuh tersungkur dan mulutnya robek berdarah!
Karuan saja semua yang ada di kedai itu menjadi panik, kecuali si Ncek yang masih santai menikmati hidangannya. Seseorang mencoba kabur dari kedai dengan caa melompat dari jendela, tapi tiba-tiba… Clebbb! Tiga buah paku hitam menancap di tiang ia pegang untuk melarikan diri "Paku-paku berikutnya akan menembus kedua biji mata kalian yang mencoba kabur dari tempat ini!" ucap si Brewok yang berbadan paling pendek.
Si Brewok pemimpin mereka berdiri dari kursinya, lalu melangkah ke tengah-tengah kedai "Kalian semua dengarlah, kami si empat Setan Hitam dari Muara Angke kemari hendak mencari seseorang yang bernama Gundala! Kami dengar dari desa sebelah kalau dia tinggal di desa Cibodas ini, kalian semua pasti mengenalnya sebab dia adalah seorang saudagar ternama di Mega Mendung ini!"
Semua orang yang ada di sana terdiam mendengar pertanyaan tersebut, si Bapak Kedai yang sudah lanjut usianya menjadi merasa ketempuhan sebab kedai ini adalah miliknya, maka mau tak mau ia menjawab dengan ketakutan, "Maafkan kami Den, Saya dan putri saya belum pernah mendengar nama Gundala itu, daek kabentar gelap sumpahna mah Den!", keempat brewok itu terdiam dengan menatap tajam pada semua yang ada di kedai ini.
Si Opang lalu melirik pada si Pak Haji. "Pak Haji, lu tidak mungkin akan berbohong bukan?! Lu pasti kenal Gundala?! Ayo jangan bohong biar kaga masuk nerake!"
Si Pak Haji malah balik menatap tajam Opang "Sadarlah sebelum masuk neraka jahanam!" ancamnya.
Tetapi si Opang malah tertawa terbahak-bahak "Masuk Neraka Jahanam?! Ahahaha… Justru kamilah para malaikat el maut yang hendak membawa kalian semua ke neraka jahanam kalau tidak ada yang mengatakan dimana Gundala berada!" Begitu mulut pria brewokan tertutup, tangannya langsung menjambak rambut istri si Pak Haji, dengan beringasnya ia henda menjilat pipi wanita itu!
Si Ncek Tua itu mendengus kesal, sedari tadi ia tidak suka dengan kehadiran keempat begundal yang menamakan diri mereka si Empat Setan Hitam dari Muara Angke itu, kini ia tidak bisa menahan amarahnya lagi ketika Si Opang hendak merusak kehormatan istrinya Pak Haji yang masih belia itu. Ia pun membuka mulut, "Saudala-saudala empat setan dali mauala angke, Gundala manakah yang kalian maksudkan? Sewab Wanyak yang belnama Gundala di Negeli Ini!".
Keempat orang brewok langsung melirik pada si Ncek, "Orangnya berperwakan sedang, mungkin sekarang sudah beruban dan gendut sebab dia sudah kaya raya!" jawab si pemimpin brewok itu.
Si Ncek Tua itu tertawa mendengar penjelasan dari pemimpin para bewok itu. "Hahaha… Maaf tuan-tuan, cili-cili yang tuan sewutkan itu sangat umum, sangat wanyak olang sewerti itu wukan?"
Keempat brewok itu mendelik matanya, "Heh Babah tua! Yang jelas dia tinggal di desa ini! Ayo cepat tunjukan dimana tempatnya!"
Si Ncek berdiri dari duduknya dia tertawa-tawa pada empat begundal ini. "Hahaha… Tuan-tuan ini wemang lucu! Kalau sudah tahu Gundala yang tuan cali itu ada di desa ini mengapa tidak mencali sendili?"
Si Opang yang berangasan ini tidak dapat lagi menahan amarahnya, tinjunya melayang ke arah si Ncek "Bangsat tengik!" teriaknya.
Si Ncek melayangkan tubuhnya menhindari pukulan itu, gerakannya sangat ringan seperti kapas, meja yang tadi ditempati si Ncek hancur berantakan terkena pukulan si Opang!
"Tuan-tuan! Sewaiknya Tuan-tuan pelgi dali sini! Dan mencali Gundala sendili tanpa membuat kekacauan disini!" tegas si Ncek.
Si Opang marah bukan main, dia segera menghunus goloknya lalu menerjang si Ncek, Si Ncek menghindar sekaligus mengirimkan satu tendangan ke tengkuk Opang dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata sehingga pria tinggi kurus ini tersungkur!
Si Ncek segera memasang kuda-kuda membuka jurusnya yang nampak aneh bagi keempat Setan Hitam dari Muara Angke tersebut. Gerakannya sangat ringan, nampak pelan tapi sangat cepat dan bertenaga! "Haiya! Owe Holiang tidak takut dengan geltak sambal begundal wacem kalian!"
Ketiga kawan si Opang segera menghunus goloknya masing-masing, mereka berbarengan menyerang Si Ncek Holiang, kembali Holiang meladeni mereka dengan gerakan-gerakan aneh.
Dalam beberapa jurus Holiang mampu membuat ketiga pengeroyoknya terdesak, Opang pun segera turun tangan membantu ketiga kawannya, tapi ini tak banyak berpengaruh, beberapa kali tendangan dan pukulan Holiang yang nampak ringan serta pelan, namun sangat cepat bertenaga itu mampir di tubuh mereka!
Keempat orang itupun melompat mundur, mereka mengeluarkan senjata andalan mereka berupa paku-paku hitam beracun, belasan paku-paku hitam itu berdesing mengincar tubuh Holiang, Holiang dengan gerakan anehnya mampu menghidari semua paku-paku itu, tapi celakanya salah satu pakunya malah mengenai Pak Haji yang menonton di sana!
"Pak Haji!" seru Holiang melihat Pak Haji tersungkur ketika dua buah paku hitam menancap di perutnya, mengamuklah Holiang si pria tua dari Tiongkok itu "Dasal Manusia-manusia Bejat! Kalian Pikil wisa mengambil nyawa olang seenaknya?!" bentaknya sambil mengirimkan satu tendangan dahsyat yang berasarang telak di dada si brewok yang gendut hingga tubuh bundar itu mencelat keluar dari kedai! Ia langsung muntah darah dibuatnya.
"Hentikan!" bentak si pemimpin keempat brewok itu sambil menodongkan goloknya ke leher istri Pak Haji. "Aku Kudapawana pemimpin Empat Setan dari Muara Angke tidak akan bermain-main lagi! Akan kubunuh perempuan ini kalau kau berani bergerak!" ancamnya.
Holiang mendengus kesal mendapati tindakan pengecut dari Kudapawana itu "Lepaskan pelempuan itu! Lu olang hanya belulusan dengan owe!" bentaknya.
Tiba-tiba telinga si Ncek Tua ini mendengar suara berdesing dari arah belakangnya, ternyata empat paku hitam melesat kearahnya, ia segera melompat berjumpalitan keatas, tapi satu paku tak bisa ia hindari hingga menancap di bahunya! Ternyata si brewok gemuk yang tadi terlempar keluar kedai yang membokong Holiang "Hahaha… Perkenalkan aku si Gandil, paku itu beracun, sebentar lagi kau akan modar!"