Sang surya sudah lama mulai bergeser ke ufuk barat, hingga kini berada di tengah-tengah tepat diatas ubun-ubun kepala manusia. Warnanya yang tadi berwarna pagi berwarna perak kini demikian terik menyilaukan berwarna kuning keemasan. Jalan yang ditempuh pemuda berpakaian serba biru dengan kemeja lengan panjang tak berkancing itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri-kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya, aroma belerang yang pekat dari puncak Gunung Bukit Tunggul kian santar tercium, semakin pemuda ini melangkah ke puncak, aroma belerang itu semakin tajam tercium, angin pun semakin bertiup kencang mengibar-ngibarkan rambutnya yang gondrong.
Mendadak dari puncak batu karang di sebelah barat melengking suara suitan-suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda ini berbunyi berulang-ulang seperti sebuah kode rahasia. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas. Puncak karang itu tingginya sekira tiga puluh tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing!
Suara suitan-suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia melihat beberapa sosok tubuh berkelabatan kesana kemari dengan kecepatan tinggi! Pemuda itu tak lain adalah Jaya Laksana yang sengaja datang ke puncak Bukit Tunggul ini untuk memenuhi tantangan si Dewi Pengemis Bukit Tunggul, dia menerima tantangan itu agar Si Dewi Pengemis beserta gerombolan pengemis lainnya tidak lagi berbuat onar pada keluarga Juragan Karta maupun orang-orang berada lainnya dengan tujuan yang menurut Jaya adalah tindakan yang sangat bodoh!
Jaya memusatkan fikirannya, segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya tiga puluhan tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir! Jaya memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan Si Dewi Pengemis dan beberapa saudara pengemisnya di balik karang sebelah utara.
Tanpa buang waktu Jaya Laksana segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu telah tegak berdiri dihadapannya, dia juga menyadari bahwa sekarang dirinya sedang dikepung oleh puluhan pengemis yang rata-rata berilmu tinggi! Kini selain aroma belerang yang Jaya cium, aroma asam dan apek pun memenuhi tempat itu.
Gadis berambut panjang berkulit hitam manis itu bersidekap sambil menyeringai dan menatap tajam pada Jaya, gadis itu tak lain adalah yang menamakan dirinya Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul yang kini tidak menutupi wajahnya dengan cadar lagi setelah dua malam yang lalu cadarnya dirobek Jaya dalam pertarungan mereka di rumah Juragan Karta.
Jaya cukup terpana dengan paras gadis tersebut, meskipun kulitnya lebih gelap daripada gadis-gadis di Pasundan kebanyakan, namun itu tidak menutupi kecantikan gadis ini, tahi lalat di bawah mata sebelah kanannya menambah kecantikan gadis ini, tapi sayang menurut Jaya gadis ini sedang tersesat, tenggelam dalam lautan dendam tak bertepi. Selain itu tubuh gadis ini juga menghembuskan bau tak sedap, antara bau asam dari tubuhnya, bau apek dari pakaiannya, dan entah darimana bau belerang keluar dari tubuhnya.
"Selamat datang di Gunung Bukit Tunggul Jaya Laksana! Disinilah kita akan menyelesaikan urusan utang-piutang kita!" buka suara si Dewi Pengemis.
Jaya tidak langsung menjawab, dia malah sengaja menatap si Dewi Pengemis dari atas kebawah lalu keatas lagi, pemuda ini menatap wajah si dewi pengemis dengan jantung berdebar, apalagi ketika ia menatap tahi lalat di bawah mata gadis hitam manis ini. Si Dewi Pengemis jadi tersinggung ketika dilihatnya pemuda dihadapannya itu tidak menjawabnya ,malah melongo menatapnya. "Hei apa yang kau lihat?!" bentaknya.
"Nona Dewi Pengemis kau cantik sekali! Kenapa selama ini kau menutup wajahmu dengan cadar?" jawab Jaya jujur.
Karuan saja wajah si Dewi Pengemis memerah, wajahnya terasa panas, ada perasaan aneh ketika ia mendengar pujian dari pemuda dihadapannya, tapi berbarengan itu amarahnya meledak juga! "Kurang Ajar! Dasar laki-laki hidung belang!" maki Si Dewi Pengemis.
"Laki-laki hidung belang? Aku jujur mengatakan apa yang ada di benakku Nona!" jawab Jaya.
"Persetan! Dasar Gombal! Saudara-saudaraku, mari kita buat dia mempertanggung jawabkan perbuatannya pada saudara-suadara kita!" perintah Dewi Pengemis kepada saudara-saudaranya dengan marah sekali,
"Tunggu! Sudah kukatakan berulang kali bahwa kita tidak memiliki utang-piutang Nona Dewi Pengemis! Aku memang datang atas undanganmu tapi bukan untuk menerima tantanganmu!" seru Jaya.
"Tahan!" perintah Dewi Pengemis, para pengemis itu pun menahan serangan mereka. "Lalu apa tujuanmu datang kemari kalau bukan untuk menerima tantanganku?" Tanya Dewi Pengemis sambil mendelikan matanya.
"Aku hanya ingin bicara pada kalian agar kalian semua insyaf dan berhenti melakukan perbuatan-perbuatan semau sendiri kalian yang picik dengan damai!" jelas Jaya.
"Keparat! Kau menghina kami! Saudara-saudaraku mari kita cincang dia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya pada saudara-saudara kita!" sergah Dewi Pengemis dengan marah sekali!
Seketika itu juga puluhan pengemis yang tadi mengepung Jaya langsung menyerbu mengeroyok Jaya dengan tongkat-tongkat kayu mereka yang terbuat dari dahan-dahan pohon! Tongkat-tongkat itu memang hanya tongkat kayu biasa, tapi karena diisi oleh tenaga dalam dari para pengemis ini yang rata-rata memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi serta kemampuan silat yang hebat maka terdesak hebatlah Jaya! Tadinya Jaya tidak ingin menurunkan tangan jahat pada para pengemis ini sebab ia kasihan pada hidup mereka yang pahit, tapi karena ia didesak hebat maka terpaksalah ia melawan mereka.
Jaya tak sungkan-sungkan lagi melawan para pengemis ini dengan jurus-jurus andalannya, suara gedebag-gedebug pun terdengar di puncak Gunung Bukit Tunggul dengan cukup meriah, tubuh-tubuh para pengemis itu yang terkena sepakan tangan maupun kaki Jaya berterbangan mencelat kesana-kemari, rata-rata mereka pun langsung muntah darah, terluka dalam yang cukup hebat akibat pukulan maupun tendangan Jaya yang mengadung tenaga dalam yang hebat ini!
Melihat dalam waktu singkat Jaya berhasil merubuhkan belasan tubuh saudara-saudaranya, Dewi Pengemis menjadi khawatir juga pada nasib saudara-saudaranya, ia pun memutuskan untuk duel melawan Jaya seorang diri, satu lawan satu! Maka ia pun segera memberi perintah "Mundur semuanya!" Para pengemis itu pun mundur, Dewi Pengemis dengan langkah mantap menghampiri Jaya, "Kini hutangmu pada kami semakin banyak saja Jaya Laksana! Kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu pada kami!" bentaknya.
Jaya menyeringai sambil bersidekap, "Nona Dewi Pengemis, sama seperti kemarin lusa, aku hanya mempertahankan diri dari serangan saudara-saudaramu! Mana mungkin aku akan membiarkan diriku celaka secara konyol dengan tidak membela diriku sendiri dari serangan saudara-saudaramu yang brutal itu?"