Chereads / Wasiat Iblis / Chapter 46 - Tabib Dari Tionggoan (5)

Chapter 46 - Tabib Dari Tionggoan (5)

Juragan Karta pun mempersilahkan kedua tamunya masuk kedalam rumahnya dan segera menjamunya, "Euis sediakan makanan, kita akan menjamu kedua tamu istimewa yang sudah mengusir gerombolang pengemis dari Bukit Tunggul itu, Eneng ini Kungkung Holiang datang!" Jaya dan Holiang pun dijamu bak tamu kehormatan dari istana, segala makanan yang berlebih terhidang diatas meja, Jaya yang di kedai tadi gagal untuk mengisi perutnya pun menerima suguhan makanan itu dengan sungkan.

"Sudah lama sekali kau tidak kemari Holiang, oya aku belum kau kenalkan dengan kawan seperjalananmu ini, aku baru tahu namanya saja sobat, Jaya Laksana, betul?" Tanya Karta setelah selesai makan.

"Benal, ia yang membantuku membekuk si Empat Setan Hitam dari Muala Angke di Desa Cibodas, dia juga yang mengusil gelombolan pengemis tidak tahu budi itu! Ilmu Silatnya hebat sekali!" jawab Holiang.

"Ah Ncek terlalu melebih-lebihkan saya Juragan…" sela Jaya yang merasa tidak enak terlalu dipuji oleh Holiang.

"Hahaha… Tuan Pendekar tidak usah terlalu merendah, baik Empat Setan Hitam dari Muara Angke serta gerombolan Pengemis Dari Bukit Tunggul sama-sama memiliki ilmu silat yang tak bisa dipandang remeh, terutama pemimpin gerombolan pengemis itu si Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul, ilmunya sangat tinggi! Para jawara saya tidak ada yang sanggup menandinginya" ucap Juragan Karta.

"Jadi julagan tahu kalau dia itu pelempuan?" Tanya Holiang.

"Iya aku tahu meskipun ia menyamarkan suaranya dengan tenaga dalamnya tapi aku dapat mengetahui kalau dia itu seorang perempuan, selain itu menurut kawan lamaku, dulu sempat tersiar kabar santer bahwa si Dewa Pengemis dari Bukit Tunggul telah menerima seorang murid perempuan, mungkin si Dewi inilah yang sekarang menjadi pemimpin para gerombolan pengemis itu." jawab Karta.

"Juragan, kalau saya boleh tahu, sebenarnya apakah yang terjadi antara Juragan dengan Empat Setan Hitam Dari Muara Angke lalu antara Juragan dengan Gerombolan Pengemis dari Bukit Tunggul itu?" Tanya Jaya.

Juragan Karta menghela nafasnya, "Ah iya, mungkin memang sudah saatnya aku menceritakan masa laluku serta asal muasal semua hartaku ini…", Jaya dan Holiang sama-sama terdiam menunggu cerita Sang Juragan. "Kudapawana, Gandil, Opang, dan Oding… Mereka akhirnya datang juga…"

Mata Juragan Karta menerawang peristiwa sepuluh tahun yang lalu. "Sepuluh tahun yang lalu, saat aku masih bernama Gundala, aku bersama mereka berempat adalah kawanan Rampok yang malang melintang di Pelabuh Sunda Kelapa, kami berlima adalah perampok yang handal dengan julukan Lima Setan Hitam Dari Muara Angke…

Suatu ketika Gusti Allah memberikan aku suatu pelajaran yang sangat berharga, ketika nasib naas akhirnya menghampiri kami ketika kami merampok upeti bulu bekti dari para Mantri Pamajegan Padjadjaran yang sedang mengambil pajak dari para pedagang di Sunda Kelapa, kami tidak sanggup menandingi kesaktian para Mantri Pamajegan tersebut, kami kalah kemudian terus melarikan diri ke arah selatan ke arah Negeri Mega Mendung yang saat itu sedang berseteru hebat dengan Padjadjaran, tapi apesnya keempat kawanku tertangkap di perbatasan oleh prajurit Padjadjaran, hanya aku sendiri yang berhasil lolos sepeti harta yang berisi intan permata.

Aku terus berlari hingga akhirnya sampai ke Mega Mendung, namun rupanya Gusti Allah mempunyai satu rencana untukku di negeri ini, Gusti Allah membuka mata hatiku, aku mendapatkan hidayah di negeri asing ini! Tadinya aku hendak menggunakan harta hasil jarahanku itu untuk berfoya-foya dan plesiran seumur hidupku, tapi ketika melihat penderitaan rakyat Mega Mendung akibat pemerintahan Prabu Kertapati yang bertangan besi, yang mencekik rakyatnya dengan pajak yang terlampau tinggi, aku berubah pikiran…

Aku pun membuka lembar hidup baru dengan mengganti namaku menjadi Karta, Aku memutuskan untuk menggunakan harta hasil jarahanku sebagai modal membuka usaha, Akupun sangat bersyukur ketika Allah mempertemukanku dengan Euis, seorang gadis yatim piatu yang orang tuanya dibunuh oleh prajurit Mega Mendung akibat tidak mampu membayar pajak, ia mengajarkanku arti cinta yang sejati hingga akhirnya aku jatuh hati dan menikahinya, dengan setia ia mendampingiku memulai usaha dari nol hingga akhirnya aku sukses dan dikaruniai seorang putri. Alhamdulillah, usahaku semakin maju, dan aku bisa membantu meringankan beban rakyat walaupun sedikit, setidaknya aku dapat membantu rakyat di desa Cibodas dan sekitarnya agar mereka tidak kelaparan dan belakangan aku dapat membantu memastikan kesehatan mereka berkat Ncek Holiang…".

"Ah Julagan telalu melewih-lewihkan, Owe tidak wisa apa-apa tanpa Thian" sahut Holiang.

"Lalu bagaimana dengan gerombolan pengemis Dari Bukit Tunggul itu Juragan? Bukankah mereka juga korban dari pemerintahan Prabu Kertapati yang kejam itu?" Tanya Jaya lagi.

"Ya anda betul tuan pendekar, mereka memang korban dari pemerintahan yang lalim, tapi cara mereka meminta sedeqah sungguh tidak masuk akal! Pada awalnya aku bersedia untuk memberikan mereka sedeqah, tapi mereka malah menuntut seluruh hartaku untuk diberikan kepada mereka!" jelas Juragan Karta.

Juragan Karta lalu menghela nafas berat. "Sebenarnya aku bersedia dan sangat ikhlas untuk memberikan semua hartaku pada mereka, hitung-hitung untuk mencuci dosaku karena hidupku yang kelam di masa lalu sebagai perampok dan harta yang aku gunakan sebagai modal awal usahaku adalah harta haram…

Tapi kemudian aku berpikir keras, sungguh tidak bermanfaat dan berfaedah kalau aku memberikan seluruh hartaku pada mereka, kemungkinan besar mereka hanya akan menggunakan hartaku hanya untuk kepentingan mereka saja, sedangkan kalau aku tetap menjadi seorang pengusaha seperti ini, aku bisa membantu warga-warga desa yang membutuhkan, maka kuputuskan untuk menolaknya! Tapi mereka tidak mau mengerti dan malah mengganggu usahaku dan keluagaku hampir setiap hari! Menurut pengakuan mereka, mereka hendak menggunakan hartaku sebagai modal untuk melakukan pemberontakan terhadap Prabu Kertapati, tentu saja aku menolaknya mentah-mentah!"

Holiang manggut-manggut setuju, "Hmm… Lagi-lagi manusia yang dibutakan oleh dendam semata!" gumamnya.

Jaya hanya terdiam, dia teringat pada Kakak Seperguruannya Dharmadipa yang mata hatinya seolah selalu dibutakan oleh dendam kesumat yang amat sulit dipadamkan, sebab telah mengakar jauh kedasar lubuk hatinya yang terdalam, sehingga Dharmadipa sering melakukan perbuaan-perbuatan yang tidak baik dan mempunyai sifat yang angin-anginan, selalu dilanda keraguan disepanjang jalan hidupnya hingga mudah terpengaruh oleh emosi sesaat.

Keadaan menjadi hening sesaat sampai Euis, istri Sang Juragan menyuguhkan tiga gelas bajigur untuk mereka, mereka pun lalu meminum bajigur untuk menghangatkan mereka dari dinginnya udara malam di desa Cibodas ini. "Oya kalau boleh saya tahu, darimanakah asal Tuan Pendekar? apakah yang membawa Tuan Pendekar menjejakan kaki di Desa Cibodas ini?" Tanya Juragan Karta.

Karena Juragan Karta sudah jujur menceritakan semua masa lalu dan masalahnya maka Jaya pun tak sungkan menjawab sejujurnya "Saya dari Gunung Tangkuban Perahu, kebetulan lewat Desa ini saat hendak ke Rajamandala Kutaraja Mega Mendung."

Juragan Karta mengelus-elus kumisnya "Gunung Tangkuban Perahu? Hmm… Menurut sohibul hikayat di puncak gunung itu hidup seorang pertapa tua aneh yang sangat sakti bernama Kyai Supit Pramana, dan di lereng gunungnya ada sumber air panas yang indah yang merupakan asal-muasal legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi… Tetapi tidak ada yang berani lewat ke lembah Gunung itu, menurut cerita 20 tahun yang lalu terjadi perang besar di lembah gunung itu antara Prajurit Mega Mendung melawan prajurit Padjadjaran, konon semua prajurit dari kedua belah pihak mati semua kecuali Prabu Kertapati yang memimpin langsung prajurit Mega Mendung, sampai saat ini lembah tersebut sangat angker hingga tidak ada orang yang berani lewat kesana, orang-orang disekitar Gunung Tangkuban Perahu menyebut lembah itu dengan sebutan Lembah Akhirat saking angkernya tempat itu!" ujar Juragan Karta.

Saat itu Holiang melihat Eneng si gadis cilik putri Juragan Karta mengintip mereka dari celah-celah pintu, Juragan Karta pun menyadari kehadiran anaknya ini hingga ia membuka suara, "Eneng, jangan suka mengintip dan menguping pembicaraan orang tua!"

Si Eneng pun masuk ke ruangan itu dan menghampiri ayahnya. "Maaf Bah, Eneng hanya mau memanggil abah untuk tidur, soalnya ENeng sudah ngantuk."

Mendengar itu Holiang mengeluarkan sebuah boneka rajut dari dalam buntelannya "Hahaha Eneng maafkan Kungkung yang mengajak Abahmu mengoblol sampai lalut malam begini, ini sebagai gantinya Kungkung kasih hadiah buat Eneng."

Eneng pun menerima boneka rajut itu sambil tersenyum senang, "Terimakasih Kungkung, mainan yang dulu Kungkung berikan pun masih Eneng simpan"

Holiang tertawa sambil menepuk-nepuk pundak si Eneng "Hahaha Kamu sudah makin besal dan cantik, lain kali Kungkung bawakan alat tulis dan buku dali Tiongkok supaya Eneng tambah pintal!"

Juragan Karta pun tersenyum melihatnya "Eneng duluan saja ya, Abah sebentar lagi menyusul" Eneng pun mengangguk dan keluar dari ruangan itu, tapi beberapa saat kemudian terdengarlah jeritan Eneng, mereka bertiga pun kaget dan langsung berlari ke kamar Juragan Karta.

Ternyata didalam kamar tersebut telah ada empat orang berpakaian serba hitam, berambut gondrong dengan brewok acak-acakan dan seorang pria paruh baya yang berpenampilan seperti Holiang. "Gundala kami sahabat lamamu datang menjenguk! Kemarilah Gundala, anak dan istrimu menunggumu bersama kami didalam hahaha!" tantang Kudapawana.

Holiang yang melihat orang yang sedang bersama si empat brewok itu terkejut bukan main "Tenglan? Jadi kaupun kemali?" tanyanya yang tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.

"Hahaha… Apa kabar Holiang, owe datang kemari untuk mengambil kitab 1001 pengobatan dari Wudang yang kau curi itu!" sahut Tenglan yang mengutarakan maksudnya.

Juragan Karta yang melihat anak serta istrinya ditodong oleh golok pun melangkah maju masuk kedalam kamarnya dengan tenang namun waspada, "Selamat datang kawan-kawan lamaku, mari kita bicarakan semuanya secara baik-baik, tolong lepaskan anak istriku!"

Kudapawana menyeringai buruk mendapati sapaan dari Juragan Karta tersebut, "Tentu saja sobat! Kau tentu sudah tahu maksud kedatangan kami kemari, kami hanya mau mengambil jatah kami, setelah itu kami akan pergi!"

Juragan Karta mendesah nafas berat "Baiklah, silakan ambil apa saja yang kalian mau sebanyak yang kalian mau, setelah itu tolong tinggalkan kami dengan damai!"